Minggu, 25 November 2012

Terompet Tahun Baru

Awalnya hanya angin sepoi senja yang menyegarkan, meliuk dan menerpa jendela jendela rumah papan, yang seakan ingin berbagi ceria dengan angin senja itu untuk mengarungi alam. Namun hasrat itu diurungkan, lantaran angin senja tak lama kemudian menjinjing desiran udara yang bertambah ganas. Semua dedauan pohon dan perdu di halaman rumah kinipun terjaga dari tidur siangnya yang memagutkan panas. Daun daun yang mulai menghijau itu, kini meliuk bagaikan barongsay di perayaan imlek. Rumah papan itupun kini mulai bergetar, apalagi setelah desir angin mulai membawa butir butir hujan. Di sana sini mulai terlihat papan rumah yang basah diterpa butir air.
Beberapa berkas titik air hujan mulai usil menerobos sela sambungan papan yang mulai menganga di makan sang waktu.Mereka mulai membasahi bilik kumuh milik Senjoyo, yang sedang merajut angan di tengah  gerimis senja Bulan Desember tahun ini. Meski beberapa lampu kota disekelilingnya mulai menebar eksotis tahun baru, sekali sekali mulai terdengar terompet tahun baru yang dihembus anak anak yang tidak sabar menunggu datangnya malam tahun baru.
Namun bagi lelaki paro baya itu, eksotis tahun baru malah menyelipkan bagian hati yang teriris sembilu. Apalagi dinding biliknya yang sudah mulai lapuk terus saja mencibirkan dirinya.  Dahulu waktu Sabila istrinya belum ke Malaysia dua tahun lalu, papan papan biliknya selalu menghadiahi dirinya dengan senyuman mesra, semesra senyum Sabila yang membawanya dia mampu membumbung tinggi ke angkasa, untuk meraih       bulan di senja hari seperti ini. Terompet tahun barupun yang memekakan telinganya tanpa dia rasakan, bila  Messy  putri  bungsunya usil dengan terompetnya sepanjang hari. Sementara untuk putri sulungnya Sandi, dandanan yang gaul untuk menyambut tahun barupun telah berkali kali dia coba. Senjoyopun hanya bisa berdecak kagum dengan kecantikan putrinya yang mirip ibunya.
Senjoyopun lama menghitung hari, di tengah penantianya pada istrinya. Apalagi bila Messy berada di pangkuanya. Si kecil yang manis itu masih saja menanyakan mamanya, meski dia telah lupa dengan raut wajahnya, apalagi bila terdengar rentetan terompet tahun baru seperti senja ini, yang memecah armosfer di atas rumah papan itu. Messypun merengek minta agar papanya mengajak mamanya untuk memilihkan terompet kertas berwarna warni, lengkap dengan rumbai rumbainya. Meski di meja kayu berlapis kaca di ruang tamu, kini tergolek terompet kertas  leher angsa berwarna biru. Namun Messy tetap menepisnya, karena terompet itupun memberitahukan padanya bahwa terompet itu bukan pilihan mamanya.
“Tapi kemanakah kau, Sabila ?. Hanya secarik kertas , yang ditulis tergesa-tegesa oleh Sabila tergeletak di atas meja tamu dua tahun silam. Persis di tengah senja seperti sekarang.  Sabila hanya menuliskan beberapa kata pamitan tentang kepergianya ke Malaysia.  demi mengadu nasib, demi Messy dan Sandy, dan demi penghidupan yang lebih baik. Setelah Senjoyo sendiri yang menghancurkan bahtera yang rapuh, bahtera yang sebenarnya mampu menjadi kendaraannya untuk menjangkau pantai biru, beertaman kembang warna warni, dan sekarang dia harus menyaksikan dan merasakan sendiri sebuah  serpihan batera, kala menghantam karang yang kokoh di tengah ombak yang  ganas.
Sebuah sentuhan halus dari si kecil Messy, menyentaknya dan menenggelamkan lebih dalam pada rasa rindu pada istrinya, “ Pak, mana terompet yang dibelikan mama ?”.
Terompet tahun baru memang hanya terbuat dari kertas warna warni, namun terompet itu mampu menyodorkan masa masa bahagia kala Messy berumur delapan tahun, kala dia diajak mama dan papanya untuk melihat eksotis terompet tahun baru di penjaja terompet yang bertenda di pinggir jalan jalan kota menjelang tahun baru.  Terlihat kala itu Sabila dengan senyum lesung pipitnya, mampu mewarnai kertas terompet lebih dalam lagi. Sehingga warna terompet yang dijinjing Sabilapun, menjadi warna yang mampu menyelinapkan daya tarik bagi Messy.
Namun sekarang, terompet biru yang jaul lebih baik dan lebih menggelitik tak mampu lagi menghadirkan mamanya. Messypun bertambah kuat merangkul bapaknya, suatu isarat bahwa rasa rindu telah kuat untuk segera bertemu mamanya.
“Pak, apa benar mama nanti tahun baru pulang ?”
“Sabar, ya sayang, besok bapak akan mengirim surat mamamu untuk pulang dan membawakan oleh oleh terompet tahun baru”. Meski dengan sorot mata kosong, Senjoyo terpaksa menyuguhkan sepotong kalimat yang mampu menghentikan tangis menyayat  si kecil,
“Aku juga rindu dengan kak Sandy, pak !”
“Messy !, kak Sandy sebentar lagi juga pulang. Kemarin kan dia mengirim tas sekolah untukmu. Kamu senangkan ?”. Tenggorokan laki laki paro baya itu kini telah mengering, sorot matanya bertambah kosong, desah pilu berkali kali terdengar dari mulutnya. Mengapa dia harus terjepit di tengah rasa sepi yang menghantam semua sendi tulangnya. Belum lagi Senjoyo menerima kenyataan berlalunya Sabila, beberapa bulan kemudian Sandypun melakukan hal yang sama. Sandy menyimpan perasaan yang getir, marah dan dendam dengan dirinya, lantaran terlalu dalamnya dirinya jatuh ke lembah hitam, yang menimbulkan bara api pada dua wanita itu.
Kabar terakhir yang dia peroleh tentang Sandy didapatkan setahun yang lalu, kala sebuah bingkisan berisi tas sekolah untuk adik bungsunya Messy. Sandy kini telah menggayutkan cintanya dengan pria yang dia pastikan lebih baik dari dirinya, namun berkali kali dia membalas surat pada Sandy, selalu diterimanya pengembalian suratnya yang beralamat tidak jelas.
Kembali lagi suara terompet terdengar sayup sayup dari kejauhan, gerimis malam ini sudah mulai menyelip kembali ke mega mega hitam, namun sang rembulanpun masih kedinginan dan memilih untuk diam di angkasa berselimut awan hitam. Messypun mulai mencoba meniup terompet biru di depanya sebentar-sebentar. Satu satunya miliknya kini betul betul dia dekap, karena Messy adalah harapan terakhirnya, agar dirinya mampu mengenyam hidupnya dengan bumbu bumbu kasih saying, setelah sekian lama dia tepiskan bumbu itu, demi mengejar nafsu syahwat, ego dan kesenangan yang semu.
“Pak, aku tiup terompet ini, ya !. Biar mama mendengar dan mau pulang”
“Cobalah sayang !, tiuplah sesukamu!, mama pasti pulang! “
“Betul pak ?, Bapak janji ?”. Bola mata Messy menyapu seluruh tubuh bapaknya,  pertanda suatu harapan yang besar kini memenuhi hatinya yang tulus. Senjoyopun kini mendekap lebih erat si kecil mungil miliknya satu satunya, “Berdoalah Messy, agar mamamu pulang “
“Bapak !, mengapa mama pergi ?”
“Katanya kamu pengin beli sepeda ?, dan memperbaiki rumah ini. Mama tidak pergi sayang!, mama hanya kerja jauh, agar dapat uang banyak . berdoalah sayang, semoga mamamu pulang “
Seteguk embun pagi kini menyirami hati Messy, si kecil manja itupun kini asyik meniup terompet keras-keras. Senjoyopun hanya mampu memandang dengan sorot mata yang agak berseri. Kelucuan anak itu sementara mampu menepis bayang istrinya, yang tadinya hadir dengan taring dan kuku-kukunya yang tajam, yang siap membenah denyut jantungnya. Messypun kini telah kembali asyik bermain dengan terompet dan mencoba beberapa baju baru untuk tahun baru.
“Bapak ?”
“Ya, sayang ?”
“Nanti, malam tahun baru Bapak mau ke mana ?”
“Kan melihat pesta kembang api di alun alun, hayooo lupa, ya ?”
“Aku mulai pengin malam tahun baru segera tiba. Messy akan meniup terompet bapak sepuas puasnya “
“Ya, sayang. Makanya sekarang pergi bobo, ya !”.
Messy hanya mengalungkan ke dua tanganya ke leher bapaknya dengan manja untuk mendapatkan gendongan mesra bapaknya. Kini Messypun terlelap tidur di tengah dingin udara malam yang kembali dibasahi gerimis.
Sementara mereka berdua  merenda mimpi, sepasang kaki melangkah dengan perlahan menuju beranda rumah tua itu. Kedua mata wanita itu kini dibasahi air mata, terlihat jelas dari baju  dan pernik pernik yang menghiasi dandananya,  dia adalah wanita yang kaya. Namun dari guratan wajahnya yang ditutupi temaram lampu beranda, tampaklah bahwa wanita itu telah merindukan sesuatu. Namun beberapa lama kemudian, wanita itupun bergegas meninggalkan rumah tua milik Senjoyo menuju ke jalan raya dan terdengarlah deru mobil mewah yang bertambah jauh ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar