Sabtu, 08 Desember 2012

Rindu yang Membara

Sudah satu hari penuh belum ada sesuap nasipun yang mengisi perut nenek itu. Hanya nafas yang keluar masuk rongga dadanya, yang dia miliki. Selembar hidupnya kuat digayuti kegetiran yang seakan tidak mau meninggalkanya barang sedikitpun. Dinding kardus biliknya yang pengap hingga larut malam ini semakin menyudutkanya, dengan melewatkan angin malam yang menggigit tulang-tulangnya, dari celah sambungan sambngan kardus. Akhirnya sebuah selendang yang rapuh dia raih untuk membalut tubuhnya yang renta itu. Sementara suara deru mobil di atap rumah kardusnya terus menderu, membuat tambah sulitnya dia ynng renta itu untuk tidur di bilik kolong jembatan.

Suara batuk batuk kecil suaminya yang juga telah renta, tiada henti memenuhi rumah kardus itu. Namun terus saja asap mengepul dari tembakau yang terbakar  keluar dari mulutnya. Begitu asiknya lelaki tua itu berulang menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, bahkan kini da tidak segan lagi menghembuskan asap rokoknya beberapa kali tiap dia selesai menghisap rokok lintinganya.  Seakan dari butir asap  dan teer yang keluar dari bibir yang menghitam itu,  sebuah gambaran ia dapatkan tentang Hartini putri satu satunya yang dia dambakan bisa berkumpul dengan dia dan istrinya yang telah renta. Demi sebuah pertemuan ini,  dia rela meninggalkan kampung halamanya, sawah ladang dan rumah setengah tembok untuk berkeliling dari rumah kardus satu ke rumah kardus lainnya di  Jakarta.

Kadang sorot matanya dia tumpahkan dalam dalam ke perlahan arus Sungai Ciliwung yang keruh dan busuk.”Pantas saja air sungai ini busuk dan kelam, karena air sungai ini adalah tumpahan segala kekotoran dari orang orang yang  sebagian diantaranya busuk dan kelam”, gumam dalam hatinya mulai bangkit menembus asap rokok yang tajam.

***

“Di mana Hartini berada, ya bu?” Sartidjo yang belum bisa terlelap tidur, kembali mengetuk hasrat yang jauh terpatri di lubuk hatinya, sementara beberapa puluh puntung lintingan rokoknya telah tersebar di depanya. Istrinyapun yang mendengar keluh suaminya itu menggeliatkan tubuhnya dan segera duduk disamping suaminya, membiarkan tubuhnya tersapu angin malam.

“Aneh, pak !, tidak ada satupun manusia kota ini yang membantu kita. Huuuh, ingin rasanya aku pulang ke kampung, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku bisa bertemu dengan Hartini, apakah dia sudah punya suami ?, apakah dia sudah punya anak ?. Kalau aku sudah punya cucu, aku ingin sekali menggedongnya, ah kalau Hartini mau, akan aku ajak pulang dan aku gendong cucuku, aku akan bawa dia jalan jalan keliling kampung. Tapi, di mana alamat anak kita, Pak ?”. Pertanyaan yang sama dengan suaminya, kini diulanginya lagi.

“Aku sudah cape, bu !”

“Cape!!, lantas kapan aku akan ketemu Hartini ?” istrinya menjawab dengan ketus.

“Suatu saat dia kan pulang, bu. Kita tidak perlu menderita seperti ini “

“Sabar, sudah berapa tahun kita menunggu di kampung ?, sudah berapa banyak saudara kita yang kerja di Jakarta mencari Hartini, tapi semua tidak bisa menemukan Hartini”.

“Lakon hidup apa ya bu ?, kita harus menjalani kehidupan seperti ini?”. Istrinya hanya diam membisu. Sementara deru mobil di atas mereka belum juga reda, meski hari sudah hampir pagi. Saat esok nanti mereka  harus meninggalkan rumah kardus itu dan berpindah ke tempat lain, entah kemana dan di tempat mana mereka harus tinggal. Sementara untuk mengisi perut mereka sepanjang perjalanan mencari putri tunggalnya, mereka terpaksa harus mengemis. Itupun bila mereka bisa mendapatkan manusia Jakarta yang masih memiliki rasa iba dengan memberi mereka beberapa uang receh.

***

 Pasutri renta itu segera berlalu begitu saja dari rumah kardus yang didiami hanya beberapa hari. Beberapa potong pakaian mereka yang kumal hanya dibungkus kantong plastik yang tidak seberapa beratnya dan kini bergayut di pundak Sartidjo. Nampak sorot mata yang tegar dan kokoh terpancar dari sepasang manusia yang selama hidupnya hanya didera penderitaan hidup.

 Meski sudah sering mereka menjumpai benturan hidup, namun mereka tidak kuasa menahan gejolak rindu dengan putri tunggalnya yang sudah sepuluh tahun meninggalkan mereka tanpa sebuah kabarpun, hanya beberapa surat yang pernah mereka dapatkan darinya pada tahun tahun pertama Hartini meninggalkan kampung halamanya, yang mengabarkan bahwa Hartini kini tinggal  di Jakarta, bekerja sebagai buruh konveksi milik perorangan. Saat itu Hartini sempat meninggalkan alamat kepada  mereka berdua.

Genap sudah sepuluh tahun Hartini meninggalkan mereka berdua. Namun setelah beberapa hari mereka menjelajah Jakarta mencari alamat Hartini, mereka hanya mendapat jawaban dari beberapa tetangga Hartini, bahwa mereka  sama sekali tidak mengenal nama Hartini. Mereka berduapun terasa seperti tersambar petir di siang hari bolong dan saat itupun memutuskan untuk kembali ke kampung mereka di Semarang, meski uang saku mereka telah menipis. Namun bagi Mutmainah keadaan seperti itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menunda pertemuan dengan putri tunggalnya, hanya dengan bermodal sebuah foto dan beberapa surat Hartini, yang ditulis  beberapa tahun silam.

Akhirnya merekapun harus tinggal berpindah pindah di  rumah kardus, sambil menjelajah tiap sudut Kota Jakarta seperti hari ini. Di tengah gerimis pagi merekapun menyusuri jalan jalan Jakarta, yang agak lengang karena saat itu adalah Hari Minggu.

Mereka kini beristirahat di troktoar yang basah, sambil mengunyah sarapan pagi nasi kucing yang didapat dari pemberian cuma cuma pedagang nasi. Tingkah laku mereka ternyata berhasil menarik beberapa pasang mata ibu ibu yang sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Sorot mata mata kakek  dan nenek menyimpan seribu pertanyaan kala beberapa ibu ibu muda dan cantik yang menjinjing bawaan dalam plastik kresek  mendekati mereka dengan wajah yang ramah dan bersahabat.

“Bapak ibu !, kami membawakan makanan untuk kalian berdua, silakan bu !“

“Oh terimakasih..terimakasih, oh maaf nak, ini kampung mana ?” tanya Mutmainah kepada salah satu ibu yang cukup dekat.

“Ini Duren Tiga, bu. Ibu mau kemana ?” jawab salah satu ibu yang tampak paling tua usianya di banding tiga ibu lainnya yang bersamanya menyambangi sepasang pengemis tua itu.

“Aku tidak kemana mana, nak !.”

“Lho, ibu tersesat ?

“Tidak nak, aku mencari anaku. Ini fotonya !”

“Anak ibu cantik, lho. Terus di mana alamatnya ?“ tanya ibu lainnya.

“Tidak tahu, nak !”

“Aduuh, ibu gimana !. Jakarta luas lho, bu !. Gimana ibu mencarinya ?”

“Kami berdua tidak tahu nak. Kami sudah tiga bulan di Jakarta mencari Hartini. Kami terpaksa tinggal di rumah kardus atau tidur di mesjid dan terminal, kami keluar masuk kampung  kampung untuk mencari anak saya dan terpaksa kami berdua di Jakarta mengemis” sahut Sartidjo kepada kerumunan ibu ibu yang merapatinya.

Ibu ibu yang mendengar penuturan Sartidjo saling melempar pandang, barangkali saja dalam hati mereka semua timbul perasaan kagum, iba sekaligus penasaran. Padahal pertemuan antara anak dan ortu adalah hal yang biasa bagi ibu ibu yang memusari sepasang pengemis renta itu. Mereka mampu memandang wajah sang anak mereka, hampir tiap detik sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu,  mereka ibu ibu muda itu tidak pernah mengalami gejolak rindu yang membakar seluruh peredaran darahnya.

Tetapi bagi pasutri renta yang ada di tengah kerumunan mereka, sebuah rindu ternyata adalah sesuatu yang berharga, melebihi segalanya. Mereka rela meninggalkan sawah ladang, rumah dan harta mereka lainnya demi sebuah pertemuan dengan putri tunggalnya, meski harus dengan petualangan dari rumah kardus satu dengan lainnya, meski hanya tidur di troktoar dan kadang beberapa hari tak sesuap naspuni masuk ke perut mereka, tanpa mengenal masuk angin atau penyakit dalam yang biasa mendera pasutri renta lainnya. Betapa kokohnya hidup dan tekad mereka.

Maka ibu ibu dari berbagai kalangan profesi yang mendengar penuturan kata demi kata sang kakek nenek menjadi  diam,  terpaku dan  membisu menyaksikan sebuah episode hidup yang getir. Hanya beberapa saja dari ibu ibu tersebut, yang memiliki gagasan untuk mengulurkan tangan untuk menemukan buah hati sepasang kakek nenek itu.

“Bapak dan ibu, sementara masuk dulu ke kantor kami, ya!. Kita ingin menolong bapak ibu dan kita perlu bicara lebih dalam lagi dan leluasa, mari ikut kami, bapak !“

“Ibu ini siapa ?” tanya Kartidjo.

“Kami Ibu Ibu PKK desa ini. Kebetulan kami sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Kebetulan sekali pak, bu !, kami juga sedang memprogramkan peduli sosial. Itulah kantor kami di sebrang jalan, mari pak ikut kami”

Sepasang kakek nenek itu hanya mampu menganggukan kepala. Seduah desir harapan mulai timbul dalam sanubari ke dua manusia itu. Harapan untuk bisa bertemu dengan anaknya, harapan untuk tidak menghuni rumah kardus lagi dan bagi sang nenek, sebuah harapan untuk menimang cucunya di sepanjang jalan kampungna ***