Minggu, 25 November 2012

Terompet Tahun Baru

Awalnya hanya angin sepoi senja yang menyegarkan, meliuk dan menerpa jendela jendela rumah papan, yang seakan ingin berbagi ceria dengan angin senja itu untuk mengarungi alam. Namun hasrat itu diurungkan, lantaran angin senja tak lama kemudian menjinjing desiran udara yang bertambah ganas. Semua dedauan pohon dan perdu di halaman rumah kinipun terjaga dari tidur siangnya yang memagutkan panas. Daun daun yang mulai menghijau itu, kini meliuk bagaikan barongsay di perayaan imlek. Rumah papan itupun kini mulai bergetar, apalagi setelah desir angin mulai membawa butir butir hujan. Di sana sini mulai terlihat papan rumah yang basah diterpa butir air.
Beberapa berkas titik air hujan mulai usil menerobos sela sambungan papan yang mulai menganga di makan sang waktu.Mereka mulai membasahi bilik kumuh milik Senjoyo, yang sedang merajut angan di tengah  gerimis senja Bulan Desember tahun ini. Meski beberapa lampu kota disekelilingnya mulai menebar eksotis tahun baru, sekali sekali mulai terdengar terompet tahun baru yang dihembus anak anak yang tidak sabar menunggu datangnya malam tahun baru.
Namun bagi lelaki paro baya itu, eksotis tahun baru malah menyelipkan bagian hati yang teriris sembilu. Apalagi dinding biliknya yang sudah mulai lapuk terus saja mencibirkan dirinya.  Dahulu waktu Sabila istrinya belum ke Malaysia dua tahun lalu, papan papan biliknya selalu menghadiahi dirinya dengan senyuman mesra, semesra senyum Sabila yang membawanya dia mampu membumbung tinggi ke angkasa, untuk meraih       bulan di senja hari seperti ini. Terompet tahun barupun yang memekakan telinganya tanpa dia rasakan, bila  Messy  putri  bungsunya usil dengan terompetnya sepanjang hari. Sementara untuk putri sulungnya Sandi, dandanan yang gaul untuk menyambut tahun barupun telah berkali kali dia coba. Senjoyopun hanya bisa berdecak kagum dengan kecantikan putrinya yang mirip ibunya.
Senjoyopun lama menghitung hari, di tengah penantianya pada istrinya. Apalagi bila Messy berada di pangkuanya. Si kecil yang manis itu masih saja menanyakan mamanya, meski dia telah lupa dengan raut wajahnya, apalagi bila terdengar rentetan terompet tahun baru seperti senja ini, yang memecah armosfer di atas rumah papan itu. Messypun merengek minta agar papanya mengajak mamanya untuk memilihkan terompet kertas berwarna warni, lengkap dengan rumbai rumbainya. Meski di meja kayu berlapis kaca di ruang tamu, kini tergolek terompet kertas  leher angsa berwarna biru. Namun Messy tetap menepisnya, karena terompet itupun memberitahukan padanya bahwa terompet itu bukan pilihan mamanya.
“Tapi kemanakah kau, Sabila ?. Hanya secarik kertas , yang ditulis tergesa-tegesa oleh Sabila tergeletak di atas meja tamu dua tahun silam. Persis di tengah senja seperti sekarang.  Sabila hanya menuliskan beberapa kata pamitan tentang kepergianya ke Malaysia.  demi mengadu nasib, demi Messy dan Sandy, dan demi penghidupan yang lebih baik. Setelah Senjoyo sendiri yang menghancurkan bahtera yang rapuh, bahtera yang sebenarnya mampu menjadi kendaraannya untuk menjangkau pantai biru, beertaman kembang warna warni, dan sekarang dia harus menyaksikan dan merasakan sendiri sebuah  serpihan batera, kala menghantam karang yang kokoh di tengah ombak yang  ganas.
Sebuah sentuhan halus dari si kecil Messy, menyentaknya dan menenggelamkan lebih dalam pada rasa rindu pada istrinya, “ Pak, mana terompet yang dibelikan mama ?”.
Terompet tahun baru memang hanya terbuat dari kertas warna warni, namun terompet itu mampu menyodorkan masa masa bahagia kala Messy berumur delapan tahun, kala dia diajak mama dan papanya untuk melihat eksotis terompet tahun baru di penjaja terompet yang bertenda di pinggir jalan jalan kota menjelang tahun baru.  Terlihat kala itu Sabila dengan senyum lesung pipitnya, mampu mewarnai kertas terompet lebih dalam lagi. Sehingga warna terompet yang dijinjing Sabilapun, menjadi warna yang mampu menyelinapkan daya tarik bagi Messy.
Namun sekarang, terompet biru yang jaul lebih baik dan lebih menggelitik tak mampu lagi menghadirkan mamanya. Messypun bertambah kuat merangkul bapaknya, suatu isarat bahwa rasa rindu telah kuat untuk segera bertemu mamanya.
“Pak, apa benar mama nanti tahun baru pulang ?”
“Sabar, ya sayang, besok bapak akan mengirim surat mamamu untuk pulang dan membawakan oleh oleh terompet tahun baru”. Meski dengan sorot mata kosong, Senjoyo terpaksa menyuguhkan sepotong kalimat yang mampu menghentikan tangis menyayat  si kecil,
“Aku juga rindu dengan kak Sandy, pak !”
“Messy !, kak Sandy sebentar lagi juga pulang. Kemarin kan dia mengirim tas sekolah untukmu. Kamu senangkan ?”. Tenggorokan laki laki paro baya itu kini telah mengering, sorot matanya bertambah kosong, desah pilu berkali kali terdengar dari mulutnya. Mengapa dia harus terjepit di tengah rasa sepi yang menghantam semua sendi tulangnya. Belum lagi Senjoyo menerima kenyataan berlalunya Sabila, beberapa bulan kemudian Sandypun melakukan hal yang sama. Sandy menyimpan perasaan yang getir, marah dan dendam dengan dirinya, lantaran terlalu dalamnya dirinya jatuh ke lembah hitam, yang menimbulkan bara api pada dua wanita itu.
Kabar terakhir yang dia peroleh tentang Sandy didapatkan setahun yang lalu, kala sebuah bingkisan berisi tas sekolah untuk adik bungsunya Messy. Sandy kini telah menggayutkan cintanya dengan pria yang dia pastikan lebih baik dari dirinya, namun berkali kali dia membalas surat pada Sandy, selalu diterimanya pengembalian suratnya yang beralamat tidak jelas.
Kembali lagi suara terompet terdengar sayup sayup dari kejauhan, gerimis malam ini sudah mulai menyelip kembali ke mega mega hitam, namun sang rembulanpun masih kedinginan dan memilih untuk diam di angkasa berselimut awan hitam. Messypun mulai mencoba meniup terompet biru di depanya sebentar-sebentar. Satu satunya miliknya kini betul betul dia dekap, karena Messy adalah harapan terakhirnya, agar dirinya mampu mengenyam hidupnya dengan bumbu bumbu kasih saying, setelah sekian lama dia tepiskan bumbu itu, demi mengejar nafsu syahwat, ego dan kesenangan yang semu.
“Pak, aku tiup terompet ini, ya !. Biar mama mendengar dan mau pulang”
“Cobalah sayang !, tiuplah sesukamu!, mama pasti pulang! “
“Betul pak ?, Bapak janji ?”. Bola mata Messy menyapu seluruh tubuh bapaknya,  pertanda suatu harapan yang besar kini memenuhi hatinya yang tulus. Senjoyopun kini mendekap lebih erat si kecil mungil miliknya satu satunya, “Berdoalah Messy, agar mamamu pulang “
“Bapak !, mengapa mama pergi ?”
“Katanya kamu pengin beli sepeda ?, dan memperbaiki rumah ini. Mama tidak pergi sayang!, mama hanya kerja jauh, agar dapat uang banyak . berdoalah sayang, semoga mamamu pulang “
Seteguk embun pagi kini menyirami hati Messy, si kecil manja itupun kini asyik meniup terompet keras-keras. Senjoyopun hanya mampu memandang dengan sorot mata yang agak berseri. Kelucuan anak itu sementara mampu menepis bayang istrinya, yang tadinya hadir dengan taring dan kuku-kukunya yang tajam, yang siap membenah denyut jantungnya. Messypun kini telah kembali asyik bermain dengan terompet dan mencoba beberapa baju baru untuk tahun baru.
“Bapak ?”
“Ya, sayang ?”
“Nanti, malam tahun baru Bapak mau ke mana ?”
“Kan melihat pesta kembang api di alun alun, hayooo lupa, ya ?”
“Aku mulai pengin malam tahun baru segera tiba. Messy akan meniup terompet bapak sepuas puasnya “
“Ya, sayang. Makanya sekarang pergi bobo, ya !”.
Messy hanya mengalungkan ke dua tanganya ke leher bapaknya dengan manja untuk mendapatkan gendongan mesra bapaknya. Kini Messypun terlelap tidur di tengah dingin udara malam yang kembali dibasahi gerimis.
Sementara mereka berdua  merenda mimpi, sepasang kaki melangkah dengan perlahan menuju beranda rumah tua itu. Kedua mata wanita itu kini dibasahi air mata, terlihat jelas dari baju  dan pernik pernik yang menghiasi dandananya,  dia adalah wanita yang kaya. Namun dari guratan wajahnya yang ditutupi temaram lampu beranda, tampaklah bahwa wanita itu telah merindukan sesuatu. Namun beberapa lama kemudian, wanita itupun bergegas meninggalkan rumah tua milik Senjoyo menuju ke jalan raya dan terdengarlah deru mobil mewah yang bertambah jauh ***

Rabu, 21 November 2012

Debu Debu MERAPI



Bau asap belerang yang menusuk hidung menyebar tiap penjuru desa dan setiap jengkal ladang sayur di Desa Gedangan, Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan menyisakan kepiluan yang mendalam diantara semua yang berwajah tertunduk lesu. Namun langit biru masih patuh dan lembut menaungi kehidupan mereka yang kali ini harus berpisah dengan kampung halamanya.

Mereka yang meninggalkan rumah, ternak dan sawah ladang,  harus memburu waktu, agar lembut awan awan yang mampu menerkam mereka tidak membakar dada mereka yang telah sarat dengan kehidupan yang tidak ramah. Mereka harus sadar  bahwa mereka tidak lain hanyalah manusia yang hanya memiliki tulang dan daging, yang selalu menggapai cita dan harap di lereng Gunung Merapi yang sedang tak ramah. Mereka bahkan sudah tak mengenal Merapi lagi yang kali ini berdandan menakutkan. Padahal saban hari sebelumnya,  mereka telah terbiasa akrab dengan Merapi yang tersenyum malu, berdandan bedak pupur awan dan berkulum senyum menawan,

Namun kini mereka harus berlarian sepanjang jalan desa yang mulai tertutup debu debu liar yang dimuntahkan Merapi yang sedang dilanda kegalauan hati. Mereka segera menuju ke lokasi yang aman di daerah Boyolali, Magelang dan Jogjakarta. Teriakan nyaring terdengar di mana mana,  membahana ke setiap liuk jalan desa, lantaran kepiluan mereka mencari saudara saudara yang tidak berada di sekitar mereka. Entah hidup yang bagaimana lagi yang harus mereka lakukan ataukah salah dan dosa apa yang mereka miliki, sehingga harus meninggalkan sawah ladang yang selama ini membawa berkah bagi kehidupan mereka. Demikian rasa tidak percaya diri terus saja bergayut di hati mereka. Bayang bayang pilu kini kembali menghantui mereka kala 16 tahun lalu, mereka harus menyaksikan 40 saudara mereka warga Dusun  Turgo,  Purwobinangun,  Pakem telah kembali ke pangkuan Illahi, karena diterjang awan panas Merapi.

Jalan jalan desa yang sempit dan beralas debu debu putih yang liar berlarian di terjang kaki kaki yang melegam, kini terasa pengap dipenuhi dengus nafas dari manusia manusia yang panik, yang ingin segera meninggalkan kampung halaman yang meronakan bara. Sebagian dari mereka harus tertunduk tak berdaya kala awan panas itu mencekik leher dan membakar dadanya. Sedangkan sebagian lainnya harus terus mendayung waktu bergegas menuju barak pengungsian.

Wajah wajah menakutkan tak berbingkai senyum ramah, tidak seperti biasanya keramahan membahana di antara mereka kala bergelut dengan tanah ladang dan lenguh lenguh sapi piaraan, kini hadir di antara mereka.  Apalagi wajah Suto yang bergurat kepedihan, lantaran istri dan ketiga anaknya belum juga tampak disekitarnya. Padahal sebelumnya dia harus jatuh bangun memapah istrinya untuk berlarian sepanjang jalan desa dengan menggendong si kecil, berlarian menuju truk pengungsi yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya uang terpencil.

Diapun segera menggayutksn istri dan ketiga anaknya bergabung dengan  truk yang telah sarat dengan pengungsi lainnya. Hingga diapun harus mengalah menunggu kedatangan
2
truk lainnya. Suto hanya mampu berdoa, meminta kepada Sang Pencipta Gunung Merapi agar istri dan ketiga anaknya bisa kembali disampingnya dan dia diberi kekuatan hati agar mampu tabah dalam menghadapi kemarahan raksaksa biru yang kini menghanguskan semua yang dia milki.

Gemuruh letusan Raksaksa Biru Merapi mulai terdengar Suto dan pengungsi lainnya, rintik hujan kerikil dan pasir mulai berjatuhan di sekitar mereka. Suto berlarian kecil meninggalkan desa Gedangan bersama dengan beberapa pengungsi lainnya, yang datang terlambat. Jauh di belakang mereka awan panas mulai menngulung apa yang berada di depanya. Meski peluh bercampur debu membasahi semua tubuh Suto namun dia tetap menerjang debu debu yang menghalangi pandanganya.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, terlihatlah lampu lampu truk pengungsi dari relawan yang berani menantang maut untuk menyematkan sisa pengungsi yang tertinggal termasuk Suto dan teman temanya, sementara itu beberapa pengungsi yang semula berada di belakang Suto kini tidak tampak  lagi, lantaran diterjang dengus nafas Merapi yang kelewat marah. Meski Suto berhasil menyelamatkan diri dalam bencana itu, namun bilah hatinya masih melekat kuat kepada istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Rasa tidak percaya kembali menggeluti hatinya, betapa sebuah kehidupan yang diusungnya harus disertai dengan perjuangan yang berat demi sebuah kedamaian bersama keluarganya. Namun kembali lagi diapun harus berpasrah kepada Sang Pencipta yang memberikanya hidup dan kebahagiaan bersama istri dan ketiga anaknya.

***
Telah tiga harinya lamanya Suto hilir mudik ke tiap barak pengungsian guna mencari sisa terakhir yang dia miliki, yaitu istri dan ketiga anaknya. Dari barak ke barak , Polres Boyolali, instansi pemerintah Kabupaten Boyolali,  RSU Boyolali,  RSIA Umi Barokah,
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.

“Sudahlah Pak Suto, semua pengungsi disinipun mengalami kehilangan, bukan hanya bapak. Lebih baik bapak makan roti ini, sekedar menambah kekuatan tubuh bapak” . Seorang relawan yang bernama Hendrawan telah terketuk hatinya menyaksikan perjuangan Suto dan keluarganya untuk menggapai kehidupan ini.

“Terimakasih, Mas !, aku tidak akan pernah berhenti sebelum bertemu mereka. Kalau toh mereka menjadi korban aku harus melihat mayat mereka”

“Pak Suto, tenangkan dulu hati bapak. Akan aku antar mencari mereka sampai mereka ketemu. Kebetulan aku banyak kenal teman teman dari media yang juga menjadi relawan. Makanlah dulu pak !”

3
“Ini semua salahku, seharusnya aku langsung mengungsi waktu Pak RT menyuruhku segera mengungsi. Tapi waktu itu aku tidak percaya begitu saja kalau Merapi bakalan meletus separah ini !”

“Kalau toh Pak Suto waktu itu tahu bakalan seperti ini tentu jauh jauh hari sudah mengungsi. Tapi siapa yang tahu kalau bakalan begini. Ini semata mata hanya Kehendak Tuhan Yang Maha Tahu. Baiklah Pak Suto, kita lanjutkan lagi pencarian ini. Sekarang kita coba menyisir pos pos relawan yang ada di Magelang, kita coba kontak dengan teman temanku”

Hujan debu kini mulai menyerang daerah Boyolali dan Magelang, jalan jalan raya dan atap rumah serta dedaunan hijau kini berwarna putih. Mereka berdua dengan sepeda motor hampir selesai menyisir pos pos relawan untuk korban bencana alam Merapi yang tersebar di Magelang, guna meminta informasi termasuk dokter dokter relawan yang bertugas di RSU Tidar RSU, RS Dr Soedjono, RSU Lestari Raharja dan RS Harapan Magelang. Kembali Suto mendapatkan hasil pencarian yang menambah pilu hatinya.

Hingga akhirnya mereka kini hanya bersandar di ruang tunggu RS Tidar melepas lelah ditengah hiruk pikuk upaya pertolongan relawan pada korban bencana alam yang menyayat hati itu. Pandangan mata Suto tercampak pada daftar korban yang meninggal ataupun luka yang ada di papan informasi RS Tidar. Hatinya menguat kembali kini, setelah dia menemukan informasi bahwa terdapat beberapa korban yang dilarikan ke RS Sardjito Jogja lantaran daya tampung rumah sakit di Boyolali   terbatas.

“Mas, kembali aku minta tolong. Antarkan aku ke RS Sardjito, barangkali istri dan anaku di sana !”

“Baik Pak Suto, sekarang juga kita berangkat. Mumpung hujan debu masih tipis”

“Aku harus berkata apa lagi, Mas ?. Sungguh kamu manusia yang mulia, Mas Hendrawan”

“Ah..Pak Suto !. Namanya saja relawan, ya tugasnya harus rela menolong warga yang tertimpa musibah”

“Sungguh, aku bersyukur kepada Tuhan Yang Kuasa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Mas Hendrawan”

“Sama juga aku, Pak Suto. Ternyata masih ada manusia yag berhati tabah seperti Pak Suto yang diterpa bencana seperti ini”

“Habis mau gimana lagi ?”

Hendrawan langsung minta informasi kepada humas posko bantuan bencana alam yang ada di RS Dr Sardjito Jogja dan mereka memang menerima pasien dari Turgo, seorang ibu dan ketiga anaknya yang mengalami pinsan saat evakuasi, lantaran beberapa lama tak sadarkan diri maka dari Boyolali pasien itu dibawa ke Jogja. Namun mereka belum mengetahui siapa nama ibu yang pinsan tersebut. Suto dan Hendrawan bergegas menuju bangsal ekonomi tempat ibu dan ketiga anaknya dirawat.

Kebahagian Suto kembali menyelinap dalam lubuk hatinya melihat istrinya sudah berangsur pulih, meski tubuhnya masih lemas. Sunarti istrinya yang kini terbaring lunglai dihadapanya menjelaskan bahwa dia kala itu tidak tahan menghirup gas belerang yang sangat kuat hingga dia dan Nova putri bungsunya menjadi tak sadarkan diri. Sedangkan kedua kakaknya telah dititipkan pada Pak Sartono tetangganya yang kini masih berada di barak Boyolali dalam keadaan sehat.

Diciumnya pipi istrinya dan si bungsu dengan penuh haru, Sutopun kini hanya mampu memeluk Hendrawan sebagai ungkapan terimakasih yang tak terhingga.

Bayang Wedus Gembel MERAPI



Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.

Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.

Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya, hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.

Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya. Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul yang digenggam   sejak pagi melintang di tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur nafasnya.

Apakah cincin penaut dua hati yang sedang membarakan gairah asmara mampu benar benar melingkar di jari Maya.  Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan gemerlap lampu warna warni.  Hananto merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.

Pagi merangkak dengan malas, sementara siang baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.

Batuk batuk dari puncak Merapi mulai terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi,  mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang ditemuinya.

Hananto dan seluruh keluarganya kini bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat. Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.

“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi tadi Maya   menghilang  entah kemana “

“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”

“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana, tapi tetap saja Maya menghilang “

“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”

“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan desa ini dan mengungsi bersama kita”

“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten Magelang “

“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “

“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus, doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan. Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan hatinya itu.

Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto, sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi. Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.

“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga yang digunakan pemuda desa itu untuk  berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara gunung.  Sepintas dia melihat tempat Maya menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa berkali kali.

“Maya kau di mana ?”

“Anto, aku dalam lubang ini ?’

“Maya!, kau tidak apa-apa ?”

“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidak bisa naik ke  atas “ Wajah Maya sudah pucat pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.

“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu, dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan menarikmu “

“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.

Kini tubuh yang langsing dan semampai itu berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.
***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.

Sititik harapan kini mulai bersemayam di hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya. Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi. Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini.  “Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis bahagia.

Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.  “Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan menepiskan segala macam dendam.