Lalu lalang kunang
malam, bagaikan lampu perahu nelayan di tengah laut buta, sesekali menyambangi
halaman rumahnya, yang senyap diterkam malam binal. Seorang laki laki paro baya
merebahkan punggungnya di kursi bambu di bawah pohon jambu, yang kurus kering
tumbuh di halaman rumahnya. Wajahnya dihadapkan pada jalan tanah kampung yang
mengering dan membisu, setelah seharian berjuang melawan terik matahari.
Sengaja dia berkerumun bintang dan berselimut kain hitam malam karena
bintanglah yang paling tahu tentang hatinya yang bertepi kegalauan dan bintang
pula yang paling dia anggap ramah, lantaran tak satu kalipun bintang bintang
itu pernah mengotori hatinya. “Bintang bintang itu! biarlah malam ini menjadi
miliku”, demikian bisik hatinya.
Apa hanya milik
setangkai anyelir saja yang bisa berceloteh tentang bintang, baik bintang
kejora atau bintang berparade gubug penceng yang berbaur sinarnya memenuhi sisi
sisi langit. Atau hanya bingkai hati seorang laki laki yang sedang berselingkuh
dengan bintang yang kini tidak mampu menautkan hati pada apa saja, baik dikala
merontanya senja atau dikala angkuhnya sang bulan purnama yang menjajakan
sinarnya. Tapi itulah sebuah guratan eksotis hati, bila ingin terbang bersama
sejuta sayap malaikat untuk mengarungi malam dari sisi satu ke sisi lain.
Bukankah sesekali bintang
menjenguk laki laki itu yang layaknya Sang Pujangga, lantas bertegur sapa sehingga telah usai sudah
syair-syair yang akan digenapkan pada puisi tentang hidupnya, yang berfatamorgana hanya pada syair yang
nakal dan nisbi. Mengapa pula dia hanya mampu menautkan benang merah pada
kenisbian, padahal semua dunia dan isinya mampu dilukiskan dengan kata
kata indah, seindah liarnya butir air di Niagara atau se bebas butir debu di
Sahara.
Namun untuk menguntai
sebuah malam dengan rajutan bintang, diapun harus membusungkan ruang dadanya
kembali, agar berisi udara kejujuran ketimbang hanya diisi udara kemunafikan.
Sang Pujangga itu yang hanya ditemani pohon jambu di belakang pagar bambu rumah
mungilnya, kini mulai mengerlingkan matanya pada bintang, pada realita kehidupan, pada debu debu jalanan
depan rumahnya yang mulai menyesakan nafasnya.
“Pergilah tidur, wahai manusia. Hari sudah larut, sementara sang kehidupan
menungumu esok pagi “ seru sebuah noktah hati entah di sisi sebelah
mana. Sang Pujanggapun mulai menampakan sorot matanya yang liar. Di jelajahi
semua sudut hatinya, barangkali masih ada rumpun bambu yang rindang agar
hatinya tidak gerah lagi. Agar dia bia menyurutkan lebih dalam lagi dari sebuah
realita. Kala dia harus jatuh bangun menggegam sebuah realita itu sendiri,
kala dia mencoba untuk menepiskan kemisteriusan
benaknya.
“Hai, kau…bukankah aku lagi larut dalam canda
sang bintang, yang menggumuli aku sepanjang malam ini”.
Suara itupun surut ke
belakang menghilang, menyelinap ke tengah kebon singkong yang ada di samping
rumah tua itu. Kini dia kembali sunyi dalam samudra buaian bintang bintang
malam yang tersenyum genit. Anganya terus berseloroh hingga terdengarlah batuk
batuk panjang istrinya dari dalam rumah tua itu. Seketika itu juga cumbu rayu
lelaki itu dengan sang bintangpun menjadi surut dan istrinya dengan dibalut
baju hangatpun kini telah berada di sisinya.
“Kalau kau semalaman
disini dengan lamunanmu tak akan menyelesaikan masalah kita,Pak “
“Justru dengan ditemani
sang bintang malam inilah aku bisa menemukan inspirasi dan ide ide untuk
mendapatkan jalan keluar untuk hidup kita, yang semakin dipingit kesengsaraan
?’
2
“Ah kau berlagak seperti Pujangga saja”
“Apa itu Pujangga ?”
“Sama saja degan
sastrawan atau penyair “
“Aku selalu jauh dari
makna yang tersirat dalam untaian kata, hanya mampu kusimpan semua warna warni
hidup dalam sudut hatiku”
“Heee..katanya kau bisa
mendapat ide dari sang bintang yang bertebaran di langit, suamiku?”
“Ya pasti saja, setiap
manusia yang sedang bimbang dengan kehidupan. Biasanya sering menyendiri di
tengah malam, untuk menyaksikan parade bintag dan untuk mendapatkan ide bagaimana besok menyelesaikan
masalah “
“Lantas sudah kau
sunting sebuah gagasan dari bintang
bintang itu ?”. Sang istri tang menjadi teman sang pujangga itu melontarkan
kedua biji matanya kepada laki laki yang lusuh itu.
“Kita sudah tak punya
apa apa lagi, hanya padi sisa panen kemarin. Sementara hujan belum membasahi
sawah kita, sudah tiga bulan ini tanam kita terlambat. Aku belum berani menanam
psdi. Padahal hanya padi yang menguning, adalah harapan kita satu-satunya”
“Tapi sabar saja, Pak.
Biasanya bila habis musim kemarau yang menyengat dan panjang. Akan datang musih yang basah . Tunggu
beberapa minggu lagi”
“Besok aku tak datang
ke sekolahnya anak-anak, untuk minta
tempo. Bulan bulan ini aku belum bisa melunasi SPP mereka”
“Padahal sebentar lagi
anak anak tes semester, Pak. Aku harap entah dua atua tiga bulan SPP mereka
dibayar dulu”
“Habis gimana lagi ?,
apa anak anak tidak bisa sekolah kalau orang tuanya nggak punya duit. Apa hanya
orang kota yang kaya saja, yang bisa memintarkan anak anaknya. Aku harap di negara
kita lahir seoang pemimpin yang membebaskan SPP sekolah. Termasuk buku buku
yang harganya selangit. Aku heran katanya kita sudah merdeka, tapi nyatanya
untuk menyekolahkan anaknya saja sudah kelimpungan”
“Sudahlah Pak !, kita
hanya orang kecil, berteriak sekeras mungkin juga tidak ada yang mau
mendengarkan. Bahkan bintang bintangmu di langit hanya diam membisu. Kita
bersyukur masih punya beberapa kambing, meski sudah di pesan tetangga kita
untuk korban. Kita jual saja untuk SPP anak anak kita dan sisanya untuk menyambung
hidup”
“Tadinya aku berpikir
seperti itu, Bu !. Tapi aku nggak enak sama Pak Diran yang sudah memesan
kambing kita. Baiklah Bu !, sehabis aku ke sekolah anak anak besok, aku langsung ke pasar kambing “
Kedua insan yang hidup
sengsara kinipun merasa bahagia, lantaran esok masih ada harapan untuk
menyambung nafasnya kembali. Sang bintang kinipun mulai meredup lantaran sang
fajar mulai menjemput untuk kembali ke kaki langit. Hanya suara dengkuran panjang
sang pujangga yang menghiasi wajah sang fajar. Tak lama sang surya kinipun
menyodorkan kehidupan lagi untuk ditapaki manusia manusia yang masih memiliki
harapan.
***
Supardi berkalang
kegalaun hati kala menunggu kepala sekolah Tono dan Tini. Mukjizat apa yang
dapat menolong dirinya untuk mendapatkan kemurahan dari kepala sekolah ke dua
anaknya itu. Pak Dirman sang kepala sekolah dengan berhias senyum di wajahnya
kini duduk di depan Supardi yang tidak mampu berkata sepatah katapun.
2
“Oh, jadi ini Pak Supardi bapaknya Tono dan
Tini ?”
“Betul, Pak, kedatangan kami ke sini hanya
untuk meminta keringanan SPP Tono dan Tini. Rencana kami beberapa hari nanti
akan menjual ke tiga kambing mereka untuk SPP, jadi saya minta tempo, Pak ?”. Mendengar
keluhan Supardi, Pak Dirman melepas tawa panjang yang memenuhi semua sudut
ruang guru.
“Bapak tidak usah menjual kambing mereka. Jadi
perlu saya sampaikan kepada Bapak, tanpa memberitahu kedua putra Bapak
sebelumnya. Bahwa kedua putra Bapak memiliki prestasi yang bagus. Keduanya
memiliki nilai yang tertinggi di kelasnya. Bahkan sikap mereka berdua sangat
hormat kepada semua guru, sehingga semua gurupun sayang merela berdua “
“Terus ini
bagaimana, Pak ? ”. Sunardi tidak percaya dengan keterangan Pak Dirman itu.
“Mereka mendapat bea siswa dari negara,
sehingga untuk tahun ini keduanya bebas SPP. Makanya kambing mereka jangan
Bapak jual dahulu ?’. Suara Pak Dirman membahana ke setiap sudut ruangan,
sehingga mengundang perhatian semua guru.
“Oh, terimakasih
sekali, Pak!. Aku tidak percaya, mereka berdua hanya anak singkong, yang mampu
bersekolah hanya dari hasil panen padi yang tidak seberapa besarnya”
“Apakah anak
singkong tidak boleh berpretasi ?. Semua negarawan di tanah air kita juga
dulunya anak singkong, mengapa kedua
putra bapak tidak boleh berprestasi !”
“Ah, bapak
terlalu berlebihan”
“Bukan hanya itu
saja, Pak!. Nanti pas upacara Hari Sumpah Pemuda mereka berdua akan diberi
tabungan prestasi dari “Yayasan Prestasi Anak Jakarta “dan cukup bagi mereka untuk biaya
sekolah selama satu tahun “
Hati Sunardi
sudah tidak mampu lagi mendengar kabar menggembirakan dari Pak Dirman. Ingin
rasanya dia segera sampai di rumah, agar wajah istrinya berseri dan rona merah
di pipinya menjadi tergambar, hingga mampu membuat hati sang pujangga anak
singkong itu kelimpungan.
***
Rumah Tono dan
Tini masih kelihatan lengang, sementara matahari hampir mencapai atap langit.
Daun daun singkong di samping rumahnya sudah mulai kelihatan menunduk dipagut
teriknya mentari. Erniyati masih kelihatan sibuk memunguti bunga papaya untuk
lauk makan siang mereka. Melihat suaminya datang dengan mengusung senyum yang
lebar di wajahnya , Ernipun menjadi penasaran. Bahkan kini diapun tidak percaya
dengan kabar gembira yang disampaikan Sunardi. Hingga kelihatan wajah Sunardi
yang bersungut sungut untuk meyakinkan istrinya. Erniyati kini hanya mampu
duduk di serambi rumah mereka yang berlantai semen. Dia mendenguskan nafas
panjang, tanda bahagia dan bersyukur telah mendapat pertolongan dari Yang
Kuasa.
“Pak, aku tadi mendengarkan laporan BMG di tv,
mulai minggu minggu ini kita memasuki
musim hujan. Kita sebaiknya bersiap menanam padi. Biarlah biaya sekolah anak
anak diambilkan dari uang prestasi mereka. Hasil panen padi biarlah untuk biaya
Tono ke perguruan tinggi”
Sunardi hanya menganggukan kepala. Kini beranda rumah
mereka menjadi saksi bahwa kehidupan milik petani kecilpun akan banyak berarti
bila mereka memang merasa hidup, apapun keadaannya. Hanya Tuhan Yang Kuasa saja
yang tahu kehidupan semua makhluknya di muka bumi ini.(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar