Jumat, 02 November 2012

Kupu Kupu Kertas


Melati menjadi enggan berbuat sesuatu, jiwa dan kalbunya dikungkung kenyataan yang ada. Dia kini hanya berpegang pada rasa pasrah yang tinggal di sudut hatinya. Tubuhnya yang tadinya simpal kini hanya tinggal tulang yang dibungkus kulit, Pandangan matanya padam mendingin, tidak sebinar beberapa lama silam. Kadang diapun hanya berteman dengan ketidaktahuan, sementara kekelautan jiwa yang mendera tiada pernah ditambatkan pada siapapun.
Bunga yang tadinya mekar bersama dengan keceriaan hatinya, kini tiada pernah menyambut pagi lagi.  Padahal dia adalah kembang ranum yang menyerbak harum wangi dan tiada satupun pria yang enggan dekat dengannya. Sesekali dia mencoba untuk membangun hatinya agar seperti dahulu menghadapi dunia yang kini asing baginya. Namun itu hanya sesaat, karena sesuatu yang ingin digapainya kini entah terselip di belahan bumi mana. Akhirnya kini dia terkungkung dalam ketidaktahuan lagi.
Masa-masa bahagia mungkinkah bisa erat dengan aku lagi, demikian bisik hatinya yang beribu kali datang dan pergi. Kala dia termenung di tengah malam menunggu pengharapan esok hari. Dia ingat betul betapa dulu papinya menjadi direktur perusahaan miliknya sendiri. Begitu bergelimpangan dunia mewarnai keluarganya kala itu. Namun semuanya hilang bagai ditelan bumi, semenjak papinya memiliki sekretaris yang cantik, Tante Else namanya. Hingga membuat papinya lupa segala-galanya, Setelah puas menghamburkan uang papinya, Tante Elsepun pergi entah kemana. Tinggalah penyesalan yang menghinggapi perasaan Harsoyo, hingga dia  sakit.
Ironisnya lagi, Harsoyo meregang nyawa dengan sakit komplikasi yang parah disaat semua harta kekayaannya disita bank. Kini dia terbujur di kamar tidur rumah kontrakan di sudut kota
Pintu bambu kamarnya berderit,  tak lama terlihatlah wajah seorang wanita separuh baya dengan wajah lusuh namun masih menyisakan senyum yang tipis duduk di samping Melati, yang masih terpaku diam. Wanita itu tak lain adalah Haryati, ibunya Melati. Lama dia memandangi wajah anak sulungnya, sambil sebentar sebentar melepaskan nafas panjang, pertanda kekalutan hatinya telah melekat di hatinya.
            “Sudahlah Melati, kamu tak usah memikirkan orang tuamu, cukup mami saja. Kau kan masih sekolah? ”.
            “Aku tidak bisa seperti itu Mam, aku ingin keluar sekolah, aku ingin bekerja sebisaku untuk biaya adik adiku dan juga mama”
            “Kamu mau kerja apa ?, Yang berijazah sarjana saja tak laku kerja”
            “Entahlah, Mam !. Sudah beberapa hari ini kita makan seadanya, lagi pula aku masih punya tiga adik yang butuh uang sekolah,  sedangkan papa sudah tidak kontrol ke dokter lagi”
            “Melati, itu semua tanggung jawab Mama, apapun yang terjadi di keluarga ini, mamalah yang harus tanggung jawab. Kamu jangan berpikir terlalu keras, anaku !”
            “Aku kasihan mama, biar Melati keluar sekolah saja mam !. Melati bisa kok mam cari biaya untuk membantu keluarga kita”
            “Aku tidak ingin anaku putus sekolah, demi masa depanmu, jangan kau lakukan itu Melati?. Biar mama saja yang cari biaya. Aku Cuma titip papamu, rawat dia bailk baik Melati ?”
            “Mama mau ke mana ?”
            “Mama mau ke Jakarta, semoga bisa menemui pamanmu. Mama mau nyari pinjaman ! “
            “Kalau nggak dapat pinjaman, Mam ?”
            “Itu masalah nanti, yang penting rawatlah papamu dan adik adikmu, untuk beberapa hari “
Melati hanya mampu menganggukan kepalanya, dia kini hanya mampu menahan napas. Rasa khawatir masih  terselip di hatinya, jangan –jangan itu hanya alasan mamanya saja. Melatipun tahu bahwa mamanya adalah wanita yang meski telah berumur hampir separo baya,  namun masih kelihatan cantik. Kulitnya kuning, tubuhnya masih kelihatan seksi.
Melati ingat betul, kala papinya jatuh dipelukan Tante Else, maminyapun melampiaskan nafsu durjananya dengan sejumlah om kolega papinya. Maminya hanya seperti pilala bergilir yang tiap malam jatuh dipelukan teman teman papinya, namun papinyapun sama sekali tidak bereaksi, bahkan semakin hangat membelai Tante Eise.
Semua memang telah berlalu, baik mama dan papinya telah menyadari akan nafsu gilanya yang selama ini mereka lampiaskan, Mereka tidak sadar bahwa anak anak  mereka telah beranjak dewasa, apalagi Melati putra sulung mereka  telah menginjak usia dewasa, Melati kini bagaikan artis sinetron atau foto model yang gaul, modis dan memiliki paras yang selangit. Langit cerah mulai tampak di atap rumah keluarga Harsoyo, namun hanya sesaat karena angin kembara telah membawa mendung hitam menyelimuti hati mereka semua. Apalagi kini kehadiran mama mereka  telah sekian lama hanya meninggalkan bayang-bayang semu.
Melati tiada bergeming barang sedikitpun dari buruk sangka terhadap mamanya, diapun kini hanya meronta dengan hatinya yang paling dalam, untuk menyelamatkan papanya yang berjuang melawan maut. Pendirianya tetap kukuh agar dia da papanya serta adik adiknya  dilingkungi kebahagian seperti dulu lagi. Bukankah Om Aleksander mampu membantu mengurai benang kusut ini semua, hanya dengan menyodorkan sebilah cinta kepadanya, meski separo hatinya yang bening tetap milik Indra. Namun Indra tetap Indra baginya, meski saat ini sama sekali tidak mampu memberi secercah harapan untuk mengatasi kekalutan hatinya.
Malam bertambah dingin, semakin panjang rasanya penantian Melati untuk kedatangan Om Aleksander, papanya masih meregang menahan sakit, semua adik-adiknya kinipun terlelap.  Kepergian mamanyapun sudah dua minggu berlalu, Kini Melati hanya bertumpu pada ketidak tahuan, semoga saja Om Aleksander mau datang malam ini, meskipun entah apa yang akan terjadi.
Deru mobil sayup terdengar dari arah yang cukup jauh, kini jelaslah bahwa mobil itu adalah milik Om Aleksander setelah nyampe di pekarangan rumahnya. Melati tertatih keluar agar tidak membangunkan adik adiknya yang tertidur menahan lapar. Malam kini menjadi milik mereka, hanya dengus nafas berat dan panjang serta keringat mereka berdua menjadi saksi terpagutnya hasrat mereka di kedinginan malam Kaliurang.
Pagi itu Melati terlambat bangun, rasa kantuk dan pegal seluruh tubuhnya masih saja belum mau pergi, sayup dia terdengar mamanya menggerutu dengan suara yang hampir memenuhi isi rumah yang tidak lagi mengguratkan kedamaian hati masing-masing. Kini sorot mata tajam mamanya diarahkan padanya, dan terdengarlah lengkingan ucapanya yang memecahkan keheningan pagi itu,
            “Dari mana saja kau !, wanita jalang !”
            “Mama dari mana ?, mama juga wanita jalang”
            “Anak tidak tahu diri !. Mama pergi ke Jakarta, cari pinjaman untuk biaya papamu dan sekolah kamu !”
            “Tidak mungkin, mama jangan bohong !. Paman malah nyari mama, kemarin dia sms. Mama bohong kan ?”.
            “Untuk apa mama bohong, mama mampir dulu ke teman mama juga untuk nyari pinjaman”
            “Mampir ke Om Yayan kan!, pacar mama dulu ?. Sudahlah mama jangan bohong. Aku jadi wanita jalang juga karena mama seperti itu, yang tidak tahu malu. Kasihan papa mam!” teriakan Melati membumbung tinggi dan membangunkan semua adik-adiknya yang kini hanya bisa saling melempar pandang.
            Melati kini bertambah meradang, dari benak hatinya timbul keinginan untuk menerkam wanita yang berdiri di depanya, setelah kedua pipinya terasa panas. Beberapa kali tangan mamanya mendarat di kedua pipinya. Diapun menjerit mengungkapkan kata hatinya yang dipenuhi bara api.
            “Ayo bunuh aku mam, bunuh aku, agar mama puas. Aku memang wanita jalang, karena mamaku juga jalang! “
            “Sudah,  diam kau anak durhaka !”
            “Meeelatiii. . . Maaamaaa…kemarilaaaah”. Suara kedua perempuan itu menjadi terbungkam, setelah terdengar rintihan dan tangisan Harsoyo yang sudah tak berdaya lagi, tergolek lemah di pembaringan. Sontak keduanya berlarian menuju kamar sebelah dalam. Mereka segera menubruk laki laki setengah baya yang  terlihat pucat pasi.
            “Peluklah aku, anaku dan mama. . . jangan kau lakukan lagi…sudah yaa, papa ngggak kuat lagi…selamat tinggal”. Suara Harsoyo melemah kemudian hilang terselp entah di mana, diikuti dengus nafas yang terhenti. Tubuh Harsoyopun menjadi terbujur kaku dan mendingin******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar