Sedikit
banyaknya Pak RT sudah beberapa kali menyambangi pria paruh baya itu, yang
berambut lurus, berperawankan ceking, cekung matanya menjorok ke dalam, tapi
sorot matanya sangat tajam. Seakan berhasrat menguliti siapa saja yang dipandangya.
Pagi
itu kembali lagi Pak RT menyempatkan diri untuk bertemu denganya, agar mampu
menyakinkan pria yang setengah gila itu. Pak RT sengaja mengajak beberapa
pengurus RT untuk mendampinginya. Meski matahari sudah setinggi daun kelapa,
namun rumah separo papan itu masih senyap. Apalagi di awal musim hujan ini,
ketika hampir semalam hujan membius bumi, semua yang ada dalam rumah menjadi
bertekuk lutut, menyerah
dalam selimut mereka masing-masing. Termasuk Pak Diran, yang tidak tahu atau
pura pura tidak tahu kedatangan Pak RT.
Hanya
tiga kali Pak RT dan pengurusnya mengetok daun pintu dari triplek yang sudah
mulai mengelupas sambil mengucapkan salam, kemudian diam membisu dengan raut
muka yang bersungut. Lantaran rumah pria
misterius itu sama sekali tidak bernafas. Tak beberapa lama pengurus RT itu
kini hanya duduk saja di serambi rumah Pak Diran yang lusuh, berdebu dan dipenuhi daun daun Akasia yang kering
berserakan. Kentara sejak akhir musim kemarau silam, pria itu tidak
berinisiatif untuk menyapunya.
“Sungguh
malang Pak Diran !” Suara Pak RT memecahkan keheningan beranda rumah tua itu.
“Ah,
karena dianya sendiri yang tidak mau berbuat baik” Jawab sekretaris RT.
Kembali
mereka bertiga dibius dinginya pagi itu.
Hanya angan mereka bertiga yang memenuhi hati mereka masing-masing. Meski angan
mereka satu sama lain tidak jauh berbeda, semata menyayangkan nasib pria
setengah gila itu, yang mencampak dirinya sendiri dlam perjalanan hidup yang
suram.
Mereka
bertiga adalah pengurus RT yang tergolong muda usianya dibanding usia Pak
Diran. Maka mereka bisa menyaksikan sendiri, betapa pria misterius itu
mengalami perubahan hidup yang tragis,
lima tahun silam Pak Diran menempati rumah mewah di tepi jalan protokol
yang necis, bersih dan terpandang. Karena dia adalah kontraktor sukses di kota
ini. Istrinya yang masih kelihatan cantik, meski sudah berumur
hampir separuh baya selalu setia mendampinginya, mereka bersama
membesarkan ketiga putri Pak Diran yang tergolong cantik dan cerdas.
Namun
meski Pak Diran sudah berpijak di istana kebagiaan, namun dia tidak pernah
mampu untuk mengendalikan suara hantu hantu yang bergentayangan di jantungnya.
Hantu itu terus saja memberontak dan menelikung angan Pak Diran, agar laki laki malang itu menaburkan uang yang
bermilyar milyar jumlahnya untuk menebarkan kepuasan hatinya.
Maka
mulailah Pak Diran selalu pulang larut malam, untuk menghabiskan bendel demi
bendel uang ratusan ribu rupiah, untuk tersenyum lepas di hantu wanita, yang
bermata juling, berkuku tajam dan hitam, berkulit bagaikan boneka lilin. Namun
dari sorot matanya mampu menyihir siapa saja laki laki yang berduit.
“Ayolah
papa kita habiskan malam ini, agar tidak berwarna kelabu. Jangan takut, papa
mampu membeli kota ini, mampu membeli segalanya. Oh aku belum merasa puas, bila
aku belum memiliki Jaguar dan Bungalow indah di kaki Gunung Slamet. Ayolah
papiku, keluarkan uangmu. Minggu depan kita harus sudah melampiaskan hati kita
dalam bahtera yang lembut, penuh pesona, bahagia, asal kita sudah berada di
bungalow baru…hik…hik…hik” Dari
taringnya yang panjang dan tajam, keluarlah mantera mantera sakti untuk membius
laki laki berduit itu. Seperti bius Cleopatra, yang berhasrat menaklukan Kaisar
Agustinus.
Tangan
kanan laki laki itu memeluk pinggang “kuntilanak” yang berkemas bidadari malam,
sementara tangan kirinya memegang mesra leher sang putri. Namun sama sekali
bulu kuduk laki laki itu tidak meregang. Pertanda dia sangat akrab dengan hantu
“kuntilanak” itu, atau memang Pak Diran adalah juga hantu berbadan kokoh, tegar
dan mampu menundukan hantu siapa saja dari seluruh penjuru alam hantu.
Tak
lama hantu kuntilanak yang hinggap di bungalow yang mewah dan di halaman
rumahnya berdiri asri mobil Jaguar seharga 1 milyar Rupiah, ditinggalkan oleh
hantu petualang itu. Lantaran dia sudah tidak mempan lagi dengan mantra mantra
sakti “sang kuntilanak”. Hantu
kuntilanak itu sudah tidak berkemas “bidadari malam” lagi , dengan jerat di
sayapnya sudah tidak kokoh lagi, kini hantu kuntilanak itu sudah berubah wujud
menjadi nenek tua keriput, berjalan pincang dengan bau anyir di seluruh
tubuhnya.
***
Kini
telah beberapa bulan hantu petualang itu menjelajah semua puncak gunung,
lembah, lautan dan hutan, untuk sejenak melepas dahaga di kuku kuku tajam hantu
kuntilanak lainnya. Meski bidadari
penghuni rumahnya telah lama dia tinggalkan. Sementara ke tiga
putrinyapun telah berbahagia dengan suami setianya masing masing. Sang bidadari
setianya, yang sejak muda dengan setia mengarungi samudra kehidupan Pak Diran,
kini hanya terpagut sepi, berlinang air mata. Berkali kali tanganya memegang
pisau tajam untuk mengakhiri hidupnya, namun selama ini selalu gagal, lantaran
bisik dari bayangan putih yang berkelebat di kamar pengantinya selalu
mencegahnya.
“Tahukah kamu, hai Novia !, keluhuran
dan tingginya derajat kaum wanita adalah mengasuh putra putranya hingga
berhasil dan bersabar mendampingi suami suaminya yang telah berbuat gila.
Janganlah pernah berputus asa, demi masa depan anak anakmu”. Seketika itu jatuhlah
pisau tajam di tangan kanan Novia.
“Tapi
kali ini dia sungguh keterlaluan, apakah ini memang salahku ?. Karena sudah
tidak bisa membahagian dia lagi ?”
“Sama sekali tidak Novia !, kebagian yang
telah dia dapatkan dari kamu sudah terpenuhi. Hanya hantu hantu genit saja yang
sering bersemayam di bilik hatinya”
“Aku
sudah tidak tahan lagi, akhir akhir ini dia malah mengusirku dan berniat
menjual rumah dan mobil hadiah darinya, demi membahagiakan simpananya”.
“Kuatkan hatimu, jangan pernah berhenti
mencintaimu, kecuali engkau sudah berkalang tanah, meski tidak dengan pisau
itu. Berikan saja rumah dan mobil itu, pergilah bersama anak anakmu, mereka
bertiga masih sanggup menyayangimu”
Novia
yang berdandan bidadari malam yang jelita dan berhati sejuk itu, memang harus
meninggalkan rumah hantu yang sekarang berdebu, tidak bedanya dengan kuburan.
Sepasang gelas kaca, bertangkai artistik
“romawi” kerap bersanding di meja makan rumah tua itu, saat saat seperti itulah
Novia kerap berseloroh romantis dengan Diran Prasojo. Sepasang gelas itu pula
diharapkan Novia , agar dirinya mampu
menggayutkan pada “sayap sayap malaikat malam” yang membawanya berkelana ke
tepi malam. Dia berharap mampu menggandeng lengan kokoh kuat milik Diran
Prasojo, yang dahulu mampu membalikan arah putaran bumi.
Namun
ketika malam yang pekat dan lancung itu, tak lagi mampu menyodorkan kenangan
lama, Noviapun segera melipat sayap sayapnya dan jatuh di kamar pengantinya
yang sunyi. Hingga akhirnya Novia memilih untuk bersatu dengan ke tiga putrinya
untuk hidup di bawah kasih mesra, sebagai pengganti sesuatu yang hilang.
Berkali kali bayangan suaminya menjenguknya, dengan raut muka yang mengerikan,
bertaring tajam dan tak pernah bersatu dengan tegur sapa. Pertanda bahwa memang dia sudah tidak menghendaki
pertemuan denganya lagi.
Namun
Novia kini pun menjadi kurus kering dengan dada nyeri ditusuk sembilu jerat yang dipasang hantu
petualang itu. Mungkin dengan menghadap yang Kuasa bagi Novia adalah jalan yang
dipilih oleh Sang Khalik, dari pada hidup berkubang bara. Kini wanita yang malang
itu hanya meninggalkan tubuh yang kaku dan dingin, yang terbujur di depan anak
anaknya. Tanpa disaksikan suaminya yang kini telah berpetualang dari pelukan
hantu hantu kuntilanak yang menemani dalam petualangan panjang.
***
Malam semakin mengunci dan memencilkan dirinya dari
rayuan Pak Diran, yang masih belum merindukan kehadiran istrinya. Diapun tidak
tahu dimana istrinya berada. Sedangkan alamat ketiga putrinyapun belum dia
ketahui. Warna dinding kamar pengantinya yang dulu menggerlapkan hidup bersama
Novia, kini kusam dan retak. Namun sama
sekali dia tak memperdulikan karena rumah itu sudah bukan miliknya lagi. Padahal seluruh tulang persendian dan
ototnya, sudah tidak mampu lagi untuk terbang melawan angin muson, untuk
bertualang dari penjuru ke penjuru bumi ini. Semua harta kekayaan kini telah
musnah. Dunia hantu dan petualangan telah mencampaikan dia di tempat yang
terakhir ini.
Padang
ilalang di sekeliling rumah setengah papan itu menjadi saksi, betapa
menderitanya dia dalam memunguti lagi jarum waktu yang pernah dia tinggalkan.
Setiap kali dia ingin merentangkan sayapnya, setiap kali itu pula Novia hadir
dengan dandanan “ratu malam” yang jelita bagai bidadari. Kerap dia berhasrat
berdiri mendampinginya, namun belum
genap langkah dia torehkan, punggawa punggawa di seliling ratu malam itu
melototkan sorot mata hendak melemparnya jauh jauh.
Lantas
bagaimana kehidupan ketiga putrinya yang sama sekali jauh dari rengkuhanya,
apakah aku sudah memiliki cucu atau mereka semua telah meinggal, tapi di mana
kubur mereka. Apakah laki laki durjana seperti aku, tidak boleh hanya memandang
ketiga putri putriku yang dulu cantik dan jelita. Apakah aku harus terbujur
kaku tanpa kehadiran mereka. Bisik hati hantu petualang yang telah pongah itu
tal hentinya melekat di jarum waktu.
***
Suara
batu batuk kecil tapi dalam terdengar dari dalam rumah, Pak RT dan temanya itu
segera beranjak dan menghampiri pintu yang telah separo terbuka, senyum tipis
yang mengguratkan pipi yang lapuk dan menampakan gigi menghitam, menyambut
kedatangan mereka bertiga.
“Beginilah
nasib saya, Pak RT. Aku hanya ingin bertemu istri dan ketiga anaku !” Pak Diran
perlahan membuka pembicaraan mereka berenpat di tikar bambu yang sudah mulai
banyak berlubang.
“Maaf,
Pak Diran !. Kami dan semua warga sudah berusaha melacak ke sana kemari, tapi
hasilnya masih nihil”. Jawaban Pak RT menyentakan hati Pak Diran yang sudah
lemah tak berdaya.
“Ah,
tidak apa apa, semua ini memang salah saya, Pak RT !”
“Tapi
kami tidak putus asa, Pak Diran !. Tolong berikan kami semua alamat saudara Bu
Novia di mana saja, kami akan berusaha menghubunginya”
Sepotong
kertas kumal denga tangan gemetar diberikan Pak Diran kepada Pak RT, meski
bibir keriput itu sudah tidak sanggup lagi berkata. Hanya senyum hambar dan
sedikit tundukan kepala melepas kepergian Pak RT.
Padang
ilalang kembali gersang terpagut sepi, gerimis mulai membasahi beranda rumah
tua, yang hanya satu satunya milik Pak Diran yang masih tersisa bersama dengan
angan dan harapanya, untuk kembali berbahagia dengan Novia dan ketiga putrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar