Minggu, 04 November 2012

Rumah di Batas Kota



            Mestinya   aku biarkan saja  semua yang menimpaku  berlalu begitu saja, tanpa singgah barang sedikitpun  di sudut hati. Sehingga jadilah aku manusia yang terbang bebas kesana kemari, sebebas angin kemarau menerjang siapa saja yang dihadapannya.  Bahkan tak akan kulepaskan sayap ini hingga kudapatkan penggantimu.  Tanpa adanya  sedikitpun  bayang  Angelina  yang selalu saja mencuri hatiku.  Apalagi kini  sebuah penantian memagutku  tak berdaya.                       
            Aku sendiri tak menyadari, bila Angelina selalu saja  bersembunyi  di balik kekagumanku. Hingga sebuah kenyataan yang ada didepanku terasa sungguh sulit kuterima. Masih saja ada tatapan harap yang selalu membentur semunya batas pandang. Angelinapun pergi entah kemana. Lantas apa yang dia miliki dalam hatinya, apakah hanya bunga sedap malam, ataukah aku yang dungu , yang hanya mampu terbujur di keputusasaan.
            Tahun pertama sebuah perpisahan terasa belum seberapa lama,  sebuah kado ultah Angelina yang ke 23 pun sempat aku beli dan kuterbangkan hingga ke Ujung Pandang menyusuri kenangan bersama dia,  kala dia mengajaku berliburan di rumah Tante Rosa. Kembali aku merasakan kedua kakipun terasa telah terjerambab ke dasar bumi, kala Tante Rosa mengabari bahwa Angelina telah pindah ke Sidney , merengkuh bahagia bersama pria bule.
            Tapi memang dialah Angelina, yang memang pantas menerima kebahagiaan seperti itu.Menapaki maghligai bahagia dengan pria yang mampu membahagiakan dia segalanya. Semoga saja Angelina mampu memiliki dunia ini dengan segala kekurangannya. Atau kekurangan apapun yang dia terima, mampu disikapi dengan kelapangan hatinya yang seluas dunia.
            Moga saja Tom suaminya mau menerima Angelina apa adanya, menerima sesuatu yang dimiliki Angelina dengan segala kekurangannya, dibalik kecantikanya. Karena hanya aku saja yang selama ini mampu menerima kekurangan  Angelina, karena sebuah janji sempat aku torehkan didepanya dengan saksi air matanya yang membasahi bahuku. Kala dia menerima hasil diagnose dokter yang menemukan adanya kanker ganas yang bersemayam di organ dalamnya.
            “Marcell, aku harus mengucapkan selamat tinggal untukmu”. Kalimat darinya masih saja menghuni telingaku, meski telah satu tahun lamanya.
            “Tenanglah dulu, Lia !. Jangan berkata kaya gitu”
            “Aku harus ngomong gimana, bacalah hasil lab PA ini. Oh Tuhan kenapa begini !”
            Sebuah pelukan lebih hangat dan rapat membuat akupun tidak ingin kehilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan  dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.
            ‘Oh Marcell, bagaimana ini ?”
            “Kamu harus bersabar Lia, tentu saja yang mampu menyembuhkan adalah ketegaran kamu sendiri “. Dadaku terasa sesak saat Angelina menumpahkan kesedihan dan kegetiran hatinya dengan memeluku erat. Sementara seluruh tubuhnya tergoncang, lantaran Angelina belum mampu menerima kenyataan ini. Sekarang  telah lima tahun berselang, aku telah berusaha menambatkan bahtera hidupku dengan gadis pilihanku yang mampu menyirnakan bayang kehadiran Angelina, namun selalu kandas dan berakhir dengan perpisahan. Selalu saja kekelaman aku dapatkan sama seperti yangh ditorehkan Angelina.
            Memang tak semestinya aku terus ditelikung bayang Angelina, aku laki laki yang sudah sepantasnya menggenggam dunia dengan ketegaran hati dan kekokohan langkah. Hari demi hari baying Angelinapun tertinggal jauh, Sebuah langkah percaya diri dan gentle kembali aku dapatkan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
            Hingga datanglah Rully, yang membuatku kembali lagi terbangun setelah lima tahun mengalami mimpi buruk terpasung Angelina. Sebuah rumah mungil di pinggir Kota Semarang telah menjadi saksi bahwa bahtera yang aku miliki telah menambatkan diri di tepi pelabuhan hati Rulli. Berbagai suka dan dukapun menjadi saling berbagi.  Layaknya saling bergantinya temaram senja dan fajar di ufuk timur. Meski kebahagiaan Rully dan aku belum lengkap tanpa kehadiran seorang putrapun.
            Rullylah yang paling merasakan kekurangan ini.  Begitu besar kerinduan dirinya akan kehadiran seorang  putra. Bahkan kerinduan ini semakin lama semakin menggrogoti hatinya. Hingga pada akhirnya diapun meminta sebuah perpisahan. Mungkin saja Tuhan berkenan menciptakan hambanya yang memang sanggup menerima cobaan  yang tiada kunjung reda. Disaat sisa umurku yang menipis sebuah perpisahanpun masih saja melekat dalam hidupku. Namun sebuah kodratlah yang menginginkan perpisahan ini, karena merawat benih dalam kandungan, melahirkan dan mengasuh anak hingga dewasa adalah dambaan tiap wanita. Akupun melepas kepergian Rully dengan sebuah keinginan agar hatiku  mampu setegar karang dilautan.
            Rumah mungil di batas kota itupun kini lengang, berisi sebuah episode tentang sketsa hidup seorang manusia, yang berdinding putih kelabu, beratap asa yang tiada bertepi dan berlantai sebuah kekokohan yang terukir selangkah demi selangkah. Namun biarlah rumah mungil di batas kota ini nantinya aku harapkan masih bisa menjadi saksi perpisahan diriku dengan dunia yang penuh kepalsuan. Entah sam[pai kapan waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar