Jumat, 02 November 2012

Abu dan Kolonjono




Tangan tangan mereka lepas saja sambil berjalan, lantaran tidak menjinjing bekal apapun kala menyusuri jalan desa yang memutih tertutup abu. Nafas mereka kelihatan tersengal saat menelusuri jalan terjal. Namun tetap saja mereka berjalan menerbangkan abu halus yang liar berkejaran. Nampaknya rasa rindu pada kampung halaman mereka melebihi penderitaan apapun yang tak jauh memusari.

Tidak beberapa lama sampailah mereka pada dataran tinggi yang memutari lembah kampung halaman mereka, yaitu Turgo, suatu lembah kehidupan mereka di lereng Merapi. Mereka semua kini berkumpul dengan tatapan mata kosong, beberapa ibu melepaskan gendongan anak anaknya yang merengek kelaparan. Kaki mereka yang melegam menyimpan sisa sisa terkaman sinar matahari, kini seakan berat melangkah menuruni bukit menuju lembah kehidupanya.

Dari atas sudah tidak nampak lagi lautan Kolonjoyo, yang biasanya terhampar bagi permadani hijau untuk pakan sapi sapi mereka, lembah itu kini hanya menyisakan tumpukan abu amarah Merapi. Dari kejauhan pula mereka hanya menyaksikan puing puing rumah mereka yang hangus diterpa awan panas muntahan Merapi. Lasmini kini lebih merapatkan ke tempat suaminya berdiri, yang masih kokoh menggendong Indra putra semata wayangnya.

“Ya, Tuhan, ampuni hambamu ini yang banyak berdosa” dari mulut Lasmini tanpa disadari terlontar desah ampunan dosa kepada Sang Pencipta, kala menyaksikan Turgo menjadi luluh lantak bagaikan kampung hantu.

“Berilah kami kekuatan, Ya Tuhan untuk memulai kehidupan kami “. Tangan kanan Sumitro masih terus saja menggendong Indra sedangkan tangan kirinya memeluk sang istri yang sama sama merasakan kegetiran hidup ini.

‘Gimana, kita sekarang, Mas ?” Lasmini menengadahkan wajahnya yang memucat itu ke arah suaminya yang tetap bersikap tenang.

“Bencana ini datangnya dari Yang Kuasa, maka Yang Kuasa pula yang akan memberi jalan unutk kehidupan kita semua. Bersabarlah !, kita tempati  saja rumah kita, semoga rumah kita  masih kokoh berdiri, sambil mulai besok aku akan membersihkan ladang kita dari abu.”

“Apa kita balik ke barak pengungsi saja, Pak ?”, pinta Lasmini, merengek seperti anak kecil  yang kehilangan mainanya.

“Kita disana juga tidak kalah menderitanya dibanding di sini. Cobalah kita atasi dulu semua kesulitan ini. Oh ya Lasmi, apa kamu lihat sapi sapi kita ?”. Sambil memutar melihat ke seluruh arah, Sumitro masih berharap agar sapi sapi yang dilepas sebelum mengungsi masih bisa bertahan hidup, karena tinggal sapi sapi itulah Sumitro dan Lasmini menyandarkan hidup mereka.
2

“Mana aku tahu, Mas ?”

“Ya sudahlah, nanti tugas kamu mencari sapi kita. Semoga saja mereka bisa terhindar dari awan panas. Aku akan membenahi rumah kita dan membersihkan sendang di belakang rumah, semoga  masih bisa kita manfaatkan”.

Pasangan suami istri muda itupun kini menuruni bukit perlahan, tangan Indrapun semakin merapat memeluk tubuh ayahnya. Sumitro berusaha menyembunyikan kegetira hatinya, da berusaha sekuat tenaga agar tetap tenang semata mata demi Lasmini agar mampu lebih berani menapaki penderitaan yang menyayat hati. Namun belum jauh mereka menuruni bukit itu, terdengar nyaring Santoso memanggil mereka berdua.

“ Tro,  tunggu dulu !, kau mau ke mana ?”
“Aku tetap mau pulang, aku tidak tahan di pengungsian terus.”
“Tapi keadaan kampung kita seperti ini ?”
“Habis gimana lagi “
“Tapi, Merapi masih berbahaya, Tro ?”

Mereka semua hanya diam membisu, apalagi Sumitro yang mencoba untuk menguatkan hatinya. Demikian juga Lasmini yang hanya mampu melempar sorot matanya hanya ke  arah suaminya itu.

“Ya, bagaimana lagi San. Merapi sudah tenang lagi. Sedangkan rencana relokasi masih belum jelas. Sambil menunggu kita direlokasikan. Lebih baik aku akan lanjutkan menanam sayur dan memerah sapi. Kita tidak mungkin terus terusan di barak, kau bagaimana San ?”

“Huh, entahlah Tro. Aku sendiri belum tahu. Aku juga sebenarnya pengin bertani lagi. Tapi, huh aku mau menunggu saja Merapi benar benar tenag. Aku sungguh bingung Tro, aku bagaimana pemerintah saja“

“Ya, itu terserah kamu saja. Mereka di belakang menunggu apa lagi, mengapa tidak segera turun ?”

“Sebagian mereka nekad mau pulang seperti kamu. Sedangkan sebagian lagi masih ragu-ragu, setelah melihat kampong kita rata dengan tanah “.

Rupanya pembicaraan Santoso dan Sumitro menarik perhatian lainya yang diselumuti kebimbungan yang terselip di tengah kegetiran hati mereka.  Maka tanpa membuang waktu lagi mereka berduyun melangkahkan kakinya menuruni bukit itu, untuk gabung dengan mereka bertiga. Kebimbangan demi kebimbangan terus mereka alami, tanpa mampu memutuskan langkah apa yang ditapaki guna menggapai masa depan mereka yang ditikam kemarahan Merapi. Sawah dan ladang mereka kini tidak serta merta dapat segera ditanami sayur, sedangkan hidup di reokasi seperti yang  dijanjkan pemerintahpun
3
tentu saja bakal menuai masalah baru. Sementara itu hingga saat ini Merapi belum menunjukan keramahan seperti biasanya.

“Tro, apa kamu nekad mau pulang ?” Tanya Ngatijan.

“Aku tidak punya pilihan lain ! “ .

“Mbok nanti dulu Tro, tunggu Merapi tenang kembali “ pinta Tarsono, yang sebenarnya juga sangat nerindukan Turgo dibuka lagi untuk mereka.

“Habis, dipengungsian  juga kita tak punya harapan apa apa lagi. Tempat untuk relokasi juga belum ditentukan dimana, Padahal butuh waktu berbulan bulan. Di pengungsian untuk makan saja kita harus berebut “.

“Lantas, kalau  kamu di sini juga mau makan apa, Tro ?” . Kembali Santoso mencoba untuk menemukan jalan keluar .

“Kita coba saja membuka dapur umum di sini, nanti untk bahan makanan sementara kita minta bantuan relawan. Musibah ini bukan kita saja yang menanggung, tapi seluruh rakyat Indonesia “

“Masalahnya bukan itu, Tro !. Tapi kita tidak tahu apa Merapi masih bisa meletus, atau sudah tenang kembali ?”

“Kalau masalah itu aku tidak tahu, Kang Sawijan !. Tapi kita mengenal Merapi kan sudah puluhan tahun. Bahkan Kang Sawijan kan lebih tahu dari saya “

“Betul juga pendapat Sumitro, kita masih punya waktu untuk meninggalkan Turgo,bila Merapi garang lagi “.  Perlahan lahan Santoso mulai menemukan hatinya kembali, yang sejak kemarin memang bimbang. Kini diapun sependapat dengan Sumitro.

“Tapi aku bukan ahli gunung,  jangan mengikuti langkahku. Sebaiknya saudara saudara minta pertimbangan Pak Lurah. Aku hanya menuruti lata hatiku saja, meski aku lihat banyak saudara saydara kita yang sekarang nekad pulang ke rumahnya “

Tutur kata Sumitro sedikit banyaknya membuat mereka harus berpikir lebih jernih lagi untuk memutuskan kembali ke barak atau mengikuti Sumitro, Sebagian dari mereka menjadi tertunduk lesu, sebagian lainya hanya mampu menarik nafas panjang. Hanya Santoso saja yang lebih berani lagi mengikuti langkah Sumitro. Bagi mereka berdua telah yakin bahwa Merapi telah kembali ramah,  entah apa yang melatarbelakangi keyakinan itu. Tapi memang mereka telah bertahun tahun mengenal watak Merapi, yang memasuk tahap membangun material kembali untuk letusan berikutnya.



4

Dari kejauhan nampak debu mengepul diterjang roda roda beberapa mobil menuju mereka, semakin dekat semakin nyata bahwa mereka adalah dari satuan TNI, relawan, wartawan dan pejabat daerah yang membawa beberapa bahan makanan dan perlengkapan dapur umum untuk warga yang berbondong pulang ke Turgo.

Seorang dari mereka kemudian mendekati kerumunan Warga Turgo tersebut sambil menuturkan bahwa Merapi benar benar sudah bersahabat lagi dengan mereka, dan mereka semua diperbolehkan untuk memulai kehidupan mereka di desa yang meradang pilu itu, tetapi hanya untuk sementara hingga benar benar pemerintah siap merelokasi mereka. Mulai hari ini sebuah team relawan siap membantu utuk menyediakan kebutuhan hidup mereka semua.

Air mata kebahagiaan Sumitro benar benar telah membasahi pipinya kini, sebuah pelukan erat dia rasakan dari istrinya yang tadinya lunglai tak berdaya menghadapi kehidupan yang getir ini. Peluk cium mereka lakukan sepuas puasnya pada Indra buah hati mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar