Bau asap belerang yang
menusuk hidung menyebar tiap penjuru desa dan setiap jengkal ladang sayur di
Desa Gedangan, Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan menyisakan kepiluan
yang mendalam diantara semua yang berwajah tertunduk lesu. Namun langit biru
masih patuh dan lembut menaungi kehidupan mereka yang kali ini harus berpisah
dengan kampung halamanya.
Mereka yang meninggalkan
rumah, ternak dan sawah ladang, harus
memburu waktu, agar lembut awan awan yang mampu menerkam mereka tidak membakar
dada mereka yang telah sarat dengan kehidupan yang tidak ramah. Mereka harus
sadar bahwa mereka tidak lain hanyalah
manusia yang hanya memiliki tulang dan daging, yang selalu menggapai cita dan
harap di lereng Gunung Merapi yang sedang tak ramah. Mereka bahkan sudah tak
mengenal Merapi lagi yang kali ini berdandan menakutkan. Padahal saban hari
sebelumnya, mereka telah terbiasa akrab
dengan Merapi yang tersenyum malu, berdandan bedak pupur awan dan berkulum
senyum menawan,
Namun kini mereka harus
berlarian sepanjang jalan desa yang mulai tertutup debu debu liar yang dimuntahkan
Merapi yang sedang dilanda kegalauan hati. Mereka segera menuju ke lokasi yang
aman di daerah Boyolali, Magelang dan Jogjakarta. Teriakan nyaring terdengar di
mana mana, membahana ke setiap liuk
jalan desa, lantaran kepiluan mereka mencari saudara saudara yang tidak berada
di sekitar mereka. Entah hidup yang bagaimana lagi yang harus mereka lakukan
ataukah salah dan dosa apa yang mereka miliki, sehingga harus meninggalkan
sawah ladang yang selama ini membawa berkah bagi kehidupan mereka. Demikian
rasa tidak percaya diri terus saja bergayut di hati mereka. Bayang bayang pilu
kini kembali menghantui mereka kala 16 tahun lalu, mereka harus menyaksikan 40
saudara mereka warga Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem telah kembali ke pangkuan Illahi,
karena diterjang awan panas Merapi.
Jalan
jalan desa yang sempit dan beralas debu debu putih yang liar berlarian di
terjang kaki kaki yang melegam, kini terasa pengap dipenuhi dengus nafas dari
manusia manusia yang panik, yang ingin segera meninggalkan kampung halaman yang
meronakan bara. Sebagian dari mereka harus tertunduk tak berdaya kala awan
panas itu mencekik leher dan membakar dadanya. Sedangkan sebagian lainnya harus
terus mendayung waktu bergegas menuju barak pengungsian.
Wajah
wajah menakutkan tak berbingkai senyum ramah, tidak seperti biasanya keramahan
membahana di antara mereka kala bergelut dengan tanah ladang dan lenguh lenguh
sapi piaraan, kini hadir di antara mereka. Apalagi wajah Suto yang bergurat kepedihan,
lantaran istri dan ketiga anaknya belum juga tampak disekitarnya. Padahal sebelumnya
dia harus jatuh bangun memapah istrinya untuk berlarian sepanjang jalan desa
dengan menggendong si kecil, berlarian menuju truk pengungsi yang jaraknya
cukup jauh dari rumahnya uang terpencil.
Diapun segera
menggayutksn istri dan ketiga anaknya bergabung dengan truk yang telah sarat dengan pengungsi
lainnya. Hingga diapun harus mengalah menunggu kedatangan
2
truk
lainnya. Suto hanya mampu berdoa, meminta kepada Sang Pencipta Gunung Merapi
agar istri dan ketiga anaknya bisa kembali disampingnya dan dia diberi kekuatan
hati agar mampu tabah dalam menghadapi kemarahan raksaksa biru yang kini menghanguskan
semua yang dia milki.
Gemuruh
letusan Raksaksa Biru Merapi mulai terdengar Suto dan pengungsi lainnya, rintik
hujan kerikil dan pasir mulai berjatuhan di sekitar mereka. Suto berlarian
kecil meninggalkan desa Gedangan bersama dengan beberapa pengungsi lainnya,
yang datang terlambat. Jauh di belakang mereka awan panas mulai menngulung apa
yang berada di depanya. Meski peluh bercampur debu membasahi semua tubuh Suto
namun dia tetap menerjang debu debu yang menghalangi pandanganya.
Dari
jarak yang tidak terlalu jauh, terlihatlah lampu lampu truk pengungsi dari
relawan yang berani menantang maut untuk menyematkan sisa pengungsi yang
tertinggal termasuk Suto dan teman temanya, sementara itu beberapa pengungsi
yang semula berada di belakang Suto kini tidak tampak lagi, lantaran diterjang dengus nafas Merapi
yang kelewat marah. Meski Suto berhasil menyelamatkan diri dalam bencana itu,
namun bilah hatinya masih melekat kuat kepada istri dan ketiga anaknya yang
masih kecil. Rasa tidak percaya kembali menggeluti hatinya, betapa sebuah kehidupan
yang diusungnya harus disertai dengan perjuangan yang berat demi sebuah
kedamaian bersama keluarganya. Namun kembali lagi diapun harus berpasrah kepada
Sang Pencipta yang memberikanya hidup dan kebahagiaan bersama istri dan ketiga
anaknya.
***
Telah tiga harinya lamanya
Suto hilir mudik ke tiap barak pengungsian guna mencari sisa terakhir yang dia
miliki, yaitu istri dan ketiga anaknya. Dari barak ke barak , Polres Boyolali,
instansi pemerintah Kabupaten Boyolali, RSU
Boyolali, RSIA Umi Barokah,
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.
“Sudahlah Pak Suto, semua
pengungsi disinipun mengalami kehilangan, bukan hanya bapak. Lebih baik bapak
makan roti ini, sekedar menambah kekuatan tubuh bapak” . Seorang relawan yang
bernama Hendrawan telah terketuk hatinya menyaksikan perjuangan Suto dan
keluarganya untuk menggapai kehidupan ini.
“Terimakasih, Mas !, aku
tidak akan pernah berhenti sebelum bertemu mereka. Kalau toh mereka menjadi
korban aku harus melihat mayat mereka”
“Pak Suto, tenangkan dulu
hati bapak. Akan aku antar mencari mereka sampai mereka ketemu. Kebetulan aku
banyak kenal teman teman dari media yang juga menjadi relawan. Makanlah dulu
pak !”
3
“Ini semua salahku,
seharusnya aku langsung mengungsi waktu Pak RT menyuruhku segera mengungsi.
Tapi waktu itu aku tidak percaya begitu saja kalau Merapi bakalan meletus separah
ini !”
“Kalau toh Pak Suto waktu
itu tahu bakalan seperti ini tentu jauh jauh hari sudah mengungsi. Tapi siapa
yang tahu kalau bakalan begini. Ini semata mata hanya Kehendak Tuhan Yang Maha
Tahu. Baiklah Pak Suto, kita lanjutkan lagi pencarian ini. Sekarang kita coba
menyisir pos pos relawan yang ada di Magelang, kita coba kontak dengan teman
temanku”
Hujan debu kini mulai
menyerang daerah Boyolali dan Magelang, jalan jalan raya dan atap rumah serta
dedaunan hijau kini berwarna putih. Mereka berdua dengan sepeda motor hampir
selesai menyisir pos pos relawan untuk korban bencana alam Merapi yang tersebar
di Magelang, guna meminta informasi termasuk dokter dokter relawan yang
bertugas di RSU Tidar RSU, RS Dr Soedjono, RSU Lestari Raharja dan RS Harapan
Magelang. Kembali Suto mendapatkan hasil pencarian yang menambah pilu hatinya.
Hingga akhirnya mereka kini
hanya bersandar di ruang tunggu RS Tidar melepas lelah ditengah hiruk pikuk
upaya pertolongan relawan pada korban bencana alam yang menyayat hati itu. Pandangan
mata Suto tercampak pada daftar korban yang meninggal ataupun luka yang ada di
papan informasi RS Tidar. Hatinya menguat kembali kini, setelah dia menemukan
informasi bahwa terdapat beberapa korban yang dilarikan ke RS Sardjito Jogja
lantaran daya tampung rumah sakit di Boyolali
terbatas.
“Mas, kembali aku minta
tolong. Antarkan aku ke RS Sardjito, barangkali istri dan anaku di sana !”
“Baik Pak Suto, sekarang
juga kita berangkat. Mumpung hujan debu masih tipis”
“Aku harus berkata apa
lagi, Mas ?. Sungguh kamu manusia yang mulia, Mas Hendrawan”
“Ah..Pak Suto !. Namanya
saja relawan, ya tugasnya harus rela menolong warga yang tertimpa musibah”
“Sungguh, aku bersyukur
kepada Tuhan Yang Kuasa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Mas
Hendrawan”
“Sama juga aku, Pak Suto.
Ternyata masih ada manusia yag berhati tabah seperti Pak Suto yang diterpa
bencana seperti ini”
“Habis mau gimana lagi ?”
Hendrawan langsung minta
informasi kepada humas posko bantuan bencana alam yang ada di RS Dr Sardjito
Jogja dan mereka memang menerima pasien dari Turgo, seorang ibu dan ketiga
anaknya yang mengalami pinsan saat evakuasi, lantaran beberapa lama tak
sadarkan diri maka dari Boyolali pasien itu dibawa ke Jogja. Namun mereka belum
mengetahui siapa nama ibu yang pinsan tersebut. Suto dan Hendrawan bergegas
menuju bangsal ekonomi tempat ibu dan ketiga anaknya dirawat.
Kebahagian Suto kembali
menyelinap dalam lubuk hatinya melihat istrinya sudah berangsur pulih, meski
tubuhnya masih lemas. Sunarti istrinya yang kini terbaring lunglai dihadapanya menjelaskan
bahwa dia kala itu tidak tahan menghirup gas belerang yang sangat kuat hingga
dia dan Nova putri bungsunya menjadi tak sadarkan diri. Sedangkan kedua
kakaknya telah dititipkan pada Pak Sartono tetangganya yang kini masih berada
di barak Boyolali dalam keadaan sehat.
Diciumnya pipi istrinya dan
si bungsu dengan penuh haru, Sutopun kini hanya mampu memeluk Hendrawan sebagai
ungkapan terimakasih yang tak terhingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar