Jumat, 02 November 2012

Beranda Hotel Cassablanca


Sejak  pemerintahan Belanda terusir dari Bumi Nusantara dan hengkang dengan wajah lesu, lantaran  kalah perang dengan Tentara Dai Nipon, Hotel Casablangka di pinggiran Kota Semarang sudah tidak lagi berdandan eksotis lagi, tapi lebih menyodorkan ornament-ornamen gaya Eropa yang ditelikung kepedihan. Gelas gelas piala Baverage Cock Tail Party kini merenungi nasibnya, terbengkelai di meja portir pub hotel itu berserakan bercampur debu.
Wanita wanita  “Inlander” penghibur para serdadu KNIL pun telah mengungsi entah kemana. Berandanyapun kini berdandan kekumuhan dan tiada lagi bersenyum ceria, berbeda dahulu  kala para perwira NICA dan KNIL mengumbar nafsu durjana dengan nafas berbau brandy, whisky ataupun vodka.
Angin gunung Ungaran kini menggantikan kecerian hotel itu dengan membawa kedinginan. Sementara itu suara burung kenari dan jalak kini menggantikan Gramaphone yang menyuguhkan  Mozart yang dahulu banyak digandrungi perwira NICA. Mereka dengan setianya masih menyanyikan lagu ceria tiap saat dibuai angin Gunung Ungaran
Hesti sang wanita penghibur dan primadona Hotel Casablangka kinipun merajuk hatinya sendiri untuk segera pulang ke desanya di kaki Gunung Merapi. Meninggalkan lembah hitam yang melilitinya, meski bedak dan gincu yang ia jadikan kawan setia guna menyodorkan cinta warna-warni, bak kembang kertas kepada anak buah Kapten Van Mook, bregundal NICA, yang saben hari menghujamkan nafsu gairah syetan kepada wanita Inlander tak berdaya. Hesti hanya bisa merenungi ketika gelas brendy sudah tiada lagi disisinya, ketika dia bermandikan Gulden hanya untuk sepenggal hidupnya,yang terkikis tajamnya badai kehidupan.
Namun Hesti masih menempatkan Kapten Burhanudin, pejuang TKR di sudut hatinya, yang kini entah terbawa angin revolusi, di belahan bumi mana atau hanya mengintip di balik awan hitam yang menaungi hidup Hesti. Tatap mata kapten pujaanya itu telah membawkanya sebuah cawan berisi aroma cinta dan berhasil meneduhkan hatinya. Kala hidupnya memang menjadi lekang dipusari ketidak adilan jaman. Apalah artinya lengan seorang wanita desa yang tiada berdaya melayani nafsu durjana anjing anjing itu, apalagi di bawah todongan revolver, ketika NICA menyerbu desanya. Dengan biadab pula mereka lantas menculikgadis-gadis desa dan mendekamnya di Hotel Casablangka.
Maka jeritan hati Hestipun tiada pernah padam lantaran  perahu cinta Hesti tiada pernah tertambatkan, meski Kapten Burhan pernah memberikan dia juga sekeranjang janji, untuk dibenahi bersama ketika malam penganten, entah kapan.
Roda jaman terus berputar, namun tetap saja tajam geriginya masih kokoh menguliti anak bangsa yang bergelora menghembuskan api revolusi. Nagasaki dan Hiroshima menjadi saksi korban ketajaman roda jaman, ketika semua daging telah terpisahkan dari ,kulitnya. Mulusnya kulit perawan perawan kedua kota itu, telah menghangus menjelma layaknya iblis yang menjerit menakutkan.Namun tiada yang menghiraukan, lantaran  pejaka pejaka Dai Nipon-pun ikut merasakan pedihnya seribu sembilu yang memenuhi tubuhnya. Angin kebiadaban dari sekutu benar benar kejam, tiada lagi punya hati untuk memeluk kasih berujud sayap malaikat penebar kasih sayang.

Desember 1945, menjadi bulan yang sangat mengiris hati Hesti. Karena pada bulan itu hari-hari kehidupannya di bawah Gunung Merapi, hanya berhias hujan dan angin dingin Gunung Merapi. Kini diapun hanya mampu merajut hari yang sepi dan meletihkan.  Namun dari mulut ke mulut Hesti mendengar kabar, bahwa Ambarawa telah meradang bara dan kepulan mesiu, tatkala tentara NICA di bawah pimpinan Brigadir Bethell meregang hidup dan mati berhadapan dengan TKR yang dipimpin langsung oleh Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman, yang berintikan kekuatan Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.  Palagan Ambarawa mampu mengokohkan  sebagai tempat untuk mencurahkan peluh dan tetesan darah dan kini kembali membisu setelah di pertengahan Desemnber 1945 Tikus Tikus NICA mampu kembali menghirup udara bebas  setelah hampir satu bulan terkepung “supit urangnya” Pak Dirman. Namun dasar tikus,  sematan “kalah perang “ belum juga menyurutkan hasrat mereka.
Hati Hesti kembali sejuk, sebuah harapan kini hadir di sudut hatinya lantaran dia tahu persis “kapten pujaan hatinya” pastilah ikut menyalakan bedilnya demi kehormatan dan jiwa besarnya. Lenganya yang kokh dan tegap pastilah mampu melentingkan mitralyuir, water canon 12, 7, granat atau bahkan tankpun mampu dia bungkam.
Oh..Casablangka kau pasti akan berdandan ceria dengan bulan purnama di  atapmu, bunga anyelir, dahlia serta mawar merah membara akan mewangi di berandamu. Tunggulah Casablangka, aku akan bermandikan cinta mutu manikam dengan kapten pujaanku di berandamu, aku akan membawanya berjalan ke setiap penjuru ruanganmu bersama dia”. Berkali kali Hesti menyekun hatinya, agar bilah cintanya yang mongering kini tumbuh bersemi lagi.
***
Deru Jeep Willys buatan Amerika kini lalu lalang di halaman Cassablangka, namun angin Gunung Ungaran masih saja terasa liar dan terus menyelinapkan kedinginan di setiap tulang laskar TKR  yang baru saja merayakan kemenangan. Mereka kini sementara bermarkas di Cassablangka karena tergiur dengan eksotisnya, bak gadis desa yang lagi mandi di sungai desa dengan gemercik air yang dingin.
Kapten Burhan yang tergabung dengan Batalyon Soeharto kini melemaskan semua badanya dan memilih bersandar pada kursi berkulit macan di ruang lobby Cassablangka, yang hanya menyisakan kebisuan. Warna dindingnya telah kusam dan berdebu, mirip dinding rumah “ Palace of Vampir Princess”, Namun Kapten Burhan tiada pernah menjerambabkan anganya pada kebisuan hotel tak berpenghuni itu.
“Kapten, seorang wanita mata-mata berhasil ditangkap anak-anak. Tapi dia mengenalmu”Laporan komandan jaga Sersan Hamid tiba tiba saja menggetarkan kebisuan ruang lobby hotel itu.
“Suruh dia menghadapku”
“Siap, Kapten !”. Kapten Burhan menjadi terpanggang hatinya, lantaran sebuah rasa penasaran menyeruak dalam hatinya.
Kini tiba tiba saja warna pelangi mengungkungi langit Hotel Casablangka, yang telah terbelah dan menaburkan kembang warna warni, untuk hiasan  sebuah hati yang sedang memaknai cinta. Kapten Burhan tiba tiba saja menjelma menjadi “malaikat dengan sejuta sayap”, untuk menerbangkan hatinya jauh dari muka bumi.Sebuah fatamorgana hati yang tiada bisa terbayangkan oleh “kapten pujaan” ini.

3
“Hesti..!!!”
“Mas Burhan !!!”.
“Tapi,  apa benar engkau Hesti. Mengapa engkau ada di sini”
“Ceritanya panjang, Mas !”
“Tapi aku perlu jawaban darimu, mengapa kamu tahu aku ada di sini, agar mereka tidak menuduhmu mata-mata “
“Aku dengar dari beberapa anggota TKR Ambarawa, bahwa Batalyon Soeharto sementara bermarkas di hotel ini. Mereka juga menyebutmu turut dalam batalyon ini” Burhan kini tiada bedanya dengan  setiap ruangan Casablangka, yang memilih terpagut sepi. Burhan diam seribu bahasa, hanya pandangan mata liar beruntai “Tembang Asmaranda” menyelusuri setiap jengkal tubuh Hesti yang telah lima tahun berpisah.
Burhan mengajak Hesti untuk menebarkan sejuta rasa cinta di Beranda Hotel Casablangka yang berlatar belakang lukisan alam Gunung Ungaran. Namun demikian seberkas hasrat hati Hesti kini mulai tumbuh untuk menyodorkan kepada “kapten pujaannya” tentang dirinya selama menjadi wanita penghibur tentara NICA. Diapun kini membeberkan bait demi bait episode yang menggayuti kehidupan Hesti dengan rona warna yang hitam pekat.
Kapten Burhan menjadi pucat wajahnya, tiada pernah dia menemui sebuah keberanian sebesar ini untuk menerima Hesti kembali. Meski Thomson yang dipegang tangan kokohnya berhasil membabat habis semua NICA yang pernah menghadangnya. Namun hatinya kini, tiada selebar daun pohon durian yang tumbuh di depan beranda itu. Kepingan hatinya melebihi hancurnya tubuh Kolonel Van de Hudson yang tertimpa mitralyur TKR., Kebengisan apa lagi yang bakal aku hadapi di jaman yang tidak menentu ini. Bisik hatinya kini mendekam kuat di tengah hatinya.
“Itulah diriku,,Mas Burhan. Akupun tidak pernah akan memaksamu untuk menerimaku lagi. Biarlah aku pergi, apapun yang aku alami dahulu dan nantinya adalah memang harus aku hadapi. Bukankah kita hidup di jaman penjajahan, apapun bisa menimpa siapa saja”
“Akupun tahu Hes !, juga akupun tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang.Seorang pejuang apapun memilih mati ketimbang bekerjasama dengan anjing NICA. Maafkan aku Hes,aku sekarang tidak memiliki hati lagi untuk menghadapi ini semua”
“Ah jangan terlalu dipaksakan Mas, barangkali aku adalah wanita yang telah memiliki sebilah hati yang telah kokoh menerima penderitaan.Karena sejak kecil aku hidup dengan berbagai kesusahan”
“Hesti, aku tidak pernah menolakmu. Tapi maafkan aku, bila kali ini aku betul betul merasa berat untuk memberi jawaban. Berdoalah saja semoga kita bisa mengusir anjing NICA dan memerdekakan bangsa ini. Sementara pulanglah dulu kamu ke Selo, tunggulah aku pulang”
“Jadi itu keputusanmu,Mas Burhan ?.
Aku belum mampu memberimu jawaban, Hes. Aku minta waktu .Apalagi komadan brigif TKR menginstruksikan batalyon untuk kembali ke Solo, untuk menunggu tugas berikutnya. Toh kita alan berpisah lagi. Aku hanya mampu berjanji untuk menemui kamu setelah kembali bertugas”
Hestipun menghiasi wjahnya dengan senyuman tipisnya menambah kecantikan wajahnya. Burhan tidak munafik mengakui kecantikan Primadona Hotel Casablangka ini. Beranda hotel itupun menjadi saksi akan keteduhan hati Burhan kala berada di samping wanita tak berdaya ini.Ingin dia berlari sekuat tenaga dan membawanya mengarungi samudra guna menambatkan cintanya lebih erat lagi. Namun kembali hati itu menjadi tiada seberapa kokohnya menghadapi kenyataan di hadapannya. Waktulah yang akan memberinya sebuah kekuatan.
Kini perjuangan menggapai kemerdekaan telah membawa korban lagi, berujud ebuah perpisahan antara dua insan yang btermakan pusaran angin perjuangan kemerdekaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar