Rabu, 21 November 2012

D e b u



Jalan peninggalan Gubernur Jenderal  Herman Willem  Daendels yang melintang di pantai Utara Pulau Jawa dipenuhi debu debu liar dan tak berdaya. Jalan yang peeuh dengan kanvas lukisan sejarah dari jaman ke jaman itu ikut diam membisu meski sinar matahari  siang itu menerkamnya   tanpa ampun. Sama seperti beberapa puluh tahun silam ketika Anjing NICA  menggerus jalan itu untuk terus melaju, menghentakan roda roda besi untuk menghancurkan rumah rumah  beratap rumbai ilalang milik inlander inlander bermata cekung, bertubuh kurus kering dan bersorot mata menantang. Apalagi kedatangan gemuruh roda besi dan pesawat tempur cocor merah justru terjadi setelah Soekarno Hatta meneriakan sebuah kemerdekaan anak bangsa yang hidup dengan separo nafas.

Jalan yang terlihat coklat kehitaman itu terus saja menampakan raut wajahnya yang kelam, meski anjing NICA telah menyelinap menembus Samudra Hindia untuk pulang ke negeri Bunga Tulip itu. Jalan yang melintang di setiap kota di pantai utara itu, sepertinya masih mengaduh kesakitan, entah karena tangan tangan kotor saudagar VOC atau karena gigi taring tajam anak negeri yang menghisap darah darah dari bilik jantung orang orang kecil di negeri ini.Atau karena jalan jalan itu sudah tidak mendengar lagi lolongan Water Mantel 12,7 atau senapan otomatis Thomson milik pejuang yang memberangus anjing penjajah, atau memberangus kebodohan serta dinginya sorot mata mata anak negeri terhadap kepincangan, ketidakpedulian, ketidakadilan dan tabiat kejahatan kerah putih.

Debu debu sepanjang Jalan Daendles di saat ini berceria, renyah tersenyum dan berterbangan ringan dan liar berhamburan dihempas angin kemarau, ditelikung panasnya sinar mentari, tapi tetap tunduk pada kodrat gravitasi yang mencengkeramnya. Meskipun roda roda garang dari beribu tronton, bis dan kendaraan berat lainnya menghempaskanya ke tiap arah. Sebagian lagi hinggap di celana dan baju waita wanita super elit yang hilir mudik menghamburkan uang di mall mall yang menjamur. Sehingga kulit mereka yang sawo matang terlihat bertambah kusam.

Berbeda dengan jaman Herman Willem  Daendels kala masih bercokol di negeri ini. Noni Noni Belanda dengan andong yang ditarik sepasang kuda hilir mudik untuk menghamburkan gulden di rumah rumah makan eksotis dan berarsitektur kincir angin sekedar mengenyangkan perut mereka dengan santapan Huzaren Sla,  Holland Kroket Bitter Ballen atau Stamppot Met Wosrt. Beberapa gelas Netherland Beverage telah mereka reguk dengan tangan tangan usil mereka mengibaskan kipas artistic berbalut kain sutera.Sama sekali mereka tidak memperdulikan perempuan inlander yang menawarkan panganan dari ketan, ubi, singkong rebus, getuk dan panganan inlander lainnya. Meski roda delman yang ditumpanginya telah melindas debu debu jalan milik kaum inlander yang tertunduk lesu, lunglai lengan lenganya dan kosong sorot matanya.
***
2
Tapi itulah jaman, haru biru, prahara yang dilahirkan selalu saja  menyudutkan debu  jalan  Daendels untuk menjadi saksi, entah debu yang merona merah darah lantaran percikan darah dari korban jaman yang saling diberingasi manusia manusia yang menuntut kebenaran, mengencangkan egonya serta mengalahkan lainnya. Termasuk juga tetesan darah pejuang yang tersungkur ditebas peluru anjing NICA. Mereka terus menerbangkan debu Perang Diponegoro, Perang Kemerdekaan I dan II. Bahkan beruang merah yang berniat mencengkeram lengan lengan rapuh dari anak bangsa yang baru saja bangun dari tidurnya setelah 350 tahun bermimpi, ikut pula memerahkan debu debu jaman di negeri tempat mandi bidadari.

Namun kawanan debu kini lebih merapatkan satu sama lain, bukan lantaran “global warming” atau “solar flare “ bahkan bukan pula karena “Supermoon”. Meski cuaca ekstrim telah menambah mereka untuk lebih ringan menempel ke setiap titik tujuan dan menyampaikan pengaduan tentang nasib mereka dan sebuah keluh kesah  tentang birama kehidupan ini. Kawanan debu menjadi bingung tujuh keliling, lantaran mereka terhempas oleh manusia manusia yang berkulit sama, yaitu sawo matang, berhidung pesek serta berbicara denga bahasa sama.

Debu debu jalan Daendels itu sempat memasang telinga mereka dan menyelipkan tubuhnya pada roda becak, kaca gerobag mi ayam, dan tempat terselip lainya untuk mengetahui teriakan nyaring manusia manusia yang terhipnotis untuk berseteru dengan  lainya yang  terus saja menghamburkan enerji dan amarah kepada kawanan manusia lain yang serupa dan diikrarkan menjadi musuh mereka. Musuh yang saling tidak mengetahui satu sama lainnya, mengapa mereka lupa akan makna persahabatan.

“Bakar rumah mereka, bakar apa saja milik mereka “ teriak salah satu manusia yang bermata garang, sambil mengepalkan tinjunya serta berdiri di posisi paling depan. Sementara manusia manusia lainya yang berdiri di belakangnya terus saja melempar apa yang dimiliki ke arah manusia manusia lainya yang bergerombol di sebrang jalan.

“Ayo maju terus..ayo sergap mereka dan usir mereka” sebuah teriakan lantang terdengar.

“Majulah kau manusia laknat, kami tidak takut !” jawab salah satu manusia lain di sebrang jalan, yang bersembunyi di balik barikade dari batang pohon Akasia yang dirobohkan, bangkai mobil yang terbakar. Sementara di atas barikade beterbangan bom molotov dari dua arah. Semua batu dari bebagai ukuran telah mereka usung untuk meliampiaskan kebencian dan kekecewaan pada manusia lainnya yang dianggap jahanam dan durjana, entah dari sisi yang mana, mereka sendiri tidak tahu. Hitam kelam warna
3
wajah mereka semua hampir sama dengan debu debu jalan  Daendels  yang tak pernah diam dan selalu larut dalam prahara yang ditebar manusia, dari jaman Majapahit hingga kini.

Debu debu jalan Daendels  serentak bersama melemparkan pandang ke arah  beberapa manusia yang berseragam sama, yaitu bekemeja coklat muda dan bercelana coklat tua dengan mengibarkan bendera putih, di belakang mereka berjalan perlahan mobil yang memuntahkan suara sirene memekakan telinga. Terdengar suara lantang dari megaphone yang dijinjing manusia yang berdiri di tengah.

“Hentikan, hentikan semuanya saudaraku “

Satu dua bom molotov berjatuhan tidak jauh dari kerumunan orang berbaju coklat itu.
Namun beberapa saat kemudian suasana mencekam menjadi meluruh.

“Kami minta saudara jangan menyerang kami, kami hanya mengajak saudara semua untuk berunding. Majulah ke depanku siapa yang menjadi pemimpin kalian”

Untuk beberapa saat hujan batu dan benda lainya berhenti, hanya teriakan dan pekikan memecah atmosfir siang hari itu. Debu debupun kini mengendap di sembarang tempat dengan tetap memasang telinga mereka. Debu debu jalanan  kini mulai berdiri tegak lantaran telah kembali lagi nyali mereka,  yang sekian lama terpagut prahara yang ditebar dua kelompok manusia.

“Lihat, peperangan ini telah selesai” pekik salah satu debu.

“Belum tentu, mereka tak segampang itu “ jawab debu lainnya.

“He,..darimana kamu tahu ?”

“Aku lihat wajah mereka masih merah merona”  jawab debu yang tadi.

“Ah, sudahlah apa arti debu seperki kita yang terhempas kesana kemari tak punya daya” tutur debu yang berada di tumpukan paling bawah.

Tak lama kemudian semua debu debu jalanan yang mengusung seribu kebimbangan itu menjadi terbungkam seribu kata, tatkala sekelompok manusia dari arah sebelah kiri jalan  mendatangi manusia manusia berseragam coklat, seraya mengibaskan bendera putih. Namun debu debu itupun menjadi tercengang  tatkala pula menyaksikan sekumpulan kepala manusia muncul dari balik barikade yang digelar di sebelah kanan jalan. Mereka kini malah berdiri dengan sorot mata yang masih memendam rasa amarah dan curiga kepada manusia manusia yang muncul dari sebrang jalan mereka. Suasana kembali mencekam dan masih menghantui jalan kota yang meradang bara permusuhan,  terutama bagi  debu debu yang memusari jalan itu.

Detik dan detik terus berlari menembus atmosfer kota yang panas itu, sepanas dua kelompok manusia yang kini berhadapan untuk saling mengumpat, memaki atau bahkan saling menyalahkan tanpa adanya hasrat untuk bersama mencari titik temu, meski matahari telah mulai condong ke barat. Biru langit mulai sedikit gelap, lampu lampu kota telah mulai menyala di sepanjang jalan yang lengang bagai jalan kota mati. Namun kedua kelompok itu masih terus menggulirkan nafsu amarah, meski semua benda keras yang tergenggam di kedua tangan mereka telah mereka serahkan kepada sang juru damai antara mereka. Namun entahlah, hanya matahari fajar esok hari saja yang akan menjadi saksi esok pagi, apa mereka masih menyabung nyawa dengan saudaranya sendiri ataukah mereka akan memulai  kehidpan ini dengan damai, sedamai debu debu jalanan yang sudah tak bertenaga lagi, lunglai dan nestapa di sepanjang jalan mati itu***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar