Minggu, 04 November 2012

Pena yang Tak Pernah Patah



Siapa bilang hanya para pahlawan bersimbah darah yang tersungkur tubuhnya di tanah tercinta ini, karena di terjang peluru anjing NICA adalah sosok  paling berjasa terhadap berdirinya negara dan  bangsa ini. Atau sang maestro perancang gedung pencangkar langit, berangka baja dan berlantai pualam yang mahal harganya disebut sebagai pahlawan negara. Bukankah pengendara sepeda motor yang melengkapi kendaraanya dan keselamatan dirinya, yang juga patuh pada rambu lalu lintas juga disebut sebagai pahlawan. Bahkan seorang figur yang tak pernah mengaku dirinya phlawan, padahal sekeping hidup yang dimiliki, berajut menit demi menit untuk mengasuh tunas tunas muda yang bukan anak kandungnya sendiri adalah sebenarnya seorang pahlawan.

Pagi ini dia berdandan Pakaian Dinas Harian, tanah liat yang menjadi  jalan desa yang dilalui masih basah dengan tetesan hujan semalam.  Terasa berat langkah kaki lelaki separoh baya itu berjalan di atas jalan yang belum kering benar. Sepatu hitam model perlente, terpaksa harus menjadi kusam warnanya karena dia harus menyibak genangan air di sepanjang  jalan itu. Namun keluh kesah yang kadang terlontar begitu saja dari mulutnya,  sama sekali tak dihiraukan tebing tebing berimbun ilalang dan pohon pinus di kanan kiri jalan itu.

Meski dia harus menyibak embun pagi yang masih terasa menggigit kulitnya, namun kedua kakinya terus saja diayunkan. Entah sampai kapan kaki ini masih setia menuruti kehendaknya, meski kadang kadang penyakit reumatik yang dideritanya usil menggelitik hatinya agar rebah saja di kamar tidurnya. Namun pagi yang datang menyapanya kali ini, adalah pagi yang masih bersahabat denganya. Meski setelah Sholat  Subuh dia harus menyisir jalan berkelok, naik turun dan memutari kaki Gunung  Ungaran untuk sampai ke sekolahanya.

Jalan yang dilalui sudah mulai agar terang, karena satu dua berkas sinar matahari mampu menyelinap di balik rerimbunan pohon pinus. Satu dua kali dia mulai bertemu dengan penduduk desa yang bergegas menyambung hidup dengan membawa keranjang sayur untuk dijual ke pasar.

“Istirahat dulu !, Pak Andreas !. Tidak usah terburu-buru, kan hari masih pagi !” sebuah permintaan dari Kartono ,  pedagang sayur yang hampir tiap hari berpapasan dengan dia di jalan desa tanah liat yang licin itu. Andreaspun menghentikan langkahnya sambil mengatur nafasnya kembali. Sementara Kartonopun merasa mendapatkan teman ngobrol di tengah hutan pinus itu, lantas dia menurunkan dua keranjangnya yang berisi sayuran.

 “Sampai kapan kita harus begini, Pak Karto ?” seru guru yang sudah memucat wajahnya karena kecapaian. Perjalanan yang harus dilalui memang cukup berat, karena jalan setapak yang memutari bukit itu cukup jauh. Semenjak putusnya jembatan utama karena diterjang derasnya kali Sumowono, Januari silam.

“Iya Pak, gimana lagi !, kita tunggu pemerintah untuk menyambung jembatan itu lagi. Selama ini kami rugi besar P            ak !, karena tidak bisa menjual sayur ke Semarang”

“Aku juga kasihan pada anak anaku yang harus  berjalan menyisir jalan memutar ini. Mereka kini setiap hari kesiangan, kadang tidak ke sekolah. Meski pelajaran dimulai jam 8  pagi “. Kartono sudah mulai mampu mengatur nafasnya, maka diapun bergegas untuk melanjutkan menjemput matahari, menjemput pembelajaran anak anaknya yang lugu, jauh dari kehidupan seperti anak kota yang serba tercukupi. Namun keterbatasan segalanya, tidak mampu membungkam degup jantung Andreas  yang bergurat kemanusiaan. Mereka adalah anak anak manusia, yang harus mendapatkan kasih sayang.
***
Jarum kecil jam dinding sekolah yang lusuh menunjukan angka 7 lewat sedikit, namun dinding sekolah dasar itu masih kelihatan samar tertutup kabut pagi. Beberapa anak desa berpakaian putih kumal sudah mulai datang di sekolah, mereka menyeringai senyuman sambil mengucapkan salam kepada guru separo baya itu.

“Lho, yang lain mana ?, yang datang cuma ini ?” sapa Pak Andreas.

“Kami tidak tahu pak !, hanya tadi teman teman banyak yang pergi bersama ibunya ke puskesmas ?”

“Sakit apa mereka ?”

“Kata ibuku, semalam banyak anak tetangga yang batuk pilek dan badanya panas”

Meski dengan getir, Andreas mencoba tetap mengusung senyum pada mereka. Meski tembok tembok kusam dan banyak yang retak, kaca kaca jendela yang berdebu tebal telah mencibirkan senyumanya itu. Apalagi ternit atap kelas yang sudah mulai banyak yang retak bahkan koyak di sana sini, seakan mengusir Andreas agar meninggalkan sekolahan ini. Tapi semua hipnotis yang menyelinap di sisi lain jantungnya dia tepiskan kuat-kuat. Andreaspun segera mengambil tongkat besi dan dipukulkan pada potongan rel baja kereta  api yang menggelantung di depan kantornya, sebagai pertanda waktunya bagi anak anak untuk mulai belajar. Meski pandangan mata kosongnya dia arahkan pada sederetan ruang kelas yang hanya berisi tidak lebih dari sepuluh. Sementara sejak Bulan Januari silam, sebagian guru lainnya sering datang terlambat dan kadang pula tidak hadir, lantaran halangan alam yang demekian  kencangnya merenggut mereka dan anak anaknya. Terbesit dalam hatinya, terkadang diapun berniat ingin sama seperti mereka. Namun sebuah pembelajaran yang pernah dia sodorkan suatu hari kepada anak anaknya mampu demikian kuatnya terpatri dalam lubuk hatinya.

“Inilah badai matahari yang menerjang bumi kita !” Andreas memegang peraga bumi di tangan kananya, yang didekatkan pada peraga matahari pada tangan kirinya, untuk member pelajaran IPA pada mereka.

“Mengapa bumi tidak terbang melayang, pak guru ?, padahal terkena badai. Apa kalau bumi terkena badai matahari kita semua akan mati, pak guru ?” tanya Susianti dengan polosnya.

“Itulah hebatnya bumi, Susi !, Bumi tidak pernah berhenti berputar, apalagi kabur karena badai matahari. Sebab kalau bumi berhenti atau terbang melayang, kita semua akan mati !” jawab Andreas dengan derai tawa menghiasi wajahnya.

“Beruntung sekali, kita hidup di atas bumi  yang berhati baik. Aku ingin seperti bumi, pak guru !”. Tanya Hendrawan.

“Oh bagus sekali cita citamu Hendrawan !, sifat bumi  itu bisa kita tiru. Kita sebaiknya tetap berbuat baik kepada orang lain, meskipun kita sedang berhadapan dengan penderitaan, sama seperti bumi. Bumi tetap berputar, memberikan kita siang dan malam, menumbuhkan padi dan sayuran meskipun dia diserang badai matahari. Nah kalau kita bisa meniru bumi, maka kamu nantinya bisa menjadi manusia yang baik “.

Solar Fire tidak hanya menyerang bumi saja tapi kini menyerang sekolahnya, dengan banyaknya tebing di seputar wilayah Sumowono yang longsor, apalagi dengan putusnya jembatan utama. Namun bukan berarti pembelajaran pada anak anak desa yang lugu dan kebanyakan putra petani miskin itu, menjadi terhenti menerima pembelajaran. Bumilah yang mengilhami Andreas agar dia mampu bersifat seperti itu. Mengapa dia harus kalah dengan cita cita murni Hendrawan anaknya.

***
Sayup terdengar suara beberapa orang mendekati ruang kelas VI, Andreaspun bergegas menyambut mereka yang datang bertiga dengan setelan kemeja PSH. Peluh membasahi wajah dan tangan ke tiga tamu itu yang kelelahan.

“Bapak dari mana ?”

“Oh ya !, Bapak yang bernama Pak Andreas ?” jawab salah seorang dari mereka.

“Betul, pak !, ada yang bisa saya bantu ?”

“Kami tim survey dari pemkot, kami hanya berniat survey di wilayah ini. Terutama laporan beberapa media tentang lumpuhnya pendidikan di sini karena hujan deras kemarin. Setelah selesai kami survey, secepatnya kami akan membantu mengatasi lumpuhnya wilayah Sumowono”

Andreas saat ini mampu berperan sebagai nara sumber dari masalah kemanusian. Bukan hanya nasib sekolah anak-anaknya, tapi juga kebutuhan kelancaran transportasi bagi petani sayur di wilayah itu.

“Lantas apa ide bapak ?” pinta ketua tim survey, setelah mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang penderitaan hidup warga Sumowono.

“Saran kami, dahulukan tersambungnya Jembatan Sumowono, lantas bersihkan longsoran tebing yang banyak menutupi jalan itu. Misalkan pemerintah daerah belum mampu menyambung Jembatan Sumowono, gunakan dahulu jembatan darurat militer !”

Wajah wajah optimis kini menghiasi meeka semua. Andreas melepas kepergian mereka semua dengan harapan yang bulat, agar pembelajaran kepada anak anaknya tidak pernah retak apalagi patah***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar