Jalan desa yang terbuat dari tanah di tengah musim
kemarau yang kerontang, kini berdebu
merebaki pandangan pemuda yang menggelorakan revolusi. Dada mereka kini penuh
sesak dengan kegalauan, lantaran Met of zonder kini merendakan bunga revolusi di tengah
hati mereka. Akankah mereka mampu menerjang dan menyodori bara api itu ke Mayor A.G. Greenhalg.. Sang Tikus “Tentara Sekutu” yang
mencoba melumuri revolusi mereka dengan kedurjanaan.
Di Tirus sebuah batas Kota
Kecil Tegal di Jawa Tengah, kereta api-uap “fajar” baru saja melewati kota yang
lengang di dera revolusi. Disamping rel yang baru saja dilewati itu, terdapat
rumah papan kayu jati yang lusuh dan terlihat di dalamnya wajah-wajah sangar AFNEI yang bermimpi “melamar bidadari Pertiwi”
ini. Papan berhias cat warna merah membara di depan gardu itu bertulisan Fixed
Boundaries Tegal meradangkan
lengan lengan kecil, yang tiada seberapa dayanya, namun bersemangat untuk
segera merobohkan kesombongan serdadu serdadu yang merengkuh kebiadaban.
Angin revolusi bertambah
liar dan kencang bertiup hingga tiap
sudut kota kecil ini. Ketika AFNEI atau NICA sama saja, mereka telah
menancapkan keangkuhan di bumi Surabaya dan mereka telah menyulut api revolusi
yang menyalak di tiap dada yang sesak karena ketidakadilan. Sebuah api revolusipun yang memijar tak kalah panas ketimbang nyala “ moncong M3/M5 Stuart dan senapan mesin Browning
M1919A4” yang selalu memuntahkan peluru dan selalu pula mencari darah lengan lengan
anak revolusi yang tak berdaya. Tetapi tak lekang berniat melempar tikus-tikus
colonial menjadi tak berdaya.
Tantangan Sang Gubernur Surabaya
“Surya” di kota jauh di timur, sempat di dengar oleh bedil-bedil tua dan
dingin, namun tetap di genggam oleh tangan-tangan yang lahir dari tengah
kepulan asap mesiu. Sang Surya tiada pernah mau menyerahkan kesakralan merah
darah dan putih tulang kepada laksamana
Lord Louis Mountbatten.
Maka kembali dada para saksi pendzoliman kemanusiaan itu semakin menantang ke
langit, untuk sekedar menghatur tawakal dan mengacungkan lengan, agar mampu
melemparlan kekotoran AFNEI itu ke bibir neraka.
Bedil M1 Garand milik satu-satunya kini
berpindah di tanganya dari bawah ranjang tua, sambil mengelus larasnya, sebuah anganpun
lantas dia torehkan, selama dia bergumul mesiu dengan Tikus NICA, andaikata
bedilnya itu mampu membungkam Thompson M1928 dan M2
Browning milik KNIL ataupun NICA. Barangkali saja dia sudah
mengenyam kemerdekaan atau dia kini masih bersanding dengan istrinya, yang empat tahun lalu meregang nyawa lantaran
tidak kuasa melawan wabah kolera yang menyerang desa terpencil itu.
Kapten Soedibyo mengerutkan
alisnya, wajahnya menjadi menegang, seakan melihat malaikat pencabut nyawa yang
menghampirinya. Dia terjerambab anganya hingga pudarlah bayangan Sunarsih,
istrinya yang kini hanya angan, ketika melihat anggota TKR, Letnan Taryono
menyeringai dihadapanya seakan memberi kabar bahagia.
“Surabaya, pecah
dan terjadi pertempuran frontal”. Letnan Taryono lantas duduk di samping
komandannya, di kursi penjalin yang kumal dan reot. Mendengar laporan anak
buahnya merah padam wajah Kapten Soedibyo
“Jadi mereka tetap menuntut balas kematian Brigjen Mallaby. Memang mereka
pantas dimasukan ke dalam kawah gunung Merapi”
“Dan ada kabar
dari intelejen bahwa Panglima Besar TKR, Pak Dirman memerintahkan kita untuk
meneruskan gerilya dan menggigit NICA dengan masuk ke kota”
“Merdeka,Bung !. “
Kapten Soedibyo lantas mengepalkan tangan sambil terus menggelorakan api
revolusi di dalam dadanya. Rasa benci muak kini bergayut di dinding hati. Sorot
mata yang nanar segera bangkit,hingga berkali kali tanpa sadar, dia mengokang
bedilnya Garand, seakan
mendapat tantangan dari Tikus NICA, ataukah bedebah KNIL yang menjual bangsanya.
Seluruh dinding rumah dengan kanvas lukisan yang murung dan suram, bagaikan
kehidupan Kapten Soedibyo kini diam terbujur.
Ataukah lebih baik bagi
kapten yang menjadi buah bibir kota kecil itu, .agar sigap menerjang Fixed Bounderies yang dibangun
dari keangkuhan dan menjulang bagai wujud kemunafikan anak bangsa yang tega
menjual sebuah nasionalisme. Kini dalam hati Soedibyo dan sejuta hati yang
terhimpit, telah menggapai tekad dengan disaksikan seribu malaikat, yang
sayapnya telah siap dibasahi merah darah mereka.
Sementara itu rel kereta
api yang terbentang di tepi kota kecil itu telah berkilauan memantulkan sinar
matahari musim kemarau. Matahari tepat di atas kepala mereka dengan garangnya
tiada pernah merasa penat. Suara riuh burung
di padang alang-alang yang melambai di tiup angin kembara, adalah
pertanda bahwa manusia bakal melampiaskan nafsu amarahnya yang merebak tiada
henti di Bumi Pertiwi yang Elok dan
Ayu. Kapten Soedibyo beserta anak buahnyapun siap memainkan episode ini.
Bukankah episode ini memang harus dimainkan dalam roda jaman yang terus
menggerus kehidupan ini.
Kota kecil itupun meradang
pilu, setelah riuh suara api yang dilontarkan iblis iblis NICA, dengan laras laras M1917 Revolver, Thompson M1928, M2 Browning Maching Gun M1903 Sringfield serta howitzer dan menebar peluru tajam untuk merajang bambu
runcing, pedang, golok, keris dan Garand milik Kapten Soedibyo. Namun tulang
tulang berserakan itu kini mulai hidup lagi, setelah mati lantaran tiada pernah
merasakan hidup di bawah kuku tajam penjajah. Awan yang menggambar kanvas
langit kinipun meliuk lantaran hasrat untuk mengungkap misteri yang ada dalam
diri manusia.
Sementara putih sinar
mentari berganti dengan pengap lantaran asap mesiu, Namun Kapten Soedibyo tiada
pernah mengenal itu. Hanya Sunarsih yang menari dengan hiasan selendang
bergumul dengan asap mesiu. Ibaratnya mewangian yang mengundang hasrat Kapten
Soedibyo yang telah letih dengan penantian. Sunarsihpun menyanyikan lagu
Asmarandana denga menaburkan kembang setaman yang jatuh dari langit. Nyanyian itupun kini menghipnotis Kapten
Soedibyo dan berusaha menggapainya, setelah dada sebelah kirinya merasa pedih
yang sangat.
Kapten Soedibyo sempat
menoleh ke belakang, kala dia mendengar riuh suara anak buahnya , “ Kapten.
Muduuuur,jangan maju…!!!!”. Sedangkan sebagian lagi memekikan “Merdeka, Kapten.
Kuatkan dirimu, jangan tinggalkan
kami.Kami ingin merasakan kemerdekaan besamamu”. Namun suara suara itu
bertambah pelan, Kapten Soedibyo kini menggandeng mesra Sunarsih untuk
bersemayam di langit biru tempat Tuhan Yang Kuasa Bersemayam.
Catatan :
- Laksamana Lord Louis Mountbatten adalah Komandan Tentara Inggris untuk Asia Tenggara
- AFNEI : Gabungan tentara sekutu yuang beretugas di Indonesia atau Allied Forces Netherlands East Indies
- Brigjen A.W.S. Mallaby. Komandan AFNEI yang mendarat di Surabaya.25 Oktober 1945.
- Fixed Bounderies: Gardu Jaga Keluar masuk kota yang dijaga NICA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar