Awalnya hanya angin sepoi senja
yang menyegarkan, meliuk dan menerpa jendela jendela rumah papan, yang seakan ingin
berbagi ceria dengan angin senja itu untuk mengarungi alam. Namun hasrat itu
diurungkan, lantaran angin senja tak lama kemudian menjinjing desiran udara
yang bertambah ganas. Semua dedauan pohon dan perdu di halaman rumah kinipun
terjaga dari tidur siangnya yang memagutkan panas. Daun daun yang mulai
menghijau itu, kini meliuk bagaikan barongsay di perayaan imlek. Rumah papan
itupun kini mulai bergetar, apalagi setelah desir angin mulai membawa butir
butir hujan. Di sana sini mulai terlihat papan rumah yang basah diterpa butir
air.
Beberapa berkas titik air hujan
mulai usil menerobos sela sambungan papan yang mulai menganga di makan sang
waktu.Mereka mulai membasahi bilik kumuh milik Senjoyo, yang sedang merajut
angan di tengah gerimis senja Bulan
Desember tahun ini. Meski beberapa lampu kota disekelilingnya mulai menebar
eksotis tahun baru, sekali sekali mulai terdengar terompet tahun baru yang
dihembus anak anak yang tidak sabar menunggu datangnya malam tahun baru.
Namun bagi lelaki paro baya itu,
eksotis tahun baru malah menyelipkan bagian hati yang teriris sembilu. Apalagi
dinding biliknya yang sudah mulai lapuk terus saja mencibirkan dirinya. Dahulu waktu Sabila istrinya belum ke Malaysia
dua tahun lalu, papan papan biliknya selalu menghadiahi dirinya dengan senyuman
mesra, semesra senyum Sabila yang membawanya dia mampu membumbung tinggi ke
angkasa, untuk meraih bulan di senja
hari seperti ini. Terompet tahun barupun yang memekakan telinganya tanpa dia
rasakan, bila Messy putri bungsunya usil dengan terompetnya sepanjang
hari. Sementara untuk putri sulungnya Sandi, dandanan yang gaul untuk menyambut
tahun barupun telah berkali kali dia coba. Senjoyopun hanya bisa berdecak kagum
dengan kecantikan putrinya yang mirip ibunya.
Senjoyopun lama menghitung hari, di
tengah penantianya pada istrinya. Apalagi bila Messy berada di pangkuanya. Si
kecil yang manis itu masih saja menanyakan mamanya, meski dia telah lupa dengan
raut wajahnya, apalagi bila terdengar rentetan terompet tahun baru seperti
senja ini, yang memecah armosfer di atas rumah papan itu. Messypun merengek
minta agar papanya mengajak mamanya untuk memilihkan terompet kertas berwarna
warni, lengkap dengan rumbai rumbainya. Meski di meja kayu berlapis kaca di
ruang tamu, kini tergolek terompet kertas
leher angsa berwarna biru. Namun Messy tetap menepisnya, karena terompet
itupun memberitahukan padanya bahwa terompet itu bukan pilihan mamanya.
“Tapi kemanakah kau, Sabila ?.
Hanya secarik kertas , yang ditulis tergesa-tegesa oleh Sabila tergeletak di
atas meja tamu dua tahun silam. Persis di tengah senja seperti sekarang. Sabila hanya menuliskan beberapa kata pamitan
tentang kepergianya ke Malaysia. demi
mengadu nasib, demi Messy dan Sandy, dan demi penghidupan yang lebih baik.
Setelah Senjoyo sendiri yang menghancurkan bahtera yang rapuh, bahtera yang
sebenarnya mampu menjadi kendaraannya untuk menjangkau pantai biru, beertaman
kembang warna warni, dan sekarang dia harus menyaksikan dan merasakan sendiri
sebuah serpihan batera, kala menghantam
karang yang kokoh di tengah ombak yang ganas.
Sebuah sentuhan halus dari si kecil
Messy, menyentaknya dan menenggelamkan lebih dalam pada rasa rindu pada
istrinya, “ Pak, mana terompet yang dibelikan mama ?”.
Terompet tahun baru memang hanya
terbuat dari kertas warna warni, namun terompet itu mampu menyodorkan masa masa
bahagia kala Messy berumur delapan tahun, kala dia diajak mama dan papanya
untuk melihat eksotis terompet tahun baru di penjaja terompet yang bertenda di
pinggir jalan jalan kota menjelang tahun baru.
Terlihat kala itu Sabila dengan senyum lesung pipitnya, mampu mewarnai
kertas terompet lebih dalam lagi. Sehingga warna terompet yang dijinjing
Sabilapun, menjadi warna yang mampu menyelinapkan daya tarik bagi Messy.
Namun sekarang, terompet biru yang
jaul lebih baik dan lebih menggelitik tak mampu lagi menghadirkan mamanya.
Messypun bertambah kuat merangkul bapaknya, suatu isarat bahwa rasa rindu telah
kuat untuk segera bertemu mamanya.
“Pak, apa benar mama nanti tahun
baru pulang ?”
“Sabar, ya sayang, besok bapak akan
mengirim surat mamamu untuk pulang dan membawakan oleh oleh terompet tahun
baru”. Meski dengan sorot mata kosong, Senjoyo terpaksa menyuguhkan sepotong
kalimat yang mampu menghentikan tangis menyayat si kecil,
“Aku juga rindu dengan kak Sandy,
pak !”
“Messy !, kak Sandy sebentar lagi
juga pulang. Kemarin kan dia mengirim tas sekolah untukmu. Kamu senangkan ?”. Tenggorokan
laki laki paro baya itu kini telah mengering, sorot matanya bertambah kosong,
desah pilu berkali kali terdengar dari mulutnya. Mengapa dia harus terjepit di
tengah rasa sepi yang menghantam semua sendi tulangnya. Belum lagi Senjoyo
menerima kenyataan berlalunya Sabila, beberapa bulan kemudian Sandypun
melakukan hal yang sama. Sandy menyimpan perasaan yang getir, marah dan dendam
dengan dirinya, lantaran terlalu dalamnya dirinya jatuh ke lembah hitam, yang
menimbulkan bara api pada dua wanita itu.
Kabar terakhir yang dia peroleh
tentang Sandy didapatkan setahun yang lalu, kala sebuah bingkisan berisi tas
sekolah untuk adik bungsunya Messy. Sandy kini telah menggayutkan cintanya
dengan pria yang dia pastikan lebih baik dari dirinya, namun berkali kali dia
membalas surat pada Sandy, selalu diterimanya pengembalian suratnya yang
beralamat tidak jelas.
Kembali lagi suara terompet
terdengar sayup sayup dari kejauhan, gerimis malam ini sudah mulai menyelip
kembali ke mega mega hitam, namun sang rembulanpun masih kedinginan dan memilih
untuk diam di angkasa berselimut awan hitam. Messypun mulai mencoba meniup
terompet biru di depanya sebentar-sebentar. Satu satunya miliknya kini betul
betul dia dekap, karena Messy adalah harapan terakhirnya, agar dirinya mampu
mengenyam hidupnya dengan bumbu bumbu kasih saying, setelah sekian lama dia
tepiskan bumbu itu, demi mengejar nafsu syahwat, ego dan kesenangan yang semu.
“Pak, aku tiup terompet ini, ya !.
Biar mama mendengar dan mau pulang”
“Cobalah sayang !, tiuplah
sesukamu!, mama pasti pulang! “
“Betul pak ?, Bapak janji ?”. Bola
mata Messy menyapu seluruh tubuh bapaknya,
pertanda suatu harapan yang besar kini memenuhi hatinya yang tulus.
Senjoyopun kini mendekap lebih erat si kecil mungil miliknya satu satunya,
“Berdoalah Messy, agar mamamu pulang “
“Bapak !, mengapa mama pergi ?”
“Katanya kamu pengin beli sepeda ?,
dan memperbaiki rumah ini. Mama tidak pergi sayang!, mama hanya kerja jauh,
agar dapat uang banyak . berdoalah sayang, semoga mamamu pulang “
Seteguk embun pagi kini menyirami
hati Messy, si kecil manja itupun kini asyik meniup terompet keras-keras.
Senjoyopun hanya mampu memandang dengan sorot mata yang agak berseri. Kelucuan
anak itu sementara mampu menepis bayang istrinya, yang tadinya hadir dengan
taring dan kuku-kukunya yang tajam, yang siap membenah denyut jantungnya.
Messypun kini telah kembali asyik bermain dengan terompet dan mencoba beberapa
baju baru untuk tahun baru.
“Bapak ?”
“Ya, sayang ?”
“Nanti, malam tahun baru Bapak mau ke
mana ?”
“Kan melihat pesta kembang api di
alun alun, hayooo lupa, ya ?”
“Aku mulai pengin malam tahun baru
segera tiba. Messy akan meniup terompet bapak sepuas puasnya “
“Ya, sayang. Makanya sekarang pergi
bobo, ya !”.
Messy hanya mengalungkan ke dua tanganya
ke leher bapaknya dengan manja untuk mendapatkan gendongan mesra bapaknya. Kini
Messypun terlelap tidur di tengah dingin udara malam yang kembali dibasahi
gerimis.
Sementara mereka berdua merenda mimpi, sepasang kaki melangkah dengan
perlahan menuju beranda rumah tua itu. Kedua mata wanita itu kini dibasahi air
mata, terlihat jelas dari baju dan
pernik pernik yang menghiasi dandananya,
dia adalah wanita yang kaya. Namun dari guratan wajahnya yang ditutupi
temaram lampu beranda, tampaklah bahwa wanita itu telah merindukan sesuatu. Namun
beberapa lama kemudian, wanita itupun bergegas meninggalkan rumah tua milik
Senjoyo menuju ke jalan raya dan terdengarlah deru mobil mewah yang bertambah
jauh ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar