Jumat, 02 November 2012

Menjaring Angin dan Hujan


Sawah ladang yang mulai basah telah menjadi saksi, saat mereka harus sigap dengan  langkah kaki ke depan, lantaran mereka semua adalah petani kecil yang hanya mampu menitipkan hidupnya pada perguliran musim, Saat Angin Muson Barat mendera, mereka segera membenamkan seluruh kaki kakinya pada air sawah. Sehingga mereka yang  berdagang di kota besar, segera meninggalkan kotanya, untuk segera menyemai penghidupan dengan butir butir padi di sawah mereka yang tidak begitu luas. Namun bila sawah mereka diterkam kemarau panjang, merekapun segera balik lagi ke kota untuk berdagang mi ayam, mi bakso, panganan untuk anak anak SD dan apapun yang mereka mampu lakukan. Saat itu angin tenggara melempar mereka jauh jauh dan entah kemana mereka akan terdampar. Seperti biji biji ilalang yang kecil dan ringan kala terhempas angin kemarau.
Inilah nafas hidup desa tempat kelahiran  mereka,  meski tidak seluruh penghidupanya dikemas di desa ini. Mereka  yang tidak mengenal pangkat dan jabatan, tidak mengenal jenjang karir apalagi gaji ke 13 atau tunjangan prestasi dan apapun yang dimiliki oleh pekerja-pekerja kantoran. Aalagi korupsi uang negara. Mereka hanya akrab dengan lenguh sapi perahan dengan Kolonjono yang tumbuh di pekarangan samping rumahnya.  
Saat ini kembali angin Barat  menjenguk penghuni desa itu dengan titik titik hujan yang terusung,  sehingga pagi mulai berkabut, jalan dan pematang yang malang melintang di tengah sawah mulai ramai. Deru knalpot traktor  menyalak ,  namun burung burung bangau yang ada di seputarnya tidak memperdulikanya. Mereka lebih peduli pada yuyu dan ikan ikan kecil unuk sekedar mengganjal perutnya. Seakan mereka tahu persis apa yang dilakukan oleh petani petani itu dan merekapun menirunya. Namun yang mampu dilakukan oleh burung burung itu hanyalah memburu musim hujan. Meski beberapa tahun belakangan ini mereka menjadi tak mengerti,  lantaran mereka sering menjumpai hujan yang berkawan dengan badai, atau hujan di tengah kemarau, bahkan mereka juga pernah menjumpai kawanan ulat bulu yang menghabiskan semua dedaunan hijau.
Namun mereka masih bisa terenyum lega,  saat menyaksikan manusia masih terus mengolah tanah yang sudah banyak ditimbuni zat kimia, dengan tanah seperti itu burung burung banagu itu  kini tidak bisa melahap cacing cacing tanah dengan lebih rakus lagi, tidak sperti beberapa tahun silam.
Terminal bus yang lusuh dan berdebu dengan jalan jalan aspal yang menganga di sana sini siap dengan rakus  menelan tubuh tubuh yang terperosok di dalamnya. Terminal bus itu  berada di sudut desa dan mulai terlihat lebih ramai ketimbang hari biasanya.Kerumunan orang tua dan muda bahkan terlihat juga anak anak  yang mulai bereksotis di terminal bus tersebut. Mereka semua adalah petani yang kembali ke desa, untuk memburu secercah hidup dari sawah sawah mereka.
Ciri khas yang tidak bisa disembunyikan dari mereka, adalah kulit yang hitam melegam dengan bahu yang kekar. Namun raut wajah yang pasrah masih terus melekatnya. Diantara mereka adalah suami istri Hananto dan Kadarwati.
***

2
Belahan langit yang mengungkungi desa itu semalam telah mengirim titik hujan hingga pagi, kembang api alam terus saja silih berganti memagut desa itu. Kini pagi telah menyingkap mendung mendung gelap, sehingga keluarga muda petani Hananto dan istrinya Kadarwati sigap berseri mengawali kehidupan ini.
Sudah beberapa ratus meter jalan desa yang berbatu telah mereka lalui, tanpa suatu alas kakipun.  Sementara jalan yang terhampar di depanya kini hanyalah jalan pematang, yang malang melintang membelah sawah menjadi petak petak yang rapi, senyum beberapa karib, kawan sepermainan selalu menghiasi wajah mereka yang tumpah di sawah itu. Hananto yang baru pagi ini, menapakan kakinya di sawahnya yang terletak di tengah hamparan sawah yang nampak tak bertepi, segera melemparkan senyum rindu pada teman teman sepermainan. Teman yang dahulunya sering bermain  “wayang orang dan gamelan jawa” di tengah padang gersang, kala kemarau memagutnya. Di bawah bulan purnama adalah saat yang hidup untuk anak anak desa bermain wayang orang tersebut.
Hananto yang di Jakarta biasa bergelut dengan peluh-peluh pengap, mengais hidup di bawah tenda tenda plastik di pinggir jalan, menawarkan jasa menjadi buruh permak jean dan Kadarwati yang menjual bensin eceran disampingnya, kini bagaikan anak ingusan yang berada di tengah petani petani yang menenggelamkan diri dengan lumpur sawah, kerbau, gerimis dan terkaman matahari.
Sawah Hananto hanya berisi ilalang kering yang terbakar ganasnya kemarau panjang dan disana sini terlihat ilalang yang mulai menghijau di sela tubuh ilalang lainya  rebah.
“Tanah ini tentunya harus mulai aku balik, mumpung hujan mulai menghidupi sawah kita”. Seberkas  harapan mulai menebal di bilik jantung Hananto, Kadarwati hanya mengangkat kedua tanganya,  suatu isayarat agar suaminya sigap memulai  memunguti kehidupan mereka yang jauh dari sorot sorot mata yang garang,  di tengah knalpot mikrolet Jakarta yang hitam dan menyesakan dada. Kadarwati masih menyodorkan senyuman tawar, meski kehidupan mereka yang masih  terbawa “angin kembara”, bagaikan debu tak berdaya diterbangkan angin padang.
***
“Apa kamu sudah siap menyandarkan hidupmu pada sawah sawah kita, Wati ?”. Sepotong keinginan tahu Hananto dilontarkan pada Kadarwati, yang masih menyapu semua penjuru sawah dengan sorot mata yang masih kelihatan beku dan dingin. Sedingin beranda rumah sederhana mereka yang cukup lama ditinggalkan dan kini tembok tembok dindingnyapun masih menyimpan sepi. Hananto masih saja menunggu jawaban istrinya dengan wajahnya yang diarahkan padanya, meski dia tahu bahwa istrinya telah akrab dengan benturan benturan hidup sejak kecil.
“Itu tergantung kita, Mas !”, seraya merebahkan badanya di kursi bambu, Kadarwati memberikan jawaban.
Hananto tambah mengecil hatinya, berkali- kali dia meneguk kopi hangat yang sekian lama belum tersentuh. Berkali kali pula jantung hatinya berdegup, karena ketidakmampuan Hananto menangkap isarat dari  istrinya. Senja itu Hananto menjadi terpingit dalam ketidaktahuan tentang jawaban istrinya. Kebisuan itu akhirnya membuat dia tersudut , namun
3
semilir angin dingin musim hujan memberinya bisikan, agar dia lebih berani lagi menghadapi resiko apapun.
“Kalau aku gagal panen atau rugi ?”.
“Kapan dirimu berhasil ?, Bukankah kegagalan lebih akrab dengan dirimu, Mas ?”. Hananto terlempar hingga jauh ke ujung langit, sayap sayapnya yang tadinya sudah ditutup rapat rapat. Kini Kadarwati telah merentangkanya, sayap-sayap itu telah membawa Hananto pada kenangan di Bengkulu kala ikut transmigrasi, kala Hananto menjadi nelayan dan episode episode kelam kini hadir di dalam benaknya.
Angin senja musim hujan semakin memagutkan dingin beranda rumah papan itu, bahkan kini lebih berani lagi  mengibaskan rambut Kadarwati yang dibiarkan terurai sebatas pinggang. Hanantopun menjadi terkapar dalam angan berada dipelukan wanita berkulit sawo matang dan berwajah oval itu. Tak lagi senyap dalam jantung Hananto dan kini mulai tumbuh bara asmara milik dewa dewi  kahyangan. Seberkas harapanpun mulai tumbuh dalam benak Hananto.
“Semoga kita berhasil menjadi petani di sini,  seperti semangatku kala aku meninggalkan Jakarta yang pengap, lusuh dan garang”. Hananto mencoba tampil layaknya lelaki gagah dan kekar dan mampu menggendong pujaan hatinya itu hingga  ke tengah peraduan mereka.
“Cobalah bekerja keras seperti teman-temanmu, mereka tak takut hidup menjadi petani, mereka tak takut lagi dengan kegagalan. Karena mereka terbiasa dengan kegagalan, tapi kalau dirimu Mas ! sudah merasa gagal, maka separo dari usahamu telah gagal”
“Tapi apa engkau siap hidup menjadi petani?” . Kembali Hananto menyelipkan sebuah pertanyaan.
“Mengapa tidak kau tanya saja!, apa aku siap menjadi istri seorang menteri ?”. Hananto merasakan sejak saat itu bumi telah berputar terbalik, jawaban istrinya telah memisahkan dirinya dengan apa yang tersimpan dalam lubuk hatinya. Dia sebenarnya tidak takut dengan sebuah kegagalan, tapi dia tidak ingin kegagalan terus saja bergayut di kehidupan isrinya.  Meskipun dia tidak pernah merasakan bangku perguruan tinggi, namun benang benang sutra yang halus dan lembut, tetapi kokoh telah menautkan kedua hati mereka. Maka diapun  berhasrat untuk menyaksikan istrinya selalu hidup bermandikan bunga warna warni.
“Maksud kamu bagaimana, Wati ?”
“Bila manusia diberi kebebasan untuk memilih takdirnya, maka aku akan memilih jadi istri seorang mentri atau gubernur atau sekalian menjdi ibu negara. Tetapi karena suratan takdir yang harus kita jalani seperti ini. Tidak ada jalan lain kecuali aku harus siap dengan yang aku mampu jalani “
Rembulan yang tadinya berada di ketiak awan, kini berwajah bundar di pusari angin malam. Rumah papan itupun menjadi sepi.
***

4
Entah sudah berapa ratus kali cangkul Hananto dan beberapa buruhnya membentur dan membalikan tanah dan lumpur sawah yang berwarna kecoklatan karena bercampur dengan jerami yang mengering di musim kemarau silam. Tiada lagi deru debu menerpa tubuhnya yang tiada seberapa kokohnya. Hanantopun terus bercengkerama dengan Angin Muson yang mengirimnya hujan, guna mengokohkan bahtera rumah tangganya dengan Kadarwati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar