Sabtu, 08 Desember 2012

Rindu yang Membara

Sudah satu hari penuh belum ada sesuap nasipun yang mengisi perut nenek itu. Hanya nafas yang keluar masuk rongga dadanya, yang dia miliki. Selembar hidupnya kuat digayuti kegetiran yang seakan tidak mau meninggalkanya barang sedikitpun. Dinding kardus biliknya yang pengap hingga larut malam ini semakin menyudutkanya, dengan melewatkan angin malam yang menggigit tulang-tulangnya, dari celah sambungan sambngan kardus. Akhirnya sebuah selendang yang rapuh dia raih untuk membalut tubuhnya yang renta itu. Sementara suara deru mobil di atap rumah kardusnya terus menderu, membuat tambah sulitnya dia ynng renta itu untuk tidur di bilik kolong jembatan.

Suara batuk batuk kecil suaminya yang juga telah renta, tiada henti memenuhi rumah kardus itu. Namun terus saja asap mengepul dari tembakau yang terbakar  keluar dari mulutnya. Begitu asiknya lelaki tua itu berulang menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, bahkan kini da tidak segan lagi menghembuskan asap rokoknya beberapa kali tiap dia selesai menghisap rokok lintinganya.  Seakan dari butir asap  dan teer yang keluar dari bibir yang menghitam itu,  sebuah gambaran ia dapatkan tentang Hartini putri satu satunya yang dia dambakan bisa berkumpul dengan dia dan istrinya yang telah renta. Demi sebuah pertemuan ini,  dia rela meninggalkan kampung halamanya, sawah ladang dan rumah setengah tembok untuk berkeliling dari rumah kardus satu ke rumah kardus lainnya di  Jakarta.

Kadang sorot matanya dia tumpahkan dalam dalam ke perlahan arus Sungai Ciliwung yang keruh dan busuk.”Pantas saja air sungai ini busuk dan kelam, karena air sungai ini adalah tumpahan segala kekotoran dari orang orang yang  sebagian diantaranya busuk dan kelam”, gumam dalam hatinya mulai bangkit menembus asap rokok yang tajam.

***

“Di mana Hartini berada, ya bu?” Sartidjo yang belum bisa terlelap tidur, kembali mengetuk hasrat yang jauh terpatri di lubuk hatinya, sementara beberapa puluh puntung lintingan rokoknya telah tersebar di depanya. Istrinyapun yang mendengar keluh suaminya itu menggeliatkan tubuhnya dan segera duduk disamping suaminya, membiarkan tubuhnya tersapu angin malam.

“Aneh, pak !, tidak ada satupun manusia kota ini yang membantu kita. Huuuh, ingin rasanya aku pulang ke kampung, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku bisa bertemu dengan Hartini, apakah dia sudah punya suami ?, apakah dia sudah punya anak ?. Kalau aku sudah punya cucu, aku ingin sekali menggedongnya, ah kalau Hartini mau, akan aku ajak pulang dan aku gendong cucuku, aku akan bawa dia jalan jalan keliling kampung. Tapi, di mana alamat anak kita, Pak ?”. Pertanyaan yang sama dengan suaminya, kini diulanginya lagi.

“Aku sudah cape, bu !”

“Cape!!, lantas kapan aku akan ketemu Hartini ?” istrinya menjawab dengan ketus.

“Suatu saat dia kan pulang, bu. Kita tidak perlu menderita seperti ini “

“Sabar, sudah berapa tahun kita menunggu di kampung ?, sudah berapa banyak saudara kita yang kerja di Jakarta mencari Hartini, tapi semua tidak bisa menemukan Hartini”.

“Lakon hidup apa ya bu ?, kita harus menjalani kehidupan seperti ini?”. Istrinya hanya diam membisu. Sementara deru mobil di atas mereka belum juga reda, meski hari sudah hampir pagi. Saat esok nanti mereka  harus meninggalkan rumah kardus itu dan berpindah ke tempat lain, entah kemana dan di tempat mana mereka harus tinggal. Sementara untuk mengisi perut mereka sepanjang perjalanan mencari putri tunggalnya, mereka terpaksa harus mengemis. Itupun bila mereka bisa mendapatkan manusia Jakarta yang masih memiliki rasa iba dengan memberi mereka beberapa uang receh.

***

 Pasutri renta itu segera berlalu begitu saja dari rumah kardus yang didiami hanya beberapa hari. Beberapa potong pakaian mereka yang kumal hanya dibungkus kantong plastik yang tidak seberapa beratnya dan kini bergayut di pundak Sartidjo. Nampak sorot mata yang tegar dan kokoh terpancar dari sepasang manusia yang selama hidupnya hanya didera penderitaan hidup.

 Meski sudah sering mereka menjumpai benturan hidup, namun mereka tidak kuasa menahan gejolak rindu dengan putri tunggalnya yang sudah sepuluh tahun meninggalkan mereka tanpa sebuah kabarpun, hanya beberapa surat yang pernah mereka dapatkan darinya pada tahun tahun pertama Hartini meninggalkan kampung halamanya, yang mengabarkan bahwa Hartini kini tinggal  di Jakarta, bekerja sebagai buruh konveksi milik perorangan. Saat itu Hartini sempat meninggalkan alamat kepada  mereka berdua.

Genap sudah sepuluh tahun Hartini meninggalkan mereka berdua. Namun setelah beberapa hari mereka menjelajah Jakarta mencari alamat Hartini, mereka hanya mendapat jawaban dari beberapa tetangga Hartini, bahwa mereka  sama sekali tidak mengenal nama Hartini. Mereka berduapun terasa seperti tersambar petir di siang hari bolong dan saat itupun memutuskan untuk kembali ke kampung mereka di Semarang, meski uang saku mereka telah menipis. Namun bagi Mutmainah keadaan seperti itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menunda pertemuan dengan putri tunggalnya, hanya dengan bermodal sebuah foto dan beberapa surat Hartini, yang ditulis  beberapa tahun silam.

Akhirnya merekapun harus tinggal berpindah pindah di  rumah kardus, sambil menjelajah tiap sudut Kota Jakarta seperti hari ini. Di tengah gerimis pagi merekapun menyusuri jalan jalan Jakarta, yang agak lengang karena saat itu adalah Hari Minggu.

Mereka kini beristirahat di troktoar yang basah, sambil mengunyah sarapan pagi nasi kucing yang didapat dari pemberian cuma cuma pedagang nasi. Tingkah laku mereka ternyata berhasil menarik beberapa pasang mata ibu ibu yang sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Sorot mata mata kakek  dan nenek menyimpan seribu pertanyaan kala beberapa ibu ibu muda dan cantik yang menjinjing bawaan dalam plastik kresek  mendekati mereka dengan wajah yang ramah dan bersahabat.

“Bapak ibu !, kami membawakan makanan untuk kalian berdua, silakan bu !“

“Oh terimakasih..terimakasih, oh maaf nak, ini kampung mana ?” tanya Mutmainah kepada salah satu ibu yang cukup dekat.

“Ini Duren Tiga, bu. Ibu mau kemana ?” jawab salah satu ibu yang tampak paling tua usianya di banding tiga ibu lainnya yang bersamanya menyambangi sepasang pengemis tua itu.

“Aku tidak kemana mana, nak !.”

“Lho, ibu tersesat ?

“Tidak nak, aku mencari anaku. Ini fotonya !”

“Anak ibu cantik, lho. Terus di mana alamatnya ?“ tanya ibu lainnya.

“Tidak tahu, nak !”

“Aduuh, ibu gimana !. Jakarta luas lho, bu !. Gimana ibu mencarinya ?”

“Kami berdua tidak tahu nak. Kami sudah tiga bulan di Jakarta mencari Hartini. Kami terpaksa tinggal di rumah kardus atau tidur di mesjid dan terminal, kami keluar masuk kampung  kampung untuk mencari anak saya dan terpaksa kami berdua di Jakarta mengemis” sahut Sartidjo kepada kerumunan ibu ibu yang merapatinya.

Ibu ibu yang mendengar penuturan Sartidjo saling melempar pandang, barangkali saja dalam hati mereka semua timbul perasaan kagum, iba sekaligus penasaran. Padahal pertemuan antara anak dan ortu adalah hal yang biasa bagi ibu ibu yang memusari sepasang pengemis renta itu. Mereka mampu memandang wajah sang anak mereka, hampir tiap detik sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu,  mereka ibu ibu muda itu tidak pernah mengalami gejolak rindu yang membakar seluruh peredaran darahnya.

Tetapi bagi pasutri renta yang ada di tengah kerumunan mereka, sebuah rindu ternyata adalah sesuatu yang berharga, melebihi segalanya. Mereka rela meninggalkan sawah ladang, rumah dan harta mereka lainnya demi sebuah pertemuan dengan putri tunggalnya, meski harus dengan petualangan dari rumah kardus satu dengan lainnya, meski hanya tidur di troktoar dan kadang beberapa hari tak sesuap naspuni masuk ke perut mereka, tanpa mengenal masuk angin atau penyakit dalam yang biasa mendera pasutri renta lainnya. Betapa kokohnya hidup dan tekad mereka.

Maka ibu ibu dari berbagai kalangan profesi yang mendengar penuturan kata demi kata sang kakek nenek menjadi  diam,  terpaku dan  membisu menyaksikan sebuah episode hidup yang getir. Hanya beberapa saja dari ibu ibu tersebut, yang memiliki gagasan untuk mengulurkan tangan untuk menemukan buah hati sepasang kakek nenek itu.

“Bapak dan ibu, sementara masuk dulu ke kantor kami, ya!. Kita ingin menolong bapak ibu dan kita perlu bicara lebih dalam lagi dan leluasa, mari ikut kami, bapak !“

“Ibu ini siapa ?” tanya Kartidjo.

“Kami Ibu Ibu PKK desa ini. Kebetulan kami sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Kebetulan sekali pak, bu !, kami juga sedang memprogramkan peduli sosial. Itulah kantor kami di sebrang jalan, mari pak ikut kami”

Sepasang kakek nenek itu hanya mampu menganggukan kepala. Seduah desir harapan mulai timbul dalam sanubari ke dua manusia itu. Harapan untuk bisa bertemu dengan anaknya, harapan untuk tidak menghuni rumah kardus lagi dan bagi sang nenek, sebuah harapan untuk menimang cucunya di sepanjang jalan kampungna ***

Minggu, 25 November 2012

Terompet Tahun Baru

Awalnya hanya angin sepoi senja yang menyegarkan, meliuk dan menerpa jendela jendela rumah papan, yang seakan ingin berbagi ceria dengan angin senja itu untuk mengarungi alam. Namun hasrat itu diurungkan, lantaran angin senja tak lama kemudian menjinjing desiran udara yang bertambah ganas. Semua dedauan pohon dan perdu di halaman rumah kinipun terjaga dari tidur siangnya yang memagutkan panas. Daun daun yang mulai menghijau itu, kini meliuk bagaikan barongsay di perayaan imlek. Rumah papan itupun kini mulai bergetar, apalagi setelah desir angin mulai membawa butir butir hujan. Di sana sini mulai terlihat papan rumah yang basah diterpa butir air.
Beberapa berkas titik air hujan mulai usil menerobos sela sambungan papan yang mulai menganga di makan sang waktu.Mereka mulai membasahi bilik kumuh milik Senjoyo, yang sedang merajut angan di tengah  gerimis senja Bulan Desember tahun ini. Meski beberapa lampu kota disekelilingnya mulai menebar eksotis tahun baru, sekali sekali mulai terdengar terompet tahun baru yang dihembus anak anak yang tidak sabar menunggu datangnya malam tahun baru.
Namun bagi lelaki paro baya itu, eksotis tahun baru malah menyelipkan bagian hati yang teriris sembilu. Apalagi dinding biliknya yang sudah mulai lapuk terus saja mencibirkan dirinya.  Dahulu waktu Sabila istrinya belum ke Malaysia dua tahun lalu, papan papan biliknya selalu menghadiahi dirinya dengan senyuman mesra, semesra senyum Sabila yang membawanya dia mampu membumbung tinggi ke angkasa, untuk meraih       bulan di senja hari seperti ini. Terompet tahun barupun yang memekakan telinganya tanpa dia rasakan, bila  Messy  putri  bungsunya usil dengan terompetnya sepanjang hari. Sementara untuk putri sulungnya Sandi, dandanan yang gaul untuk menyambut tahun barupun telah berkali kali dia coba. Senjoyopun hanya bisa berdecak kagum dengan kecantikan putrinya yang mirip ibunya.
Senjoyopun lama menghitung hari, di tengah penantianya pada istrinya. Apalagi bila Messy berada di pangkuanya. Si kecil yang manis itu masih saja menanyakan mamanya, meski dia telah lupa dengan raut wajahnya, apalagi bila terdengar rentetan terompet tahun baru seperti senja ini, yang memecah armosfer di atas rumah papan itu. Messypun merengek minta agar papanya mengajak mamanya untuk memilihkan terompet kertas berwarna warni, lengkap dengan rumbai rumbainya. Meski di meja kayu berlapis kaca di ruang tamu, kini tergolek terompet kertas  leher angsa berwarna biru. Namun Messy tetap menepisnya, karena terompet itupun memberitahukan padanya bahwa terompet itu bukan pilihan mamanya.
“Tapi kemanakah kau, Sabila ?. Hanya secarik kertas , yang ditulis tergesa-tegesa oleh Sabila tergeletak di atas meja tamu dua tahun silam. Persis di tengah senja seperti sekarang.  Sabila hanya menuliskan beberapa kata pamitan tentang kepergianya ke Malaysia.  demi mengadu nasib, demi Messy dan Sandy, dan demi penghidupan yang lebih baik. Setelah Senjoyo sendiri yang menghancurkan bahtera yang rapuh, bahtera yang sebenarnya mampu menjadi kendaraannya untuk menjangkau pantai biru, beertaman kembang warna warni, dan sekarang dia harus menyaksikan dan merasakan sendiri sebuah  serpihan batera, kala menghantam karang yang kokoh di tengah ombak yang  ganas.
Sebuah sentuhan halus dari si kecil Messy, menyentaknya dan menenggelamkan lebih dalam pada rasa rindu pada istrinya, “ Pak, mana terompet yang dibelikan mama ?”.
Terompet tahun baru memang hanya terbuat dari kertas warna warni, namun terompet itu mampu menyodorkan masa masa bahagia kala Messy berumur delapan tahun, kala dia diajak mama dan papanya untuk melihat eksotis terompet tahun baru di penjaja terompet yang bertenda di pinggir jalan jalan kota menjelang tahun baru.  Terlihat kala itu Sabila dengan senyum lesung pipitnya, mampu mewarnai kertas terompet lebih dalam lagi. Sehingga warna terompet yang dijinjing Sabilapun, menjadi warna yang mampu menyelinapkan daya tarik bagi Messy.
Namun sekarang, terompet biru yang jaul lebih baik dan lebih menggelitik tak mampu lagi menghadirkan mamanya. Messypun bertambah kuat merangkul bapaknya, suatu isarat bahwa rasa rindu telah kuat untuk segera bertemu mamanya.
“Pak, apa benar mama nanti tahun baru pulang ?”
“Sabar, ya sayang, besok bapak akan mengirim surat mamamu untuk pulang dan membawakan oleh oleh terompet tahun baru”. Meski dengan sorot mata kosong, Senjoyo terpaksa menyuguhkan sepotong kalimat yang mampu menghentikan tangis menyayat  si kecil,
“Aku juga rindu dengan kak Sandy, pak !”
“Messy !, kak Sandy sebentar lagi juga pulang. Kemarin kan dia mengirim tas sekolah untukmu. Kamu senangkan ?”. Tenggorokan laki laki paro baya itu kini telah mengering, sorot matanya bertambah kosong, desah pilu berkali kali terdengar dari mulutnya. Mengapa dia harus terjepit di tengah rasa sepi yang menghantam semua sendi tulangnya. Belum lagi Senjoyo menerima kenyataan berlalunya Sabila, beberapa bulan kemudian Sandypun melakukan hal yang sama. Sandy menyimpan perasaan yang getir, marah dan dendam dengan dirinya, lantaran terlalu dalamnya dirinya jatuh ke lembah hitam, yang menimbulkan bara api pada dua wanita itu.
Kabar terakhir yang dia peroleh tentang Sandy didapatkan setahun yang lalu, kala sebuah bingkisan berisi tas sekolah untuk adik bungsunya Messy. Sandy kini telah menggayutkan cintanya dengan pria yang dia pastikan lebih baik dari dirinya, namun berkali kali dia membalas surat pada Sandy, selalu diterimanya pengembalian suratnya yang beralamat tidak jelas.
Kembali lagi suara terompet terdengar sayup sayup dari kejauhan, gerimis malam ini sudah mulai menyelip kembali ke mega mega hitam, namun sang rembulanpun masih kedinginan dan memilih untuk diam di angkasa berselimut awan hitam. Messypun mulai mencoba meniup terompet biru di depanya sebentar-sebentar. Satu satunya miliknya kini betul betul dia dekap, karena Messy adalah harapan terakhirnya, agar dirinya mampu mengenyam hidupnya dengan bumbu bumbu kasih saying, setelah sekian lama dia tepiskan bumbu itu, demi mengejar nafsu syahwat, ego dan kesenangan yang semu.
“Pak, aku tiup terompet ini, ya !. Biar mama mendengar dan mau pulang”
“Cobalah sayang !, tiuplah sesukamu!, mama pasti pulang! “
“Betul pak ?, Bapak janji ?”. Bola mata Messy menyapu seluruh tubuh bapaknya,  pertanda suatu harapan yang besar kini memenuhi hatinya yang tulus. Senjoyopun kini mendekap lebih erat si kecil mungil miliknya satu satunya, “Berdoalah Messy, agar mamamu pulang “
“Bapak !, mengapa mama pergi ?”
“Katanya kamu pengin beli sepeda ?, dan memperbaiki rumah ini. Mama tidak pergi sayang!, mama hanya kerja jauh, agar dapat uang banyak . berdoalah sayang, semoga mamamu pulang “
Seteguk embun pagi kini menyirami hati Messy, si kecil manja itupun kini asyik meniup terompet keras-keras. Senjoyopun hanya mampu memandang dengan sorot mata yang agak berseri. Kelucuan anak itu sementara mampu menepis bayang istrinya, yang tadinya hadir dengan taring dan kuku-kukunya yang tajam, yang siap membenah denyut jantungnya. Messypun kini telah kembali asyik bermain dengan terompet dan mencoba beberapa baju baru untuk tahun baru.
“Bapak ?”
“Ya, sayang ?”
“Nanti, malam tahun baru Bapak mau ke mana ?”
“Kan melihat pesta kembang api di alun alun, hayooo lupa, ya ?”
“Aku mulai pengin malam tahun baru segera tiba. Messy akan meniup terompet bapak sepuas puasnya “
“Ya, sayang. Makanya sekarang pergi bobo, ya !”.
Messy hanya mengalungkan ke dua tanganya ke leher bapaknya dengan manja untuk mendapatkan gendongan mesra bapaknya. Kini Messypun terlelap tidur di tengah dingin udara malam yang kembali dibasahi gerimis.
Sementara mereka berdua  merenda mimpi, sepasang kaki melangkah dengan perlahan menuju beranda rumah tua itu. Kedua mata wanita itu kini dibasahi air mata, terlihat jelas dari baju  dan pernik pernik yang menghiasi dandananya,  dia adalah wanita yang kaya. Namun dari guratan wajahnya yang ditutupi temaram lampu beranda, tampaklah bahwa wanita itu telah merindukan sesuatu. Namun beberapa lama kemudian, wanita itupun bergegas meninggalkan rumah tua milik Senjoyo menuju ke jalan raya dan terdengarlah deru mobil mewah yang bertambah jauh ***

Rabu, 21 November 2012

Debu Debu MERAPI



Bau asap belerang yang menusuk hidung menyebar tiap penjuru desa dan setiap jengkal ladang sayur di Desa Gedangan, Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan menyisakan kepiluan yang mendalam diantara semua yang berwajah tertunduk lesu. Namun langit biru masih patuh dan lembut menaungi kehidupan mereka yang kali ini harus berpisah dengan kampung halamanya.

Mereka yang meninggalkan rumah, ternak dan sawah ladang,  harus memburu waktu, agar lembut awan awan yang mampu menerkam mereka tidak membakar dada mereka yang telah sarat dengan kehidupan yang tidak ramah. Mereka harus sadar  bahwa mereka tidak lain hanyalah manusia yang hanya memiliki tulang dan daging, yang selalu menggapai cita dan harap di lereng Gunung Merapi yang sedang tak ramah. Mereka bahkan sudah tak mengenal Merapi lagi yang kali ini berdandan menakutkan. Padahal saban hari sebelumnya,  mereka telah terbiasa akrab dengan Merapi yang tersenyum malu, berdandan bedak pupur awan dan berkulum senyum menawan,

Namun kini mereka harus berlarian sepanjang jalan desa yang mulai tertutup debu debu liar yang dimuntahkan Merapi yang sedang dilanda kegalauan hati. Mereka segera menuju ke lokasi yang aman di daerah Boyolali, Magelang dan Jogjakarta. Teriakan nyaring terdengar di mana mana,  membahana ke setiap liuk jalan desa, lantaran kepiluan mereka mencari saudara saudara yang tidak berada di sekitar mereka. Entah hidup yang bagaimana lagi yang harus mereka lakukan ataukah salah dan dosa apa yang mereka miliki, sehingga harus meninggalkan sawah ladang yang selama ini membawa berkah bagi kehidupan mereka. Demikian rasa tidak percaya diri terus saja bergayut di hati mereka. Bayang bayang pilu kini kembali menghantui mereka kala 16 tahun lalu, mereka harus menyaksikan 40 saudara mereka warga Dusun  Turgo,  Purwobinangun,  Pakem telah kembali ke pangkuan Illahi, karena diterjang awan panas Merapi.

Jalan jalan desa yang sempit dan beralas debu debu putih yang liar berlarian di terjang kaki kaki yang melegam, kini terasa pengap dipenuhi dengus nafas dari manusia manusia yang panik, yang ingin segera meninggalkan kampung halaman yang meronakan bara. Sebagian dari mereka harus tertunduk tak berdaya kala awan panas itu mencekik leher dan membakar dadanya. Sedangkan sebagian lainnya harus terus mendayung waktu bergegas menuju barak pengungsian.

Wajah wajah menakutkan tak berbingkai senyum ramah, tidak seperti biasanya keramahan membahana di antara mereka kala bergelut dengan tanah ladang dan lenguh lenguh sapi piaraan, kini hadir di antara mereka.  Apalagi wajah Suto yang bergurat kepedihan, lantaran istri dan ketiga anaknya belum juga tampak disekitarnya. Padahal sebelumnya dia harus jatuh bangun memapah istrinya untuk berlarian sepanjang jalan desa dengan menggendong si kecil, berlarian menuju truk pengungsi yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya uang terpencil.

Diapun segera menggayutksn istri dan ketiga anaknya bergabung dengan  truk yang telah sarat dengan pengungsi lainnya. Hingga diapun harus mengalah menunggu kedatangan
2
truk lainnya. Suto hanya mampu berdoa, meminta kepada Sang Pencipta Gunung Merapi agar istri dan ketiga anaknya bisa kembali disampingnya dan dia diberi kekuatan hati agar mampu tabah dalam menghadapi kemarahan raksaksa biru yang kini menghanguskan semua yang dia milki.

Gemuruh letusan Raksaksa Biru Merapi mulai terdengar Suto dan pengungsi lainnya, rintik hujan kerikil dan pasir mulai berjatuhan di sekitar mereka. Suto berlarian kecil meninggalkan desa Gedangan bersama dengan beberapa pengungsi lainnya, yang datang terlambat. Jauh di belakang mereka awan panas mulai menngulung apa yang berada di depanya. Meski peluh bercampur debu membasahi semua tubuh Suto namun dia tetap menerjang debu debu yang menghalangi pandanganya.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, terlihatlah lampu lampu truk pengungsi dari relawan yang berani menantang maut untuk menyematkan sisa pengungsi yang tertinggal termasuk Suto dan teman temanya, sementara itu beberapa pengungsi yang semula berada di belakang Suto kini tidak tampak  lagi, lantaran diterjang dengus nafas Merapi yang kelewat marah. Meski Suto berhasil menyelamatkan diri dalam bencana itu, namun bilah hatinya masih melekat kuat kepada istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Rasa tidak percaya kembali menggeluti hatinya, betapa sebuah kehidupan yang diusungnya harus disertai dengan perjuangan yang berat demi sebuah kedamaian bersama keluarganya. Namun kembali lagi diapun harus berpasrah kepada Sang Pencipta yang memberikanya hidup dan kebahagiaan bersama istri dan ketiga anaknya.

***
Telah tiga harinya lamanya Suto hilir mudik ke tiap barak pengungsian guna mencari sisa terakhir yang dia miliki, yaitu istri dan ketiga anaknya. Dari barak ke barak , Polres Boyolali, instansi pemerintah Kabupaten Boyolali,  RSU Boyolali,  RSIA Umi Barokah,
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.

“Sudahlah Pak Suto, semua pengungsi disinipun mengalami kehilangan, bukan hanya bapak. Lebih baik bapak makan roti ini, sekedar menambah kekuatan tubuh bapak” . Seorang relawan yang bernama Hendrawan telah terketuk hatinya menyaksikan perjuangan Suto dan keluarganya untuk menggapai kehidupan ini.

“Terimakasih, Mas !, aku tidak akan pernah berhenti sebelum bertemu mereka. Kalau toh mereka menjadi korban aku harus melihat mayat mereka”

“Pak Suto, tenangkan dulu hati bapak. Akan aku antar mencari mereka sampai mereka ketemu. Kebetulan aku banyak kenal teman teman dari media yang juga menjadi relawan. Makanlah dulu pak !”

3
“Ini semua salahku, seharusnya aku langsung mengungsi waktu Pak RT menyuruhku segera mengungsi. Tapi waktu itu aku tidak percaya begitu saja kalau Merapi bakalan meletus separah ini !”

“Kalau toh Pak Suto waktu itu tahu bakalan seperti ini tentu jauh jauh hari sudah mengungsi. Tapi siapa yang tahu kalau bakalan begini. Ini semata mata hanya Kehendak Tuhan Yang Maha Tahu. Baiklah Pak Suto, kita lanjutkan lagi pencarian ini. Sekarang kita coba menyisir pos pos relawan yang ada di Magelang, kita coba kontak dengan teman temanku”

Hujan debu kini mulai menyerang daerah Boyolali dan Magelang, jalan jalan raya dan atap rumah serta dedaunan hijau kini berwarna putih. Mereka berdua dengan sepeda motor hampir selesai menyisir pos pos relawan untuk korban bencana alam Merapi yang tersebar di Magelang, guna meminta informasi termasuk dokter dokter relawan yang bertugas di RSU Tidar RSU, RS Dr Soedjono, RSU Lestari Raharja dan RS Harapan Magelang. Kembali Suto mendapatkan hasil pencarian yang menambah pilu hatinya.

Hingga akhirnya mereka kini hanya bersandar di ruang tunggu RS Tidar melepas lelah ditengah hiruk pikuk upaya pertolongan relawan pada korban bencana alam yang menyayat hati itu. Pandangan mata Suto tercampak pada daftar korban yang meninggal ataupun luka yang ada di papan informasi RS Tidar. Hatinya menguat kembali kini, setelah dia menemukan informasi bahwa terdapat beberapa korban yang dilarikan ke RS Sardjito Jogja lantaran daya tampung rumah sakit di Boyolali   terbatas.

“Mas, kembali aku minta tolong. Antarkan aku ke RS Sardjito, barangkali istri dan anaku di sana !”

“Baik Pak Suto, sekarang juga kita berangkat. Mumpung hujan debu masih tipis”

“Aku harus berkata apa lagi, Mas ?. Sungguh kamu manusia yang mulia, Mas Hendrawan”

“Ah..Pak Suto !. Namanya saja relawan, ya tugasnya harus rela menolong warga yang tertimpa musibah”

“Sungguh, aku bersyukur kepada Tuhan Yang Kuasa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Mas Hendrawan”

“Sama juga aku, Pak Suto. Ternyata masih ada manusia yag berhati tabah seperti Pak Suto yang diterpa bencana seperti ini”

“Habis mau gimana lagi ?”

Hendrawan langsung minta informasi kepada humas posko bantuan bencana alam yang ada di RS Dr Sardjito Jogja dan mereka memang menerima pasien dari Turgo, seorang ibu dan ketiga anaknya yang mengalami pinsan saat evakuasi, lantaran beberapa lama tak sadarkan diri maka dari Boyolali pasien itu dibawa ke Jogja. Namun mereka belum mengetahui siapa nama ibu yang pinsan tersebut. Suto dan Hendrawan bergegas menuju bangsal ekonomi tempat ibu dan ketiga anaknya dirawat.

Kebahagian Suto kembali menyelinap dalam lubuk hatinya melihat istrinya sudah berangsur pulih, meski tubuhnya masih lemas. Sunarti istrinya yang kini terbaring lunglai dihadapanya menjelaskan bahwa dia kala itu tidak tahan menghirup gas belerang yang sangat kuat hingga dia dan Nova putri bungsunya menjadi tak sadarkan diri. Sedangkan kedua kakaknya telah dititipkan pada Pak Sartono tetangganya yang kini masih berada di barak Boyolali dalam keadaan sehat.

Diciumnya pipi istrinya dan si bungsu dengan penuh haru, Sutopun kini hanya mampu memeluk Hendrawan sebagai ungkapan terimakasih yang tak terhingga.