Rabu, 21 November 2012

Cakrawala di Kaki Langit



Sunyi di batas kota demikian mencekamnya,  jalan yang terhampar di depanya masih menyisakan basah dari gerimis tadi malam, jejak air gerimis tadi terus saja berkawan dengan kabut dingin yang mencekam dan terus menebarkan dingin yang menggigit kulit dan tulang. Sebentar sebentar terdengar deru mobil bak terbuka yang mengangkut sayur, menerobos kabut pagi di remang jalan desa yang berkelok dan licin.
Tetapi bagi lelaki tua itu,  hari hari yang bergurat apa saja tak pernah membuatnya surut kebelakang,  meski dia harus terus menyeret sebelah kakinya yang lama tertikam penyakit uzur. Dengan dibantu  bilah bambu yang menjadi kawan setianya, hari hari yang memusarinya terus saja ditundukan meski dengan tatapan mata yang penuh asa, tak peduli pada usianya, tak peduli penyakit yang merongrongnya apalagi menghadapi segenggam hidup yang mesti harus dia hadapi.
“Antarkan aku, hai sang waktu !, untuk segera  menghadap langit di ujung cakrawala !.Biarkan aku berkumpul kembali dengan istriku Suminah dan anaku-anaku di istanaMU !” , kerap kali getaran hati itu muncul di beranda jantungnya, apabila dia merasakan sebuah kerinduan yang dalam pada istri dan kedua anaknya yang terlebih dahulu meninggalkanya. Tapi bila sinar mentari mulai menyeruak lewat celah celah dinding papan rumahnya, lelaki tua itupun mulai terhenyak untuk memunguti liku hidupnya. Basuhan air dingin dari pancuran di belakang rumah selalu bisa menyegarkan tubuhnya. Diapun selalu mampu menepiskan bayang kebahagian masa lalunya yang kini sirna.
***
Hutan jati yang masih kelihatan gelap kini sudah tepat di depanya, terlihat semua pucuk  pohon jati yang tersebar berjejer di depanya masih belum semi, akibat pagutan kemarau ganas beberapa minggu kemarin. Karjo, lelaki tua itu mulai menyisir jalan tanah yang melintang di tengah hutan, sebentar sebentar dia menata kembali cangkul dan peralatan kerjanya yang dipanggulnya, nafas dari lelaki tua itu saling memburu, terengah tak beraturan. Namun lelaki yang berkawan sepi itu, terus saja mencari akar  dan tunggak jati sisa penebangan beberapa lama sebelumnya  yang terpendam ,  untuk dijadikan arang. Meski dia bisa saja menebang pohon jati yang kokoh di sekelilingnya, namun dia sama sekali tak pernah berniat melakukan pekerjaan biadab itu.
Wajahnya menyunggingkan senyum ceria, kala dia menemukan sisa batang yang agak besar setelah sekian kali dia mencangkul tanah yang basah di depanya, seketika itu  cangkulnyapun di letakan di pinggirnya dan diapun melipatkan kakinya untuk duduk beristirahat. Kala istrinya Suminah masih hidup, tanpa diminta olehnya Suminah segera menyodorkan teh hangat yang di bawanya dari rumah, terkadang bekal yang dibawanya dilengkapi pula dengan singkong rebus atau penganan dari ketan untuk sekedar mengganjal perutnya.
Apalagi kala ke dua anaknya masih hidup, dia tidak perlu repot repot mengais sesuap nasi hingga ke tengah hutan jati. Karena Karmo, anaknya yang sulung dan Mardiyatun adiknya, tidak pernah duduk berpangku tangan mengais nafkah untuk sekedar menafkahi dia dan istrinya. Meski kedua putranya hanya menjadi seorang tukang becak dan buruh cucian di kota. Namun Karjopun berusaha sekuat tenaganya untuk melupakan masa indah dan bahagia miliknya, meski saat ini baginya hidup adalah sebuah perjuangan yang berat dan terkadang merayu dirinya sendiri untuk berputus asa dan berharap datangnya sebuah masa indah untuk berkumpul dengan keluarganya di langit susun tujuh.
Batuk batuk yang kering dan dalam terus saja menyeruak di tengah keheningan hutan jati, di saat dia lepas beristirahat dengan sebotol air dingin yang kerap kali dia reguk membasahi kerongkonganya. Di tengah keriput wajah yang agak memucat itu, seberkas fragmen kenangan memenuhi bilik hatinya, tentang kasih sayang Mardiyatun, anak sulungnya yang benar benar tulus kepadanya, meski dia belum pernah membahagiakan putrinya, bahkan mencarikan jodoh untuk putri kesayanganya itu. Namun bila lelaki tua itu tersungkur dengan demam penyakit malarianya, Mardiyatun segera memberikan pijitan  kecil di seluruh tubuhnya, membuatkan air jahe, memberikan obat anti demam dan bila perlu mengantarkan dia ke puskesmas.
Namun demam malaria yang menyerangnya beberapa hari yang lalu mebuatnya terkapar  dan tak berdaya di bilik bambunya yang sudah lapuk. Kehadiran Mardiyatun hanya dalam ilusinya saja, yang hadir di tengah demamnya yang tinggi. Untuk pergi ke dokter diapun sama sekali tidak mampu, hanya beberapa teguk air dingin saja yang menemaninya. Saat itu dia mengharap sebuah ajal menjemputnya, demi terobatinya sebuah rindu yang dalam dan menggigitnya sepanjang waktu.
“Atun, bapak sakit ! Tolong Atun, berikan buatkan bapak air jahe dan obat, badan bapak dingin sekali “ Tak ada seberkas suarapun menjawab lengkingan darinya. Hanya gemeretak batang bambu yang menjadi dinding biliknya menjawab pertolongan dia.
“Atun, Atun..dimana kamu, bapak sudah lama tidak ketemu kamu !” berkali kali teriakan itu memenuhi biliknya, kembali lagi, tak ada satu suarapun menjawabnya.
Kini diapun terlelap dalam tidurnya, didalam tidurnya sesuatu telah membawanya bertemu dengan Suminah, Karmo dan Mardiyatun, yang kini berada di istana megah, bersanding dayang dayang dan punggawa kerajaan. Mereka berempat layaknya anak kecil yang ceria, bermain di bawah bulan purnama, saling berkejaran.
“Bapak, pulanglah “
“Atun, bapak tidak mau pulang, bapak masih ingin bermain denganmu “
“Tidak bapak !, bapak harus pulang. Bukan disini tempat bapak !”
“Tapi Atun !, kapan kita bertemu lagi ?”
“Entahlah, pak.Atun tidak tahu. Sekarang bapak pulang saja. Besok masih ada waktu kita bertemu lagi, sekarang pulanglah !”
“Tapi berilah bapak janji, untuk ketemu kamu, abangmu dan emak !”
“Atun janji, pak !, tapi entah kapan Atun tidak tahu !”
Bayang putih  Atun, Kasmo dan istrinya kini meredup dan menghilang. Lelaki tua itupun  siuman kembali. Sebuah rasa sedih menyelimutinya. Dinding bambu biliknya kini terbujur sepi dan dingin. Keinginan berkumpul kembali dengan semua keluarganya kali ini sirna begitu saja, karena Tuhan yang Kuasa menghendaki lain, lelaki tua itu masih dikodratkan untuk menyisir hari harinya yang berat. Diapun sigap menjemputnya, dan di pagi ini diapun segera menjelajah hutan jati, untuk membuat arang kayu dan dijual ke tengkulak demi sesua nasi untuk beberapa hari ke depan.
***
Batang dan akar kayu jati yang lama terpendam di tanah dia sayat kulit luarnya hingga tinggalah batang yang bersih,  kemudian  dia bakar dengan membuat api dari  daun dan ranting jati yang berserakan di hutan jati. Setelah cukup bara api, batang dan akar yang terbakar itu dia tutup dengan tanah yang tipis. Batang dan akar yang menghangus itu dia biarkan beberapa hari di hutan jati.  
Setelah terlihat mentari condong ke barat,  lelaki tua itupun pulang untuk beristirahat di rumah selama beberapa hari, timbunan arang yang belum jadi dia tinggalkan begitu saja, entah ada  atau tidak makanan yang bisa untuk mengganjal perutnya di gubug bambunya. Sayup terdengar desiran angin pancaroba yang menerpa tubuhnya sepanjang perjalanan menuju gubug bambunya. Meski gejolak perutnya yang belum terisi makanan tidak kalah teriakanya ketimbang desir angin panvaroba.
Reman gubug bambunya, memaksanya untuk segera rebah di ranjang bambu berlapis kasur tua yang sudah mengeras, entah karena angin pancaroba yang menggigitnya atau karena kondisi tubuhnya yang sudah melemah, lelaki tua itupun tersungkur di atas kasur pengap. Seluruh tubuhnya terasa lemas,  semua sudut bilik bambunya terlihat kabur.
“Ya Tuhan, tolonglah aku !, ampunilah dosa dosa hambamu yang lemah ini !”, sepotong kalimat keluar dari bibirnya yang pecah dan keriput.
“Bapak, ada apa !”
“Atun, tolonglah bapakmu, bapak sudah tidak kuat lagi “
“Baik, pak !, rebahlah di pangkuan Atun ?”
“Atun, bapak di mana ?”
“Jangna sedih, pak !. Bapak akan Atun ajak pergi jauh menuju cakrawala di kaki langit untuk berkumpul dengan emak dan Kak Kasmo “
Wajah lelaki tua itupun berseri bahagia bersmaan dengan lepasnya nafas terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar