Minggu, 04 November 2012

Istana di Balik Cakrawala



Di balik cakrawala langitpun kini berwarna jingga, setelah sekian lama “menikam senyumnya” hingga berwarna merah merona. Di balik cakrawala itu pula, terdapat membisu puncak yang lebih kokoh dari  
 Puncak Sagarmatha  namun tetap saja cakrawala itu saat ini berkulum senyum, menyimpan gambaran penuh kasih.Didalamnya bersemayam Istana tempat manusia melepas lilitan tali bersimpul  gerigi, yang  tiada mau lepas dari kulit yang telah terkoyak. Sesekali angin dingin cakrawala itu, berteriak menyampaikan protes,   mengapa kecantikan  Mauna Loa  dan Chimborazo  tidak pernah terlintas lagi, mengambil syahwat-syahwat yang akan menggoda manusia, yang menjinjingnya menuju cakrawaka itu.

Namun rupanya kesyahduan manusia dalam merajut angin penuh wangi bunga dalam ikatan kembang setaman di cakrawala itu, telah melupakan nafsu syahwat itu, Lagian di tengah cakrawala itu, ketika terdengar takbir, tahlil dan takmid , manusia kembali tersungkur menata nafasnya kembali, ketika tersengal di adonan duniawi yang telah berbau busuk. Bukankah di  Palung Mariana, tempat yang eksotis berisi telaga Kautsar yang akan membumikan segala nafsu.

Bukalah ikatan Batari Durga di pelabuhan Gondo Mayit,lalu campakan hingga engkau manusia mampu mengepalkan tanganmu dan tak akan lagi mempan terhadap rayuan Batari Dorga ketika kau masih berada di bawah cakrawala, ketika lembayung senja memerahkan rona kalbumu, ketika sekuntum bunga mawar sudah tidak membawa kesegaran lagi, Ketika langit tersungkur mendengar suara Adzan, engkaupun malah menanarkan matamu,melilitkan deru  dan debu di bilik jantungmu.Apakah sudah gelap matamu,padahal ruhmu yang tidak seberapa kokoh telah berada di genggamNYA. Inilah cakrawala nun jauh disana yang berisi sebuah istana untuk kau semayami.

Semilir angin Sagarmantha telah menukik tajam namun tetap sepoi  membangkitkan kerinduan manusia untuk memetiknya dan menyimpan dalam dadanya masing-masing, bagi yang telah gerah jiwanya. Bila angin ini berhasil dililitkan dalam kehidupan yang penuh bara, hasud, iri dan dengki. Maka tiada mungkin lagi manusia menengadahkan wajah untuk meminta hujan esok pagi.yang memberi kesejukan hidup, bukankah dada ini sekarang telah berisi kuntum senyum keteduhan yang ada di Cakrawala.

Bukankah pula telah satu bulan penuh manusia “tawadhu berpasrah”, telah menerpa dirinya sendiri agar kokoh menghadapi tajamnya badai. Akupun masih limbung terbenam dalah tajamnya badai itu. Aku telah menyingsingkan lengan baju, menyingsingkan cita dan hasrat dan menajamkan tatapan mata selama satu bulan menguntai dahaga, lapar, dan mendidihnya ubun ubun kepala dalam menerima sodoran hidup. Lantas biar saja aku lewati satu bulan untuk mereguk Al Kautsar di

Dengan tergopoph-gopoh, lantaran tinggal setapak langkah kaki menuju Istana di balik Cakrawala, aku menggapai dengan genggaman tangan yang selalu bergetar selama 10 malam terakhir. Aku reguk setetes demi setetes air Telaga Kautsar,.  aku turuti sungai-sungai Gletser dari Puncak  Chomolangma, . yang bertepikan tumpukan salju yang mampu memantulkan sinar sang mentari, hingga berwarna putih tanpa

2
sedikitpun kekusaman. .Lantas dahaga ini mulai menyurut,  ditengarai langkah semakin menyerupai “sapu angin”.

Selamat Datang pada wujudku semula, yang tidak lagi renta seperti Janggan Semarasanta  atau bahkan seperti Pandita Sokalima, atau bahkan muda belia seperti Wisanggeni, yang ada adalah aku bersama bayang berbaju putih dengan mengenakan sayap putih hendak terbang meniti ke empat arah kebenaran. “0h,,inikah arah itu, aku hanya mengerti lewat  nyanyi burung,namun ke empat arah itu kini sudah di dekatku”, bisik kalbuku, yang telah lama merindu kebenaran.

Akupun tidak mengira sebelumnya, bila sebilah episode pernah aku torehkan, kini menjelma menjadi wujud yang ada dihadapanku. .Sambil berteriak dan menggertak, yang suaranya memenuhi empat arah langit, dan dari tangan kirinya menjinjing “kantong hitam”, untuk tubuhku yang tertebas pedangnya yang tajam dan terhunus di tangan kanannya.

“Aku adalah bayangan semu dan hitam, tempat kau pernah menorehkan sesuatu yang spectakuler. Tetapi engkau sama sekali tiada menyadari”

“Perjalanan yang aku kayuh dengan biduk tiada pernah membentur karang yang tegar, ombak ganas dan badai yang menelan biduku”

“Itulah maka kau disebut manusia, ketika senja jatuh di pelataran Pantai Parangtritis, ketika kau bagalkan Romie dan Juli, ketika Julimu tersenyum ceria dan kaupun sempat mereguk “anggur merah” bercawan emas.dan kau melihat langit runtuh. Teteapi kau hanya diam terpaku. Kini dimana cawan emas itu ?”

“Aku buang jauh-jauh, dalam samudra hitam pekat. .Akupun tiada pernah berhasrat mencarinya, karena samudra itu sangatlah dalam.Aku bukan Werkudoro ketika mendapatkan Sang Dewa Ruci. Aku tidak tahu, harus bicara apa lagi

“Kamu memang manusia yang hanya bernafas, tiada pernah menelisik kata hati, bertulang kecil dan berdada rapuh, serta berdandan angin -badai di alam fana ini, tetap dadamu kau busungkan setinggi gunung anakan. Maka jangan lari, akan aku pagut dengan pedang ini tepat di atas ubun-ubun kepalamu”

“Ampun wajah seribu langit, berilah aku sekali lagi agar mampu menapaki lantai Istana Di Balik Cakrawala itu, anginya sudah aku rasakan dari sini. Pintu-pintunya sudah melambaikan tangan-tangannya lantaran rindu bertemuku. Aku tidak mencari apa-apa lagi, di saat hari telah senja, di saat sinar telah temaram, di saat baju yang basah tiada mengering lagi. Pasti aku akan menemukan cawan emas itu. Akan aku
simpan baik-baik, aku cuci pagi dan sore, serta akan aku peluk dalam setiap tidurku, Agar aku pula dapat memasuki Istana itu”

“Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang dapat menentukan dirimu sendiri untuk mengembara dalam tiap sudut istana itu. Maka pulanglah engkau, senja terakhir di bilangan 30 hari telah cukup, lantas kau dapat tebari lagi hari hari esokmu dengan mutiara kemuliaanmu, agar engkau bisa bersemayam pada “tempat yang jauh lagi dari istana itu”
3
“Dimana lagi akan aku temukan tempat itu”

“Saat sebuah Catatan Harian dari langit mengirim kamu seprang utusan dan membawamu, berkeliling taman penuh warna bunga menembus angkasa dan melaju terus di tiap penjuru langit. Angin berdesir kuat diikuti butir pasair yuang menghalangi batas pandangku, langit kembali berwarna biru. Basah wajahku bersatu dengan “ornament-ornamen tentang hidup”. Gema Takbir, Tahlil dan Takbir memenuhi tiap kamar dan relung istana itu.

Akuipun menjadi terperangah, lantas aku sunting angin kembara untuk mengantarkan aku pada cawan emas tempat”anggur merah” yang telah disediakan untukku, kini cawan itu tergolek lemas, tiada lagi kekuatan untuk menegakan tulang belulangnya. Lantas aku sodorkan bunga mawar merah membara, agar dia mampu untuk menatap hari esoknya lagi.

“Trimalah ini, meski aku terlambat” seruku sambil tatapan mataku tak pernah aku lepaskan.

“Engkaulah durjana itu, .manusia yang tiada punya halaman hati untuk sekedar  bertanam kebun buah. Untuk memandangi hijauan daun, untuk menitipkan sebilah kesejukan..?”

“Maka aku berikun seikat mawar merah ini”

“Untuk apa ?”

“Untuk aku terbangkan tubuhmu yang tergolek, agar bersemi lagi.agar semaumu bersemayam di kamar-kamar di Istana itu, lantas aku berikan bantal bersusun tujuh, dengan kebun bunga berada di sisi kanan kiri halaman istana itu”. Kini semua menjadi lengang setelah ornament diding itu dosemaraki dengan “anggur mera” yang berkubang di cawan emas.Bersama dengan Gema Takbir yang lebih nyaring lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar