Jumat, 02 November 2012

Bedil Revolusi


Jalan   desa yang terbuat dari tanah di tengah musim kemarau yang kerontang,  kini berdebu merebaki pandangan pemuda yang menggelorakan revolusi. Dada mereka kini penuh sesak dengan kegalauan, lantaran      Met of zonder   kini merendakan bunga revolusi di tengah hati mereka. Akankah mereka mampu menerjang dan menyodori bara api itu ke Mayor A.G. Greenhalg.. Sang Tikus “Tentara Sekutu” yang mencoba melumuri revolusi mereka dengan kedurjanaan.

Di Tirus sebuah batas Kota Kecil Tegal di Jawa Tengah, kereta api-uap “fajar” baru saja melewati kota yang lengang di dera revolusi. Disamping rel yang baru saja dilewati itu, terdapat rumah papan kayu jati yang lusuh dan terlihat di dalamnya wajah-wajah sangar  AFNEI yang bermimpi “melamar bidadari Pertiwi” ini. Papan berhias cat warna merah membara di depan gardu itu bertulisan  Fixed Boundaries Tegal  meradangkan lengan lengan kecil, yang tiada seberapa dayanya, namun bersemangat untuk segera merobohkan kesombongan serdadu serdadu yang merengkuh kebiadaban.

Angin revolusi bertambah liar dan kencang  bertiup hingga tiap sudut kota kecil ini. Ketika AFNEI atau NICA sama saja, mereka telah menancapkan keangkuhan di bumi Surabaya dan mereka telah menyulut api revolusi yang menyalak di tiap dada yang sesak karena ketidakadilan. Sebuah  api revolusipun yang  memijar tak kalah panas ketimbang nyala  moncong    M3/M5 Stuart dan senapan mesin Browning M1919A4” yang selalu memuntahkan peluru  dan selalu pula mencari darah lengan lengan anak revolusi yang tak berdaya. Tetapi tak lekang berniat melempar tikus-tikus colonial menjadi tak berdaya.

Tantangan Sang Gubernur Surabaya “Surya” di kota jauh di timur, sempat di dengar oleh bedil-bedil tua dan dingin, namun tetap di genggam oleh tangan-tangan yang lahir dari tengah kepulan asap mesiu. Sang Surya tiada pernah mau menyerahkan kesakralan merah darah dan putih tulang kepada laksamana Lord Louis Mountbatten. Maka kembali dada para saksi pendzoliman kemanusiaan itu semakin menantang ke langit, untuk sekedar menghatur tawakal dan mengacungkan lengan, agar mampu melemparlan kekotoran AFNEI itu ke bibir neraka.

Bedil M1 Garand milik satu-satunya kini berpindah di tanganya dari bawah ranjang tua, sambil mengelus larasnya, sebuah anganpun lantas dia torehkan, selama dia bergumul mesiu dengan Tikus NICA, andaikata bedilnya itu mampu membungkam  Thompson M1928 dan  M2 Browning milik KNIL ataupun NICA. Barangkali saja dia sudah mengenyam kemerdekaan atau dia kini masih bersanding dengan istrinya, yang  empat tahun lalu meregang nyawa lantaran tidak kuasa melawan wabah kolera yang menyerang desa terpencil itu.

Kapten Soedibyo mengerutkan alisnya, wajahnya menjadi menegang, seakan melihat malaikat pencabut nyawa yang menghampirinya. Dia terjerambab anganya hingga pudarlah bayangan Sunarsih, istrinya yang kini hanya angan, ketika melihat anggota TKR, Letnan Taryono menyeringai dihadapanya seakan memberi kabar bahagia.

“Surabaya, pecah dan terjadi pertempuran frontal”. Letnan Taryono lantas duduk di samping komandannya, di kursi penjalin yang kumal dan reot. Mendengar laporan anak buahnya merah padam wajah Kapten Soedibyo

 “Jadi mereka tetap menuntut balas kematian Brigjen Mallaby. Memang mereka pantas dimasukan ke dalam kawah gunung Merapi”

“Dan ada kabar dari intelejen bahwa Panglima Besar TKR, Pak Dirman memerintahkan kita untuk meneruskan gerilya dan menggigit NICA dengan masuk ke kota”

“Merdeka,Bung !. “ Kapten Soedibyo lantas mengepalkan tangan sambil terus menggelorakan api revolusi di dalam dadanya. Rasa benci muak kini bergayut di dinding hati. Sorot mata yang nanar segera bangkit,hingga berkali kali tanpa sadar, dia mengokang bedilnya Garand, seakan mendapat tantangan dari Tikus NICA, ataukah bedebah KNIL yang menjual bangsanya. Seluruh dinding rumah dengan kanvas lukisan yang murung dan suram, bagaikan kehidupan Kapten Soedibyo kini diam terbujur.

Ataukah lebih baik bagi kapten yang menjadi buah bibir kota kecil itu, .agar sigap menerjang Fixed Bounderies yang dibangun dari keangkuhan dan menjulang bagai wujud kemunafikan anak bangsa yang tega menjual sebuah nasionalisme. Kini dalam hati Soedibyo dan sejuta hati yang terhimpit, telah menggapai tekad dengan disaksikan seribu malaikat, yang sayapnya telah siap dibasahi merah darah mereka.

Sementara itu rel kereta api yang terbentang di tepi kota kecil itu telah berkilauan memantulkan sinar matahari musim kemarau. Matahari tepat di atas kepala mereka dengan garangnya tiada pernah merasa penat. Suara riuh burung  di padang alang-alang yang melambai di tiup angin kembara, adalah pertanda bahwa manusia bakal melampiaskan nafsu amarahnya yang merebak tiada henti di Bumi Pertiwi yang Elok dan Ayu. Kapten Soedibyo beserta anak buahnyapun siap memainkan episode ini. Bukankah episode ini memang harus dimainkan dalam roda jaman yang terus menggerus kehidupan ini.

Kota kecil itupun meradang pilu, setelah riuh suara api yang dilontarkan iblis iblis NICA,  dengan laras laras M1917 Revolver,  Thompson M1928, M2 Browning Maching Gun  M1903 Sringfield serta howitzer  dan menebar peluru tajam untuk merajang bambu runcing, pedang, golok, keris dan Garand milik Kapten Soedibyo. Namun tulang tulang berserakan itu kini mulai hidup lagi, setelah mati lantaran tiada pernah merasakan hidup di bawah kuku tajam penjajah. Awan yang menggambar kanvas langit kinipun meliuk lantaran hasrat untuk mengungkap misteri yang ada dalam diri manusia.

Sementara putih sinar mentari berganti dengan pengap lantaran asap mesiu, Namun Kapten Soedibyo tiada pernah mengenal itu. Hanya Sunarsih yang menari dengan hiasan selendang bergumul dengan asap mesiu. Ibaratnya mewangian yang mengundang hasrat Kapten Soedibyo yang telah letih dengan penantian. Sunarsihpun menyanyikan lagu Asmarandana denga menaburkan kembang setaman yang jatuh dari langit.  Nyanyian itupun kini menghipnotis Kapten Soedibyo dan berusaha menggapainya, setelah dada sebelah kirinya merasa pedih yang sangat.

Kapten Soedibyo sempat menoleh ke belakang, kala dia mendengar riuh suara anak buahnya , “ Kapten. Muduuuur,jangan maju…!!!!”. Sedangkan sebagian lagi memekikan “Merdeka, Kapten. Kuatkan dirimu,  jangan tinggalkan kami.Kami ingin merasakan kemerdekaan besamamu”. Namun suara suara itu bertambah pelan, Kapten Soedibyo kini menggandeng mesra Sunarsih untuk bersemayam di langit biru tempat Tuhan Yang Kuasa Bersemayam.
Catatan :
  • Laksamana Lord Louis Mountbatten adalah Komandan Tentara Inggris untuk Asia Tenggara
  •  AFNEI : Gabungan tentara sekutu yuang beretugas di  Indonesia atau Allied Forces Netherlands East Indies
  • Brigjen A.W.S. Mallaby. Komandan AFNEI yang mendarat di Surabaya.25 Oktober 1945.
  • Fixed Bounderies: Gardu Jaga Keluar masuk kota yang dijaga NICA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar