Jumat, 02 November 2012

DI Antara Seribu Kunang

Hujan turun dari pagi. Membasahi udara malam yang terus saja menyisakan kedinginan. Laki – laki separo baya itu lantas menepis kedinginan dengan menggapai baju hangat yang lusuh, dan terlihat di berapa bagianya sudah terkoyak,. Deru mobil di jalan depan warungnya sudah mulai berkurang jauh, warung kopinyapun tidak seperti biasanya menjadi lengang. Rasa kantuk sebenarnya sudah dia rasakan sedari sore, tetapi nasi dan lauk serta makanan rebus dan goranganya masih banyak yang belum terjual. Padahal secercah penghidupan yang dia geluti, adalah menggantungkan dari ini semua.
Namun hujan tiada mau reda, meskipun sudah saatnya musim hujan berganti dengan musim kemarau. Dengan muka bersungut-sungut laki-laki itu menggeliat kesana-kemari merasakan penat seluruh tubuhnya. Istrinyapun sudah tertidur semenjak sore tadi, lantaran sedari pagi sibuk memasak segala masakan untuk warungnya. Istrinyapun segera merangkai mimpi, berisi sketsa yang terkanvas dalam hidup yang dicitakan suami dan anak-anaknya.
Sekali lelaki itu terbang dengan anganya, andaikata anak-anaknya mau menggantikan dia semalaman di warung kopinya, tentu dia akan tidur menyusul istrinya yang mendengkur di belakang warungnya. Namun mereka harus menyelesaikan sekolahnya hingga selesai, agar nasibnya tidak seperi dia. Namun dibalik itu semua acapkali diapun tidak percaya dengan dirinya sendiri, hanya dengan mengais nafkah dari sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, tapi dia sanggup menyekolahkan Wanto hingga sampai perguruan tinggi. Sementara Sofyan anak keduanya,  kini telah lulus dari SMK dan yang terakhir Wati masih duduk di kelas satu SMA.  Lamunan terus menggayuti anganya, hingga sebuah sapaan telah membangunkannya.
“Nglamun Bang!”, suara itu tak asing bagi Norman. Sebuah suara yang selalu mampir di warungnya tiap malam.
“Yaah,  saat cuaca seperti ini sebenarnya aku sudah enggan buka warung seperti ini , Yul ?. Tapi bagaimana lagi !”
“Ah, jangan gitu to, Bang, yang namanya rejeki tetap saja harus dicari. Kok tidak seperti biasanya, kini abang mengeluh”
“Umurku bertambah terus, Yul !, tapi bagaimana lagi,  anak-anak masih harus sekolah, semoga saja mereka tidak seperti orang tuanya bernasib seperti ini”
“Abang adalah manusia yang bahagia lho, punya anak anak yang pintar. Mereka semua tekun bersekolah”
“Kalau aku ingat itu, maunya terus saja buka warung 24 jam, yah semoga mereka berhasil, kamu mau minum apa, Yul ?”
“Aku nggak punya duit, Bang!, beberapa hari ini belum ada satu priapun yang boking aku. Nggak usah lah Bang, aku Cuma mau nyanggong saja”
“Jangan gitu dong Yul, kalau kamu nggak punya duit, nggak apa-apa. Kamu sudah lama jadi langganan warungku, seberapa mahal sih Yul, Cuma nasi sama minum. Kamu pasti lapar, iya kan ?”
“Tapi dagangan abang kan belum laku seharian ?”
“Adakalanya memang rejeki seseorang memang disempitkan, namun aku tetap bersukur. Lantaran beberapa minggu belakangan aku sampai kelelahan melayani pembeli. Malam ini anggap saja malam untuk  istirahatku.  Ayolah kamu ambil sesukamu, kamu nggak usah malu-malu”
“Trimakasih Bang Norman, kalau saja di dunia ini semua orang seperti Bang Norman. Mungkin aku tidak jadi PSK seperti ini, ya Bang!”.
“Entahlah Yul, aku tidak pernah membeda-bedakan orang kok, Yang penting kamu harus punya niatan untuk mengakhiri ini semua. Kamu kan bertambah usiamu Yul“.
Normapun selalu berangan bahwa apapun derajatnya, senista apapun profesi mereka, yang gemerlapan layaknya kunang-kunang malam yang sesaat bersinar, mereka adalah manusia biasa, yang tetap memiliki derajat yang sama. Hanya Tuhan saja yang berhak menghakimi mereka, itupun bila mereka belum bertaubat kepadaNYA.
Hujanpun mulai reda, namun malam telah merambat hingga melengangkan jalan di depan warung. Kota yang biasanya padat dan berdebu disertai deru mesin, kini terbujur dingin, sedingin hati kunang malam yang kini meratapi nasibnya. Kini hanya terdengar canda riang beberapa kunang malam yang saling menghibur diri, derai senyum mereka semakin jelas terdengar. Tak lama kemudian,  merekapun berkumpul di warung kopi Norman, yang sekarang mulai menghangatkan warungnya, setelah seharian terbujur dalam kedinginan.
Itulah kunang kunang malam, beterbangan dengan seribu angan guna membunuh setiap kegetiran hati. Mereka mudah berhamburan untuk memberi keceriaan, tapi sesaat merekapun berlarian pergi menuruti kata hatinya. Dari dalam bilik tidur, terdengarlah desah nafas istri Norman yang terjaga dari tidurnya dan sekarang diapun ikut canda riang di warung kopi yang tidak seberapa luasnya.
“Maafin aku ya, Mak!, aku mengganggu tidur emak !” , seru Ratih perempuan tinggi semampai, yang berperawakan wanita gaul, namun terbelenggu himpitan hidup, karena ditinggal suaminya yang berlalu begitu saja dan hanya meninggalkan ke dua anaknya yang masih kecil.
“Nggak apa apa, sebentar lagi emak juga masak, untuk sarapan bapak-bapak yang berlangganan di sini”.
“Emak nggak cape ?” Tanya Wiwin dengan pandangan mata yang kosong, seakan  menyimpan kehampaan yang ada di hatinya. Wiwinpun menjadi terbawa angan tentang emaknya di kampung, yang membanting tulang sebagai petani desa demi untuk menafkahi dia dan saudara saudaranya. Namun gairah cinta Wiwin yang membara, maka dengan mata gelap diapun menyerahkan segala-galanya pada pria hidung belang, yang  m,emberi seribu janji tapi juga meninggalkan dia begitu saja.
“Yaa cape to Win, tapi gimana lagi !”
“Makanlah dan buatlah kopi sendiri, kamu semua kan lapar ?, Udara di luar dingin, ayo semuanya jangan malu !” pinta Norman
“Aku ngebon dulu, ya Bang Norman ?, besok-besik aku bayar “
“He..he..ambilah makanan yang kamu sukai. Kamu semua sudah seperti anaku. Jangan malu !” , pinta istri Norman, yang melihat mereka semua dengan hati yang iba. Mereka semua tentunya mengalami kehancuran dalam hidupnya. Sebenarnya masih banyak diantara orang-orang yang kelihatannya terhormat, tetapi sebenarnya memiliki derajat yang lebih rendah dari mereka.
“Emak dan abang Norman , kok baikan dengan kami yang hanya seorang wanita jalang, yang tiada harganya” seru Yuli.
“Apa kami semua lebih suci dari kalian semua. Tuhanlah yang tahu harga seseorang” jawab Norman.
“Tetapi orang-orang semua pada mencibir kami, Mak!”
“He..he manusia hidup di dunia memang nggak ada benarnya, yang penting kalian semua mau belajar dagang, apa kerja, apa nglamar di pabrik. Anak anak kaliankan bertambah besar, kebutuhan mereka juga akan bertambah. Nggak mungkin kalian akan seperti ini terus” jawab istri Norman sembari menunggu matangnya nasi.
“Betul emakmu, kami semua juga seperti kamu. Yang namanya hidup akrab dengan penderitaan, hingga kami sendiri sudah nggak bisa merasakan apa penderitaan itu sendiri. Sabarlah, coba deh mulai besok pada nyari kerja kemana aja, jadi pembantu atau apa !”
“Kita semua sudah kesana kemari mencari kerja, hingga anak anak kami butuh susu dan sekolah. Sehingga akhirnya kami seperti ini” Wiwie tidak mau diam saja, dia lantas gabung curhat, sekedar menepiskan kegetiran hatinya. Dalam hati dia sempat bersukur telah dipertemukan dengan suami istri yang berhati emas, yang menempatkan mereka seperti orang lainnya. Namun sayangnya meski mereka telah akrab dengan suami istri tersebut bertahun-tahun, tapi tiada sepatah kata Norman dan istrinya yang  mereka dengarkan. Bagi suami istri itu dosa adalah mutlak urusan Tuhan yang Diatas. Wiwiepun tertegun, dan meresakan belum saatnya terlambat bagi dia untuk kembali sebagai wanita terhormat.
Air mata Wiwin telah memenuhi semua rongga matanya, tatkala terbayang dihatinya, setiap sore dia memperhatikan sorot mata kedua anaknya yang masih merindukan kehadirannya. Betapa teriris hatinya tatkala dia membayangkan, kedua anaknya menangis pilu di tengah malam merindukan peluk dan ciumnya.
“Sudahlah Win, kita semua mengalami penderitaan hidup yang sama denganmu. Ada benarnya juga nasehat bang Norman, kita belum terlambat untuk mencari kerja, membiayai anak anak kita dengan nafkah yang baik. Kita pun belum terlambat untuk menjadi ibu yang baik”. Yuli memeluk Wiwin kemudian mengusap rambutnya, persis seperi anak kecil. Mereka berduapun menjadi tersenyum , diikuti juga dengan derai senyum Wati, yang juga bernasib sama.
Kokok ayam jantan telah terdengar dimana-mana, pertanda sebuah kehidupan baru segera di mulai. Mereka bertigapun sudah tidak mampu lagi seperti kunang-kunang, karena sinarnya telah ditelan sang surya. Mereka semuapun berpamitan dengan pasangan suami istri yang disambut dengan senyum tulus dan sebuah doa, Kunang-kunangpun telah suram sinarnya, karena kini merea telah siap dengan penghidupan yang baru. Jalanan di depan warung Normanpun mulai rame.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar