Rabu, 21 November 2012

Di Balik Gemerlap Bintang



Lalu lalang kunang malam, bagaikan lampu perahu nelayan di tengah laut buta, sesekali menyambangi halaman rumahnya, yang senyap diterkam malam binal. Seorang laki laki paro baya merebahkan punggungnya di kursi bambu di bawah pohon jambu, yang kurus kering tumbuh di halaman rumahnya. Wajahnya dihadapkan pada jalan tanah kampung yang mengering dan membisu, setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Sengaja dia berkerumun bintang dan berselimut kain hitam malam karena bintanglah yang paling tahu tentang hatinya yang bertepi kegalauan dan bintang pula yang paling dia anggap ramah, lantaran tak satu kalipun bintang bintang itu pernah mengotori hatinya. “Bintang bintang itu! biarlah malam ini menjadi miliku”, demikian bisik hatinya.
Apa hanya milik setangkai anyelir saja yang bisa berceloteh tentang bintang, baik bintang kejora atau bintang berparade gubug penceng yang berbaur sinarnya memenuhi sisi sisi langit. Atau hanya bingkai hati seorang laki laki yang sedang berselingkuh dengan bintang yang kini tidak mampu menautkan hati pada apa saja, baik dikala merontanya senja atau dikala angkuhnya sang bulan purnama yang menjajakan sinarnya. Tapi itulah sebuah guratan eksotis hati, bila ingin terbang bersama sejuta sayap malaikat untuk mengarungi malam dari sisi satu ke sisi lain.
Bukankah sesekali bintang menjenguk laki laki itu yang layaknya Sang Pujangga,  lantas bertegur sapa sehingga telah usai sudah syair-syair yang akan digenapkan pada puisi tentang hidupnya,  yang berfatamorgana hanya pada syair yang nakal dan nisbi. Mengapa pula dia hanya mampu menautkan benang merah pada kenisbian, padahal semua dunia dan isinya mampu dilukiskan dengan  kata kata indah, seindah liarnya butir air di Niagara atau se bebas butir debu di Sahara.
Namun untuk menguntai sebuah malam dengan rajutan bintang, diapun harus membusungkan ruang dadanya kembali, agar berisi udara kejujuran ketimbang hanya diisi udara kemunafikan. Sang Pujangga itu yang hanya ditemani pohon jambu di belakang pagar bambu rumah mungilnya, kini mulai mengerlingkan matanya pada bintang, pada  realita kehidupan, pada debu debu jalanan depan rumahnya yang mulai menyesakan nafasnya.
Pergilah tidur, wahai manusia.  Hari sudah larut, sementara sang kehidupan menungumu esok pagi “ seru sebuah noktah hati entah di sisi sebelah mana. Sang Pujanggapun mulai menampakan sorot matanya yang liar. Di jelajahi semua sudut hatinya, barangkali masih ada rumpun bambu yang rindang agar hatinya tidak gerah lagi. Agar dia bia menyurutkan lebih dalam lagi dari sebuah realita. Kala dia harus jatuh bangun menggegam sebuah realita itu sendiri, kala  dia mencoba untuk menepiskan kemisteriusan benaknya.
Hai, kau…bukankah aku lagi larut dalam canda sang bintang, yang menggumuli aku sepanjang malam ini”.
Suara itupun surut ke belakang menghilang, menyelinap ke tengah kebon singkong yang ada di samping rumah tua itu. Kini dia kembali sunyi dalam samudra buaian bintang bintang malam yang tersenyum genit. Anganya terus berseloroh hingga terdengarlah batuk batuk panjang istrinya dari dalam rumah tua itu. Seketika itu juga cumbu rayu lelaki itu dengan sang bintangpun menjadi surut dan istrinya dengan dibalut baju hangatpun kini telah berada di sisinya.
“Kalau kau semalaman disini dengan lamunanmu tak akan menyelesaikan masalah kita,Pak “
“Justru dengan ditemani sang bintang malam inilah aku bisa menemukan inspirasi dan ide ide untuk mendapatkan jalan keluar untuk hidup kita, yang semakin dipingit kesengsaraan ?’
“Ah kau berlagak seperti  Pujangga saja”    
“Apa itu Pujangga ?”
“Sama saja degan sastrawan atau penyair “
“Aku selalu jauh dari makna yang tersirat dalam untaian kata, hanya mampu kusimpan semua warna warni hidup dalam sudut hatiku”
“Heee..katanya kau bisa mendapat ide dari sang bintang yang bertebaran di langit, suamiku?”
“Ya pasti saja, setiap manusia yang sedang bimbang dengan kehidupan. Biasanya sering menyendiri di tengah malam, untuk menyaksikan parade bintag dan  untuk mendapatkan ide bagaimana besok menyelesaikan masalah “
“Lantas sudah kau sunting sebuah  gagasan dari bintang bintang itu ?”. Sang istri tang menjadi teman sang pujangga itu melontarkan kedua biji matanya kepada laki laki yang lusuh itu.
“Kita sudah tak punya apa apa lagi, hanya padi sisa panen kemarin. Sementara hujan belum membasahi sawah kita, sudah tiga bulan ini tanam kita terlambat. Aku belum berani menanam psdi. Padahal hanya padi yang menguning, adalah harapan kita satu-satunya”
“Tapi sabar saja, Pak. Biasanya bila habis musim kemarau yang menyengat dan panjang.  Akan datang musih yang basah . Tunggu beberapa minggu lagi”
“Besok aku tak datang ke sekolahnya anak-anak, untuk  minta tempo. Bulan bulan ini aku belum bisa melunasi SPP mereka”
“Padahal sebentar lagi anak anak tes semester, Pak. Aku harap entah dua atua tiga bulan SPP mereka dibayar dulu”
“Habis gimana lagi ?, apa anak anak tidak bisa sekolah kalau orang tuanya nggak punya duit. Apa hanya orang kota yang kaya saja, yang bisa memintarkan anak anaknya. Aku harap di negara kita lahir seoang pemimpin yang membebaskan SPP sekolah. Termasuk buku buku yang harganya selangit. Aku heran katanya kita sudah merdeka, tapi nyatanya untuk menyekolahkan anaknya saja sudah kelimpungan”
 “Sudahlah Pak !, kita hanya orang kecil, berteriak sekeras mungkin juga tidak ada yang mau mendengarkan. Bahkan bintang bintangmu di langit hanya diam membisu. Kita bersyukur masih punya beberapa kambing, meski sudah di pesan tetangga kita untuk korban. Kita jual saja untuk SPP anak anak kita dan sisanya untuk menyambung hidup”
 “Tadinya aku berpikir seperti itu, Bu !. Tapi aku nggak enak sama Pak Diran yang sudah memesan kambing kita. Baiklah Bu !, sehabis aku ke sekolah anak anak besok,  aku langsung ke pasar kambing “
 Kedua insan yang hidup sengsara kinipun merasa bahagia, lantaran esok masih ada harapan untuk menyambung nafasnya kembali. Sang bintang kinipun mulai meredup lantaran sang fajar mulai menjemput untuk kembali ke kaki langit. Hanya suara dengkuran panjang sang pujangga yang menghiasi wajah sang fajar. Tak lama sang surya kinipun menyodorkan kehidupan lagi untuk ditapaki manusia manusia yang masih memiliki harapan.
***
Supardi berkalang kegalaun hati kala menunggu kepala sekolah Tono dan Tini. Mukjizat apa yang dapat menolong dirinya untuk mendapatkan kemurahan dari kepala sekolah ke dua anaknya itu. Pak Dirman sang kepala sekolah dengan berhias senyum di wajahnya kini duduk di depan Supardi yang tidak mampu berkata sepatah katapun.
“Oh, jadi ini Pak Supardi bapaknya Tono dan Tini ?”
 “Betul, Pak, kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta keringanan SPP Tono dan Tini. Rencana kami beberapa hari nanti akan menjual ke tiga kambing mereka untuk SPP, jadi saya minta tempo, Pak ?”. Mendengar keluhan Supardi, Pak Dirman melepas tawa panjang yang memenuhi semua sudut ruang guru.
 “Bapak tidak usah menjual kambing mereka. Jadi perlu saya sampaikan kepada Bapak, tanpa memberitahu kedua putra Bapak sebelumnya. Bahwa kedua putra Bapak memiliki prestasi yang bagus. Keduanya memiliki nilai yang tertinggi di kelasnya. Bahkan sikap mereka berdua sangat hormat kepada semua guru, sehingga semua gurupun sayang merela berdua “
“Terus ini bagaimana, Pak ? ”. Sunardi tidak percaya dengan keterangan Pak Dirman itu.
 “Mereka mendapat bea siswa dari negara, sehingga untuk tahun ini keduanya bebas SPP. Makanya kambing mereka jangan Bapak jual dahulu ?’. Suara Pak Dirman membahana ke setiap sudut ruangan, sehingga mengundang perhatian semua guru.
“Oh, terimakasih sekali, Pak!. Aku tidak percaya, mereka berdua hanya anak singkong, yang mampu bersekolah hanya dari hasil panen padi yang tidak seberapa besarnya”
“Apakah anak singkong tidak boleh berpretasi ?. Semua negarawan di tanah air kita juga dulunya anak singkong,  mengapa kedua putra bapak tidak boleh berprestasi !”
“Ah, bapak terlalu berlebihan”
“Bukan hanya itu saja, Pak!. Nanti pas upacara Hari Sumpah Pemuda mereka berdua akan diberi tabungan prestasi dari “Yayasan Prestasi Anak  Jakarta “dan cukup bagi mereka untuk biaya sekolah selama satu tahun “
Hati Sunardi sudah tidak mampu lagi mendengar kabar menggembirakan dari Pak Dirman. Ingin rasanya dia segera sampai di rumah, agar wajah istrinya berseri dan rona merah di pipinya menjadi tergambar, hingga mampu membuat hati sang pujangga anak singkong itu kelimpungan.
***
Rumah Tono dan Tini masih kelihatan lengang, sementara matahari hampir mencapai atap langit. Daun daun singkong di samping rumahnya sudah mulai kelihatan menunduk dipagut teriknya mentari. Erniyati masih kelihatan sibuk memunguti bunga papaya untuk lauk makan siang mereka. Melihat suaminya datang dengan mengusung senyum yang lebar di wajahnya , Ernipun menjadi penasaran. Bahkan kini diapun tidak percaya dengan kabar gembira yang disampaikan Sunardi. Hingga kelihatan wajah Sunardi yang bersungut sungut untuk meyakinkan istrinya. Erniyati kini hanya mampu duduk di serambi rumah mereka yang berlantai semen. Dia mendenguskan nafas panjang, tanda bahagia dan bersyukur telah mendapat pertolongan dari Yang Kuasa.
 “Pak, aku tadi mendengarkan laporan BMG di tv, mulai minggu minggu  ini kita memasuki musim hujan. Kita sebaiknya bersiap menanam padi. Biarlah biaya sekolah anak anak diambilkan dari uang prestasi mereka. Hasil panen padi biarlah untuk biaya Tono ke perguruan tinggi”
Sunardi hanya menganggukan kepala. Kini beranda rumah mereka menjadi saksi bahwa kehidupan milik petani kecilpun akan banyak berarti bila mereka memang merasa hidup, apapun keadaannya. Hanya Tuhan Yang Kuasa saja yang tahu kehidupan semua makhluknya di muka bumi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar