Kadarwasih berkali kali mengusap tas hitamnya yang
ditebari debu-debu yang hinggap di kulit hitam tasnya, hingga kelihatan kumal. Lantaran debu debu itu masih
saja terus beterbangan terbawa angin
kemarau yang ditiupkan dari Gunung Slamet, setelah debu debu nakal itu
menjelajahi hutan hutan pinus yang mulai tandus. Apalagi di tengah hari, saat
matahari benar benar lurus di atas kepala, debu itu semakin liar menempel apa
saja sesukanya. Seteguk air teh dingin yang terakhir kini membasahi
tenggorokanya. Nafas kelelahan kembali
terdengar dari bibir guru sekolah dasar yang terpencil itu. Setelah sehari di
bawah udara yang gerah, dia masih setia menyelipkan setetes pengabdian kepada
bangsa ini, dengan membimbing anak anak didiknya yang berkubang dengan
kesusahan hidup di dusun Sirampok, Kabupaten Brebes.
Kadang dia merenung, meski dia masih di meja kerjanya
yang sudah mulai kusam warnanya, mungkinkah dia harus kembali ke Semarang yang
segalanya lebih menjanjikan ketimbang hanya terselip di tengah pohon pinus dan
masyarakat desa yang hanya memiliki selembar hidup, tanpa guratan warna warni
eksotisnya hidup. Ataukah memang mereka tidak butuh itu semua.
Siang itu memang udara begitu panasnya, Kadarwasih
menjadi bertambah heran. Mengapa di kaki Gunung Slamet yang dulunya sejuk kini
mulai terasa gerah sejak beberapa tahun belakangan ini. Ataukah karena manusia
sudah tidak mampu menjadi sahabat setia dengan bumi, yang justru telah menjadi
rumah kehidupanya sendiri. Dalam hatinya sering dia berbisik, mengapa tidak
mulai sekarang anak anaknya diperkenalkan dengan ras cinta pada lingkunganya,
kepedulian terhadap sesama, penuh tanggung
jawab dan disiplin.
Ruang guru kini makin bertambah lengang, setelah semua
anak anaknya pulang ke rumah masing masing. Hanya tiupan angin kemarau yang
meriuhkan daun daun pinus. Yang serempak mendendangkan kidung alam tanpa nada
dan birama. Kadarwasih tambah bertambah sepi hatinya. Lambat laun bayang
bapak, ibu serta saudara saudaranya
mulai menguat di hatinya, kini bagaikan gemerincing logam yang saling beradu
terdengar dekat dengan telinganya. Tawa canda mereka kala pagi hari sebelum
berangkat ke sekolah masing masing dan malam hari sebelum semua beranjak ke
peraduan.
Kadarwasih dengan sayap sayapnya kini terbang
melintasi jarak dan waktu, yang larut dalam dunia lamunan. Hingga sebuah usapan
tangan halus terasa menyentuh pundaknya. Dia segera melipat sayap sayapnya dan
kembali ke ruang guru yang bertambah berdebu.
“Memang Sirampok dusun yang sepi, ya Bu ?”
“Oh Bu Endang, saya tidak tahu kedatangan ibu, tahu
tahu sudah di depan saya”
“Ya, karena Bu Darsih sedang asik melamun, apa kangen
dengan yang di Semarang to Bu ?”
“Ah, sekarang sudah tidak rindu lagi, Bu. Tapi maklum
saja ya Bu !, saya di sini baru bertugas belum genap satu tahun. Kadang jading
seperti tadi,kenangan hidup di tengah saudara saudara saya dan lebih lebih sama
mama sering datang. Tapi nanti juga akan hilang, Bu ?”
“Itulah tantangan seorang pendidik yang bertumpu pada
perasaan moral, demi anak anak kita yang sudah tidak punya masa depan lagi.
Kita rela bertugas di daerah terpencil jauh dari keluarga. Ini sudah rame dusun
Sirampok dibanding saat pertama saya datang di sini, tahun 1974 silam. Saat itu
belum ada penerangan listrik, jalanya
masih tanah dan masih banyak anak anak yang tidak mau sekolah”.
“Gimana perasaan Bu Endang saat itu ?’
“Wah seperti Bu Darsih saat ini, aku meninggalkan
Klaten dengan tetesan air mata kesedihan. Apalagi saat iru aku baru saja lulus
SPG dan langsung ditempatkan di daerah terpencil seperti ini. Bayngkan saja Bu,
usia saya saat itu baru 17 tahun, masih berat meninggalkan emak dan bapak di
desa. Tapi itulah pendidik !”
“Apa Bu Endang pernah
mengajukan pindah ke Klaten ?”
“Awal awalnya memang sering, tapi setelah aku berumah
tangga. Semua niat untuk kembali ke Klaten menjadi hilang. Menjadi manusia yang
hidup bersama dengan keluarga yang saling mencintai adalah kebagian yang kita
dambakan semua, apalagi bagi pendidik seperti kita yang bertugas mencerdaskan
masyarakat. Sungguh suatu makna hidup yang berati “
Kadarwasih hanya diam sejenak, anganya berusaha
menelanjangi hatinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti Bu Endang kepala
sekolahnya, yang begitu mampu memaknai hidup sebagai pendidik di daerah terpencil.
Ingin rasanya dia membunuh rasa sepi dan berkonsentrasi pada tugas memberi
pembelajaran
Namun wajah Hardiman teman sekolah di SMP dulu masih
saja terus menempel di benang otaknya. Tautan hati yang berjalan lebih dari 4
tahun serasa begiitu kuat bersimpul di hatinya. Hardiman kini memilih menjadi
seorang pengusaha di Kota Jakarta, yang menurut surat terakhir yang dia terima
Hardiman telah sukses dan mengajaknya ke Jakarta untuk bersama mengarungi
bahtera kehidupan, ketimbang jadi guru SD di daerah terpencil. Kakalutan kina
menghinggapi selembar hatinya, dalam keadaan terjepit seperti itu dia harus
memilih jawaban ya apa tidak. Namun ini adalah realita, realita dimana dia
harus menjadi pendidik yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sebuah realita
yang dia rencanakan sejak lulus SMP untuk menjadi seorang pendidik.
“Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di
hatiku, Bu ?” sela Kadarwasih memecah keheningan.
“Tentunya masalah pribadi kan Bu ?, kalau masalah
dinas sepenuhnya aku
bantu”
“Betul Bu, tapi meski ini masalah pribadi, Bu Endang
tidak merasa terganggukan kalau aku mau curhat ?”
“Oh sama sekali tidak Bu Darsih ?”
Matahari hampir berada tepat di atas atap sekolah,
angin gunung dan debu yang bersuka ria selalu bercanda berkejaran dengan angin
yang cukup cepat langkahnya. Mereka tidak pernah memerdulikan apa yang didera
oleh manusia, termasuk pada guru yang masih gadis dan berperawakan tinggi
semampai serta berwajah ayu, yang kini sedang didera kebimbangan hati.
“Yang paling berat bagi saya adalah menentukan
pilihan, saya harus ke Jakarta menyusul seseorang yang saya cintai ataukah saya
tetap di sini. Inilah yang selama ini membuat saya bimbang, Bu ?”. Terdengar
dengusan nafas panjang dari Bu Endang kepala sekolah yang beberapa tahun lagi
akan pensiun.
“Maafkan aku ya Bu, bila ini masalah privasinya ibu,
Tapi aku juga pernah mengalami hal semacam itu. Tapi waktu itu saya memilh dua
duanya. Saat kami masih pengantin baru,
kegiatan kami hanya hilir mudik Sirampog dan Klaten. Saya sarankan Bu Darsih
memilih kedua jalan”
“Memang suatu pilihan yang berat bgi aku, sebenarnya
sering aku meminta Hardiman seperti itu Bu, tapi karena ambisinya yang besar
untuk sukses di Jakarta dia tidak mau mengalah. Dia memaksaku untuk ke Jakarta
dan saya belum memberi jawaban”
‘Huuh..kalau gitu bisa repot, Bu !”
“Betul, Bu. Dia orangnya sangat teguh pada pendirianya
dan memiliki hati yang keras, selama ini saya hanya mengalah dan mengalah.”
“Betul Bu, jangan membuat keputusan yang gegabah. Tapi
pada saatnya nanti Bu Darsih harus mampu membuat putusan yang berani. Saya
hanya menyarankan bahwa kebahagian itu bukan datang dari seseorang, tapi dari
Tuhan”
Baru kali ini Bu Endang menyaksikan senyuman bu guru
yang cantik di depanya, sejak dari pagi tadi. Bu Endangpun membalas senyuman
itu dengan perasaan hati yang tersentuh, meski dia yakin Kadarwasih adalah
figure prbadi yang tangguh, terbukti dia selama ini bersedia bertugas di daerah
terpencil. Bu Endang masih saja menyodorkan senyuman simpatik meski dia bergegas
untuk segera pulang, karena hari sudah cukup siang.
***
Hujan sekali sekali sudah mul;ai turun membasahi
lereng Gunung Slamet. Daun daun pinus dan semak kini mulai dibasahi air hujan.
Beberapa diantaranya yang dahulu mengering kini mulai bersemi lagi, Jalan jalan
desa yang kini beraspal sudah tak berdebu lagi. Beberapa petani mulai
membersihkan ladangnya dari semak semak untuk bertanam padi.
Memang sudah seharusnya Kadarwasih yang
mendambakan hidup berprofesi sebagai
pendidik, apalagi berstatus PNS, perlahan lahan mampu mengarungi segala apa
yang dia harus geluti. Mulai dari alam lingkungan tempat dia mengajar, anank
anak peserta didik yang tiap hari dibimbingnya, masyarakat sekitarnya dan
terlebih-lebih terhadap rekan yang sebenarnya. Hingga akhirnya bayangan Hardiman, dan bukan itu
saja bayangan untuk tinggal di Jakarta telah perlahan lahan telah sirna,
Tidak terasa kemudian musimpun telah berganti, silih
berganti berkejaran dengan pergantian siang dan malam. Sebagaimana yang sering
dialami Kadarwasih dalam menapaki lamunanya antara menitipkan hidupnya di
pangkuan Hardiman di Jakarta atau menggapai masa depan di kaki Gungnug Slamet. Hingga
akhirnya Kadarwasih bertambah dewasa dan berbesar hati,
untuk menghadapi segala resiko hidup sebagai seorang pendidik. Bukankah semua
teman sekantornya, berasal dari kota kota di Jawa Tengah yang jauh dari tempat
mengajarnya kini.
Mengapa dia harus cengeng, mengapa kadang kata hati
lebih menuntutya untuk bersifat rapuh. Namun Kadarwasih adalah seorang manusia
apalagi wanita yang belum banyak makan garam. Perasaan bimbang dan bersedih
kembali memenuhi ruang batinya, saat dia menerima surat bersampul putih dengan
tulisan nama dan alamat dari coretan tangan Hardiman yang terkesan ditulis
dengan perasaan kecewa. Secara perlahan dia buka sampiul tersebuit, seketika
nyanyian kutilang, jalak, kenari dan alunan suara alam berenti sejenak,
sementara riuh daun paku yang bergesek di terpa angina menjadi diam sesaat
pula.
Dari kedua mata yang
bening itu, mulailah menitik air mata kesedihan dan kedua tanganya menjadi
tergetar setelah membaca isi surat itu.
“Aku tidak menghendaki ini terjadi pada diri kita,
namun apa artinya sebuah kasih sayang tanpa adanya kehadiranmu di sisiku. Aku
mencoba menggapai kehidupan yang sarat dengan tantangan di kota yang buas ini
demi kita. Namun tiadapun kamu bergeming barang sesaat untuk memenuhi
permintaanku demi masa depan kita.
Sehingga inilah yang terpaksa aku lakukan agar kita
mampu membenahi masa depan kita sendiri
sendiri, tanpa adanya kehadiran kita berdua dalam satu pelaminan. Selamat
Berbahagia”
Berkali kali tulisan dari Hardiman ini dia baca,
hingga yakin betul apa yang seharusnya dia sikapi, sebuah perpisahan harus dia
alami dengan perasaan yang terguncang Jauh dari lubuk hatinya yag paling dalam,
timbul sesuatu yang mampu menepiskan kegontaian hatinya itu, yaitu nasehat Bu
Endang yang mengatakan bahwa kebahagian bukan dari manusia datangnya, tapi dari
yang Maha Kuasa. Kata kata itu kini menjadi seteguk air dingin yang mampu membasahi
jiwanya yang sedang meradangkan bara asmara.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar