Minggu, 04 November 2012

Nyanyian Duka Ilalang



Padang luas berlantai ilalang memantulkan sinar putih mentari yang berjarak seakan sepenggalah, tiada naungan sama sekali di padang itu. Lantaran pepohonan lebih senang tumbuh di tempat yang membawa kesejukan, ketimbang harus berlomba dengan manusia untuk menggerutui teriknya panas. Sementara debu debu jalang menggambar padang ilalang itu menjadi pengap dan mengaburkan pandangan mata.

Namun di tengah padang tersebut, masih saja manusia mengais kehidupan dengan caranya sendiri, yang tidak mau melangkah surut dari terkaman sinar mentari dan debu pengap demi sesuap nasi. Di tengah tumpukan sampah yang teronggok di tengah padang tersebut, mereka berlomba mencari sampah kaleng, plastik dan yang lainnya guna menyambung nafas yang masih bersemayam di dalam dadanya, yang tak kalah teriknya dengan udara padang. Meski terkadang angin kemarau yang kering dan sejuk itu mencoba mendinginkan semua yang melekang.

Dengan kantong plastic berwarna putih di punggungnya, wajah Sarkasi tertawan oleh perguliran hari yang berkuku tajam dan bertaring menakutkan. Diapun kini melangkah menyusuri jalan setapak, meski harus menyibakan  kuning daun daun ilalang yang mengenai tubuhnya. Jalan setapak yang dilalui berujung pada tepi padang, yang mempertumukan dengan bocah kecil berambut menguning terpagut sinar mentari dan tanpa alas kaki. Kedua kakinya coklat kehitaman, lantaran bocah itu telah akrab dengan kehidupan keras bapak ibunya yang selalu bermandi peluh dan sinar mentari.

“Bapak ! “ suara lantang memenuhi semua mulut jalan setapak itu. Sebuah senyum menghiasi siang yang membara itu dari bibir kecil putri bungsunya seraya menjulurkan kedua tanganya, untuk mendapatkan belaian kasih sayang dari pria yang  tak kenal lelah dalam secercah kehidupan. Tangan kanan Sarkasi kemudian dijulurkan untuk menggendong putri bungsunya itu.
“Kamu  tidak menunggui emakmu, sayang?”

“Emak sudah tidur, mengapa  emak tidur terus, kapan emak sembuh, ya Pak ?”
“Sebentar lagi juga sembuh, makanya kamu harus sering mendoakan emakmu, ya sayang !”.
“Ya Tuhan, aku memohon padamu, kapan emak sembuh ya Tuhan, aku ingin berjalan jalan kalau sore dengan emak. Sembuhkanlah emak, ya Tuhan “. Pandangan mata lugu bocah itu terus dilemparkan ke langit biru, tempat Tuhan bersemayam menurut anganya. Sementara itu Sarkasi hanya tersenyum getir dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Emak sakit apa sih Pak ?”
“Emak tidak sakit, emak hanya kecapaian, besok juga sembuh. Nanti kamu bisa jalan jalan ke mana kamu suka, sayangku !”

Tangan Sarkasi masih tetap kokoh menggendong putri bungsunya, sementara itu gubug bambu milik mereka sudah mulai tampak, di tengah rimbun pohon pisang, singkong dan tanaman lombok. Pilar pilar yang meski terbuat dari batu bata, namun tidak cukup kokoh menahan terpaan angin kemarau yang kencang dan kering. Sehingga rumah bambu itu sedikit bergoyang. Dan di dalam rumah bambu itu tergolek lemah Sumiasih yang diterjang kanker alat pencernaan yang ganas. Sumiarsih masih menyodorkan senyum tulusnya dari bibirnya yang pucat dan kering itu, kala suaminya yang menggendong Esti berdiri di sebelah pembaringan yang berkulum sepi.

“Kau sudah datang, Bang !”. Sarkasi hanya mengganggukan kepalanya dengan sebuah senyum yang dalam untuk membalas tegur sapa istrinya yang dicintainya selama 20 tahun.
“Maafkan aku Bang !, aku tidak menyiapkan makan siangmu. Hari ini badanku terasa lemas, Bang !, biarkan Esti disampingku, aku selalu kangen dengan anak kita ini”
“Asih, biar abang nanti masak sendiri. Istirahatlah dulu !”
“Tapi aku juga tidak masak sayur dan lauk, Bang?”

‘Pemulung seperti saya ini, lauk apapun jadi, biarlah abang nanti masak sayur daun singkong”
“Dari pagi, Bang!, setelah Abang pergi perut aku terasa sakit lagi dan Alhamdulillah sekarang sudah agak berkurang”
“Asih, abangkan berkali kali minta agar kamu mau dioperasi ?”
“Ah si Abang, biaya dari mana Bang ?”
“Aku masih punya tanah ini yang bisa kita jual untuk operasimu, Esti masih membutuhkan kamu, maka biarlah tanah ini jadi milik orang lain asalkan kau bisa sembuh dan bahagia”.
“Engkau membutuhkan waktu bertahun tahun banting tulang untuk bisa membeli tanah ini, mengapa pula harus kau jual demi aku ?”

“Tapi kehadiranmu di sisi Esti dan Didin jauh lebih berharga daripada tanah ini. Masalah rumah kita nantinya, serahkan saja pada kekuasaan Yang D iatas sana”
“Tapi aku kasihan dengan kedua anak kita. Bang !, abang kan tahu !. Didin anak sulung kita hanya mampu bersekolah hingga SMP, dan  kini hanya bisa menjadi abang becak di Jakata. Aku tidak mau  mengecewakan Didin yang kedua kali. Kelak mereka berdua membutuhkan  tanah ini untuk kehidupan Didin dan Esti. Aku harap kau mengerti “

Kata kata terakhir Sumiasih sudah tidak mampu dia dengarkan lagi, beribu sayap yang kokoh kini menjinjingnya untuk mengembarakan anganya menyelusuri langit biru, yang telah dihiasi mentari yang mulai condong ke Barat.  Anganya yang ada di langit mampu  menyelusuri benang benang waktu, mulai dari dia melewatkan malam pertama dengan Sumiasih hingga dia di pembaringan kini tak berdaya.

Betapa indahnya hidup yang dia jalani bersama Sumiasih,  layaknya mengguratkan warna warni keindahan di langit biru. Meskipun mereka berdua mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh  keterbataan, namun langit di atas hidup mereka benar benar penuh warna.
Sumiasih kini hanya terdiam dengan batuk batuk kecil terus terdengar memenuhi semua udara di kamarnya yang beratap bambu dan berlantai tanah. Esti masih merangkai mimpi indah di sisi Sumiasih, yang berulang membelai rambut kering dan lurus putri bungsunya. Angin kemarau bertambah kencang menerobos lubang lubang dinding bambu.

“Asih !”
“Ya bang !”
“Sebaiknya aku kabari Didin untuk pulang dan mengerti tentang penyakitmu. Aku takut kalau dia marah nantinya “.
“Biarkanlah dia di Jakarta dulu, Bang. Aku khawatir saat dia mendengar tentang penyakitku, jiwanya menjadi tergoncang, aku kasihan  bang “

“Aku menjadi bimbang, Sih. Memang benar ucapanmu. Kita saat ini masih merasa berdosa hanya mampu menyekolahkan dia ampai SMP saja. Maka akupun ingin dia benar benar bahagia di Jakarta, tidak terbebani dengan keadaan orang tuanya di sini. Tapi di lain pihak, barangkali saja kehadiran Didin bisa menyembuhkan penyakitmu “. Suimiarsih hanya tersenyum ringan mendengar serangkaian kata bijak dari sang suaminya yang kokoh sekuat baja dalam menghadapi benturan hidup, sejak mereka sepakat membina maghligai mereka berdua. Sebuah maghligai yang diibaratkan sebuah perahu kertas di tengah riak air, namun perahupun tidak kunjung tenggelam, kecuali Yang Maha Kuasa yang Menghendaki.

“Tapi apa kamu tidak kangen?, istriku !”
“Didin adalah anak kita yang sulung, yang  berarti bagi hidup kita, Bang!. Kala kita berdua hanya hidup di rumah kontrakan, kala Didin tidak boleh ikut tes di sekolah, kala dia hanya tinggak di rumah sementara temen temen sekolahnya piknik ke Bali, lantaran kita tidak punya uang untuk membayar piknik. Tapi Didin tidak pernah protes dengan ketidakmampuan kita, Bang. Sekarang biarlah dia bahagia di Jakarta, jangan sampai dia tahu bila aku terkena kanker pencernaan, aku tidak tega lagi melihat dia menderita “. Sumiarsih sudah tidak mampu lagi meneruskan kata katanya, lantaran bara panas telah mengganjal tenggorokanya.

Dadanyapun terasa sesak seakan seribu tangan raksasa telah menelikungnya

Sarkasipun hanya tertunduk lesu, kedua matanya kini berkaca-kaca. Rasa tidak tega terhadap istrinyapun kini memenuhi semua dadanya. Betapa besar pengorbanan istrinya yang selama belasan tahun telah menyertai langkah kakinya dalam menapaki jalan hidup yang penuh banturan sebagai seorang pemulung. Tapi kini hanya tergolek lemas di pembaringan, tanpa berobat ke dokter ahli kanker. Tidak seperti biasanya istrinya hanya tersenyum kala menghadapi cobaan hidup mereka bersama.
“Asih, maafkan Abang ya ?” pinta Sarkasi dengan nada suara terputus,.
“Maaf, untuk apa Bang ?”
“Aku tiak mampu berbuat apapun saat engkau seperti ini. Harusnya aku memiliki uang untuk mengobati penyakitmu “

“Bang, apa baru kali ini kita mengalami penderitaan, setiap terbitnya matahari penderitaan dan kekurangan yang pertama mengucapkan selamat pagi pada kita. Aku sudah tidak mampu lagi merasakan penderitaan ini, Bang !”

“Tapi siapa orangnya yang tidak iba melihat penderitaan seorang istri seperti kamu. Asih !, masih ada kesempatan untuk  membawamu ke rumah sakit. Jangan kamu berpikir terlalu jauh, yang pentingkamu bisa bersanding disampingku dan membesarkan Esti yang membutuhkan kamu”
Suara batuk batuk Sumiarsih terdengar lagi dengan dada yang terguncang berat. Sambil terus menyodorkan senyum pada suaminya, diapun mencoba untuk menyadarkan suaminya, bahwa dia sudah merelakan semuanya. Barngkali kematianlah yang paling membahagiakan dia dalam menghadapi badai kehidupan. Sumiarsihpun tahu meski suaminya menghabiskan biaya ratusan juta namun peluang untuk hidup tetaplah tipis.  Maka diapun mencoba meminta suaminya untuk tetap bahagia apapun yang terjadi dengan dirinya.

“Tahu kemarin aku hanya berobat dan mondok di rumah sakit, abang sudah menjual seekor sapi. Lantas bila aku harus operasi yang biayanya ratusan juta, abang mau jual apalagi. Sudahlah Bang, aku siap menghadapi apa saja. Bahagiakan abang di tengah Didin dan Esti”. Sumiarsih bertambah pucat pasi wajahnya, diapun kini tertidur di sisi suaminya dan Esti. Sementara matahari kini telah mulai lelah menyaksikan episode drama dari sepasang insan yang harus menghadapi segala sesuatu dengan kemampuan  mereka sendiri, kini matahari mulai bersembunyi di tirai senja.

Sarkasi dan Esti putri bungsunya melewatkan senja ini dengan canda ria, Estipun menjadi bertambah berseri wajahnya setelah berhari hari hanya murung, sementara ini Esti mampu melupakan emaknya, yang sedang meregang nyawa di pembaringan.Nampaknya memang Tuhan telah mengabulkan permohonan Sumiarsih untuk menapaki kebahagiaan yang abadi disisiNYA.
Senja itu adalah senja terakhir Sarkasi didampingi Sumiarsih, setelah beribu ribu episode Sumiarsih tidak pernah absen disampingnya. Sarkasipun tahu bahwa kebahagiaan seorang manusia ternyata berada di jauh hati manusia itu sendiri, bahagia bukah diwujudkan dengan berhamburan materi. Terbukti dua puluh tahun lebih dia merasakan kebahagiaan berada di samping Sumiarsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar