Rabu, 21 November 2012

Debu Debu MERAPI



Bau asap belerang yang menusuk hidung menyebar tiap penjuru desa dan setiap jengkal ladang sayur di Desa Gedangan, Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan menyisakan kepiluan yang mendalam diantara semua yang berwajah tertunduk lesu. Namun langit biru masih patuh dan lembut menaungi kehidupan mereka yang kali ini harus berpisah dengan kampung halamanya.

Mereka yang meninggalkan rumah, ternak dan sawah ladang,  harus memburu waktu, agar lembut awan awan yang mampu menerkam mereka tidak membakar dada mereka yang telah sarat dengan kehidupan yang tidak ramah. Mereka harus sadar  bahwa mereka tidak lain hanyalah manusia yang hanya memiliki tulang dan daging, yang selalu menggapai cita dan harap di lereng Gunung Merapi yang sedang tak ramah. Mereka bahkan sudah tak mengenal Merapi lagi yang kali ini berdandan menakutkan. Padahal saban hari sebelumnya,  mereka telah terbiasa akrab dengan Merapi yang tersenyum malu, berdandan bedak pupur awan dan berkulum senyum menawan,

Namun kini mereka harus berlarian sepanjang jalan desa yang mulai tertutup debu debu liar yang dimuntahkan Merapi yang sedang dilanda kegalauan hati. Mereka segera menuju ke lokasi yang aman di daerah Boyolali, Magelang dan Jogjakarta. Teriakan nyaring terdengar di mana mana,  membahana ke setiap liuk jalan desa, lantaran kepiluan mereka mencari saudara saudara yang tidak berada di sekitar mereka. Entah hidup yang bagaimana lagi yang harus mereka lakukan ataukah salah dan dosa apa yang mereka miliki, sehingga harus meninggalkan sawah ladang yang selama ini membawa berkah bagi kehidupan mereka. Demikian rasa tidak percaya diri terus saja bergayut di hati mereka. Bayang bayang pilu kini kembali menghantui mereka kala 16 tahun lalu, mereka harus menyaksikan 40 saudara mereka warga Dusun  Turgo,  Purwobinangun,  Pakem telah kembali ke pangkuan Illahi, karena diterjang awan panas Merapi.

Jalan jalan desa yang sempit dan beralas debu debu putih yang liar berlarian di terjang kaki kaki yang melegam, kini terasa pengap dipenuhi dengus nafas dari manusia manusia yang panik, yang ingin segera meninggalkan kampung halaman yang meronakan bara. Sebagian dari mereka harus tertunduk tak berdaya kala awan panas itu mencekik leher dan membakar dadanya. Sedangkan sebagian lainnya harus terus mendayung waktu bergegas menuju barak pengungsian.

Wajah wajah menakutkan tak berbingkai senyum ramah, tidak seperti biasanya keramahan membahana di antara mereka kala bergelut dengan tanah ladang dan lenguh lenguh sapi piaraan, kini hadir di antara mereka.  Apalagi wajah Suto yang bergurat kepedihan, lantaran istri dan ketiga anaknya belum juga tampak disekitarnya. Padahal sebelumnya dia harus jatuh bangun memapah istrinya untuk berlarian sepanjang jalan desa dengan menggendong si kecil, berlarian menuju truk pengungsi yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya uang terpencil.

Diapun segera menggayutksn istri dan ketiga anaknya bergabung dengan  truk yang telah sarat dengan pengungsi lainnya. Hingga diapun harus mengalah menunggu kedatangan
2
truk lainnya. Suto hanya mampu berdoa, meminta kepada Sang Pencipta Gunung Merapi agar istri dan ketiga anaknya bisa kembali disampingnya dan dia diberi kekuatan hati agar mampu tabah dalam menghadapi kemarahan raksaksa biru yang kini menghanguskan semua yang dia milki.

Gemuruh letusan Raksaksa Biru Merapi mulai terdengar Suto dan pengungsi lainnya, rintik hujan kerikil dan pasir mulai berjatuhan di sekitar mereka. Suto berlarian kecil meninggalkan desa Gedangan bersama dengan beberapa pengungsi lainnya, yang datang terlambat. Jauh di belakang mereka awan panas mulai menngulung apa yang berada di depanya. Meski peluh bercampur debu membasahi semua tubuh Suto namun dia tetap menerjang debu debu yang menghalangi pandanganya.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, terlihatlah lampu lampu truk pengungsi dari relawan yang berani menantang maut untuk menyematkan sisa pengungsi yang tertinggal termasuk Suto dan teman temanya, sementara itu beberapa pengungsi yang semula berada di belakang Suto kini tidak tampak  lagi, lantaran diterjang dengus nafas Merapi yang kelewat marah. Meski Suto berhasil menyelamatkan diri dalam bencana itu, namun bilah hatinya masih melekat kuat kepada istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Rasa tidak percaya kembali menggeluti hatinya, betapa sebuah kehidupan yang diusungnya harus disertai dengan perjuangan yang berat demi sebuah kedamaian bersama keluarganya. Namun kembali lagi diapun harus berpasrah kepada Sang Pencipta yang memberikanya hidup dan kebahagiaan bersama istri dan ketiga anaknya.

***
Telah tiga harinya lamanya Suto hilir mudik ke tiap barak pengungsian guna mencari sisa terakhir yang dia miliki, yaitu istri dan ketiga anaknya. Dari barak ke barak , Polres Boyolali, instansi pemerintah Kabupaten Boyolali,  RSU Boyolali,  RSIA Umi Barokah,
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.

“Sudahlah Pak Suto, semua pengungsi disinipun mengalami kehilangan, bukan hanya bapak. Lebih baik bapak makan roti ini, sekedar menambah kekuatan tubuh bapak” . Seorang relawan yang bernama Hendrawan telah terketuk hatinya menyaksikan perjuangan Suto dan keluarganya untuk menggapai kehidupan ini.

“Terimakasih, Mas !, aku tidak akan pernah berhenti sebelum bertemu mereka. Kalau toh mereka menjadi korban aku harus melihat mayat mereka”

“Pak Suto, tenangkan dulu hati bapak. Akan aku antar mencari mereka sampai mereka ketemu. Kebetulan aku banyak kenal teman teman dari media yang juga menjadi relawan. Makanlah dulu pak !”

3
“Ini semua salahku, seharusnya aku langsung mengungsi waktu Pak RT menyuruhku segera mengungsi. Tapi waktu itu aku tidak percaya begitu saja kalau Merapi bakalan meletus separah ini !”

“Kalau toh Pak Suto waktu itu tahu bakalan seperti ini tentu jauh jauh hari sudah mengungsi. Tapi siapa yang tahu kalau bakalan begini. Ini semata mata hanya Kehendak Tuhan Yang Maha Tahu. Baiklah Pak Suto, kita lanjutkan lagi pencarian ini. Sekarang kita coba menyisir pos pos relawan yang ada di Magelang, kita coba kontak dengan teman temanku”

Hujan debu kini mulai menyerang daerah Boyolali dan Magelang, jalan jalan raya dan atap rumah serta dedaunan hijau kini berwarna putih. Mereka berdua dengan sepeda motor hampir selesai menyisir pos pos relawan untuk korban bencana alam Merapi yang tersebar di Magelang, guna meminta informasi termasuk dokter dokter relawan yang bertugas di RSU Tidar RSU, RS Dr Soedjono, RSU Lestari Raharja dan RS Harapan Magelang. Kembali Suto mendapatkan hasil pencarian yang menambah pilu hatinya.

Hingga akhirnya mereka kini hanya bersandar di ruang tunggu RS Tidar melepas lelah ditengah hiruk pikuk upaya pertolongan relawan pada korban bencana alam yang menyayat hati itu. Pandangan mata Suto tercampak pada daftar korban yang meninggal ataupun luka yang ada di papan informasi RS Tidar. Hatinya menguat kembali kini, setelah dia menemukan informasi bahwa terdapat beberapa korban yang dilarikan ke RS Sardjito Jogja lantaran daya tampung rumah sakit di Boyolali   terbatas.

“Mas, kembali aku minta tolong. Antarkan aku ke RS Sardjito, barangkali istri dan anaku di sana !”

“Baik Pak Suto, sekarang juga kita berangkat. Mumpung hujan debu masih tipis”

“Aku harus berkata apa lagi, Mas ?. Sungguh kamu manusia yang mulia, Mas Hendrawan”

“Ah..Pak Suto !. Namanya saja relawan, ya tugasnya harus rela menolong warga yang tertimpa musibah”

“Sungguh, aku bersyukur kepada Tuhan Yang Kuasa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Mas Hendrawan”

“Sama juga aku, Pak Suto. Ternyata masih ada manusia yag berhati tabah seperti Pak Suto yang diterpa bencana seperti ini”

“Habis mau gimana lagi ?”

Hendrawan langsung minta informasi kepada humas posko bantuan bencana alam yang ada di RS Dr Sardjito Jogja dan mereka memang menerima pasien dari Turgo, seorang ibu dan ketiga anaknya yang mengalami pinsan saat evakuasi, lantaran beberapa lama tak sadarkan diri maka dari Boyolali pasien itu dibawa ke Jogja. Namun mereka belum mengetahui siapa nama ibu yang pinsan tersebut. Suto dan Hendrawan bergegas menuju bangsal ekonomi tempat ibu dan ketiga anaknya dirawat.

Kebahagian Suto kembali menyelinap dalam lubuk hatinya melihat istrinya sudah berangsur pulih, meski tubuhnya masih lemas. Sunarti istrinya yang kini terbaring lunglai dihadapanya menjelaskan bahwa dia kala itu tidak tahan menghirup gas belerang yang sangat kuat hingga dia dan Nova putri bungsunya menjadi tak sadarkan diri. Sedangkan kedua kakaknya telah dititipkan pada Pak Sartono tetangganya yang kini masih berada di barak Boyolali dalam keadaan sehat.

Diciumnya pipi istrinya dan si bungsu dengan penuh haru, Sutopun kini hanya mampu memeluk Hendrawan sebagai ungkapan terimakasih yang tak terhingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar