Jumat, 02 November 2012

J e l a g a

Langit hitam tak ubahnya selaput jelaga yang menghitami bagian bawah  dan pinggang sebuah tempayan,  gulungan-gulungan awan hitam mengerikan mengkaitkan kaki langit di empat penjuru cakrawala. Angin pergantian musim sangat menggigit kulit, meski selama ini belum pernah ada gerimis barang setetespun yang jatuh ke bumi. Ki Gede Haryo Pragolo, mendesirkan dalam hatinya sebuah kekhawatiran tentang badai disertai hujan yang bisa saja turun menerjang perdikan yang dia pimpin. Padahal telah setengah tahun ini sawah sawah kawula perdikannya terbengkelai dalam kerontang. Mereka membiarkan jerami-jerami yang menguning tergelar seluas sawah sawah mereka.
Dari kejauhan terlihatlah debu mengepul dihempas beberapa ekor kuda yang menerobos udara siang Bumi Perdikan Patikraja yang meranggas.  Ki Gede Haryo Pragolo segera beranjak dari kursi bambunya, yang sedari pagi menghisap tubuhnya. Beberapa prajurit perdikan berhamburan keluar untuk menyambut tamu petinggi Kraton Kabupaten Banyumas  , yang merupakan duta dari Sinuwun Bupati Yudonegoro petinggi nomor satu di Kabupaten Banyumas.
Mereka semua masih dikungkung langit berjelaga, langit yang mengabarkan bakal turunya hujan apabila awan-awan hitam yang mengusung butir-butir air tidak tersapu angin pancaroba yang mulai mengganas. Maka di seputar Kraton Ki Gede Haryo Pragolo semua dedaunan hijau menyodorkan sebuah tarian ceria dengan gendang alam yang bertalu, menggesekan tubuh daun satu dengan lainnya. Bumi Pedikan Patikraja menjadi bertambah gelisah. Hanya doa yang dapat dihaturkan kepada Sang Penguasa Alam tetap meindungi mereka semua penghuni Bumi Perdikan Patikraja.
Semua emban Bumi Perdikan Patikraja, menjadi sibuk hilir mudik guna menyuguh tamu agung dari Kraton Harjo Mukti   lengkap dengan pengawal Prajurit Patang Puluhan. Mereka semuapun terlihat mengusung sebuah kekhawairan tentang kemungkinan turunya hujan badai yang menerjangnya. Kekhawatiran yang datangnya dari bencana beberapa puluh tahun silam, kala Kadipaten Banyumas menjadi korban kemarahan Sungai Serayu yang merenggut ribuan kawula kabupaten Banyumas.
***
“Mohon ampunan yang tak terkira!, kami menyambut kedatangan petinggi kabupaten tanpa persiapan yang terlebih dahulu,  Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo !”. Tegur sapa Ki Gede Patikraja disodorkan dengan penuh santun dengan gambaran wajah yang was-was masih begayut di wajahnya.
“Oh, tiada mengapa Ki Gede !, akulah yang mohon maaf karena kunjungan kami tanpa mengirim nawolo terlebih dahulu. Kunjungan kami sangat mendadak karena Kanjeng Bupati Yudonegoro mengutus kami juga secara mendadak, lantaran beberapa hari ini langit Bumi Kabupaten Banyumas berjelaga, seperti enggan menampakan wajahnya yang biru ceria. Kanjeng bupati merasa kahawatir dengan meluapnya serayu “
“Betul katamu Kanjeng Tumenggung, banjir bandang yang terjadi beberapa tahun silam telah menghantui kami semua. Kami selalu khawatir bila mendung bergayut setebal ini. Padahal tidak lama lagi tiba musim hujan. Semoga saja musim hujan kali ini mampu membwa berkah kawula  semua,  setelah delapan bulan lebih kami tidak bertani “.
Semua petinggi Kabupaten Banyumas yang sekarang bertamu menjadi bertambah pilu hatinya, bahkan semua Warongko Ndalem Bumi Perdikan Patikraja kini hanya tertunduk lesu. Hanya sorot mata Ki Gede Haryo Pragolo yang masih tajam menerobos tirai waktu ke depan dengan selaksa asa yang ada di pundaknya. Sebuah tantangan dari seorang pemimpin perdikan yang memikul tanggung jawab yang berat yang diamanahkan padanya dari Kanjeng Sinuwun Bupati Yudonegoro.
“Lantas apa yang akan Adi lakukan mengatasi masalah ini semua?, inilah yang akan kami laporkan pada kanjeng bupati ! “
“Mohon maaf kanjeng tumenggung !, kami hanya merencanakan tindakan sesuai kemampuan sebuah bumi perdikan. Kami semata-mata hanya mampu merencanakn untuk menebar beberapa pos jaga siang dan malam di sepanjang bantaran Kali Serayu,  di semua dusunpun telah kami tugaskan peronda yang siap dengan titirnya, apabila petugas bantaran memberi tanda Serayu meluap “
“Hmmm..,memang repot bila kita  menhadapi alam! “.  Keluh sang tumenggung menggema ke selruh pendopo agung bumi perdikan itu. Sebagian wajah menampakan gambaran keputusasaan sebagian lain hanya berpasrah apapun kejadianya. Sedangkan sebagian lain hanya tersenyum kecil, mengganggap lucu tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi bahaya alam ini. Karena tidak ada manusia yang sanggup melawan alam,  yang bisa di lakukan manusia hanyalah mengusung sebuah persahabatan manis dengan alam. 
“Mohon maaf Ki Gede ?” . Dengan suara yang lantang pemimpin prajurit patang-puluhan menghaturkan sebuah permintaan.
“Ada apa Ki Lurah tamtama !”
“Kami prajurit kabupaten juga diperintahkan Sinuwun Kanjeng Bupati Banyumas untuk ikut jaga di perdikan ini “
“Oh, matru nuwun atas segala kebaikan Sinuwun Yudonegoro . Kebetulan kami juga sering mengkhawatirkan tindak pidana dari kawula yang tidak bertanggung jawab bila banjir datang. Mereka seenaknya mengambil hewan ternak, emas dan harta lainnya. Namun karena prajurit perdikan hanya sedikit jumlahnya, maka tindak culiko seperti ini tidak mampu kami atasi “
“Bagus Ki Lurah, aku harapkan bukan saja kalian para prajurit Kabupaten Banyumas mampu menjaga ketertiban, namun sekarang juga segera menentukan jalur pengungsian kawula menuju dusun yang tinggi. Betul begitu Adi Haryo ?”
“Betul sekali Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo. Kami menyaksikan sendiri betapa paniknya kawula saat bandang datang. Mereka tidak tahu harus mengungsi kemana, mereka hanya berlarian tanpa arah. Hanya berdoa kepada Sang Pencipta Alam Marcapada, yang bisa kami lakukan seperti beberapa tahun silam “,  jawab Ki Gede Haryo Pragolo.
Banjir bandang datang tiba-tiba di tengah malam gulita karena hujan menerpa perdikan itu bebera hari lamanya. Memang banjir sudah menjadi gejala alam yang mengakrabi kawula perdikan itu, namun biasanya hanya sebatas paha paling tinggi. Namun Gusti Ingkang Makaryo Jagad menghendaki alam ini berbicara lain. Terjangan air Kali Serayu justru melimpah di luar batas kebiasaan. Sehingga tanggul alam yang kokoh akhirnya dilumat tak berdaya oleh air bah yang tinggi.  Banyak rumah penduduk yang hanyut, karena rata-rata bandang mencapai atap rumah tingginya. Teriakan pilu dan histeris terdengar di mana-mana, meratapi nasib sanak saudaranya yang hilang terbawa bandang liarnya Kali Serayu. Meski Ki Gede Haryo Pragolo dan seluruh keluarganya selamat, namun dia hanya mampu menangis pilu yang selama satu minggu tidak makan dan tidur, “Duh Gusti !, berilah ketabahan dan kekuatan hati kami semua dalam menghadapi musibah ini. Terimalah disisiMU semua kawula perdikan ini yang terbawa arus Serayu “. Tiada henti sang petinggi Bumi Perdikan Patikraja berdoa kepada Sang Penguasa Alam.
Ki Gede Haryo Pragolo, terbius dalam angan yang menggetirkan hatinya.
“Aku turut bersedih dengan kejadian itu “ seru Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo.
“Nuwun sewu Adi !, jangan lupa harus Adi persiapkan lumbung lumbung padi yang ada. Kanjeng Bupati akan segera mengirim beberapa pedati padi” tawaran Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo betul betul membawa angin segar bagi hati sanubari pemimpin Perdikan Patikraja yang semula tertutup mendung tebal, setebal jelaga yang kini menyelimuti langit Bumi Perdikan Patikraja.
Bumi Perdikan Patikraja sudah beberapa bulan ini dirundung paceklik yang sangat menusuk sanubarinya.  Selama ini Ki Gede Haryo Pragolo  tidak tahu harus berbuat apa, untuk mengumpulkan upeti dari dusun-dusun yang berada di kekusaan bumi perdikan jelas tidak mungkin. Kawulanya sendiri saat ini sedang menggelepar  melawan paceklik, bagaikan melawan teror hantu yang menyeluruh menteror kawula perdikan baik siang maupun malam. Sedangkan cadangan padi di lumbung perdikan sudah menipis.  
Karena banyak kawula yang berhari-hari tidak makan nasi ataupun palawija, maka kriminalitas di perdikanya juga turut menteror kawulanya, rampok di siang hari bolong menjadi hal yang biasa. Bahkan merekapun tidak segan melawan prajurit perdikan yang jumlahnya tidak seberapa. Maka Ki Gedepun hampir tiap malam mendengar pekik titir yang bertalu mengabarkan adanya perampokan sekaligus isyarat tentang kawulanya yang meninggal akibat kelaparan.
“Baiklah Adi Pragolo,karena hari sudah merambat sore kami mohon diri “,Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo segera merapatkan tubuhnya untuk memeluk Ki Gede Haryo Pragolo  yang telah dirundung kesedihan hati.
“Dengan segala kerendahan hati kami menghaturkan selamat jalan dan mohon disampaikan Salam Taklid kami kepada Njeng Sinuwun Yudonegoro, kami Bumi Perdikan Patikaraja  siap menjunjung semua titahnya “.
“Baik Adi Pragolo, mohon bimbinganya pula untuk semua prajurit kabupaten agar mereka semua mampu menentramkan perdikan ini dan mampu menjalankan tugas bila bandang menerjang perdikan ini. Kami pamit, Adi !”.
***
Angin Barat masih setia membawa gulungan awan hitam. Terkadang mereka hanya memberikan gerimis yang membasahi bumi perdikan ini. Kadang pula mereka membawa hujan lebat disertai badai. Namun semakin hari semakin tebal awan hitam itu menjenguk Bumi Perdikan Patikraja, Kali Serayupun mulai bertambah meruah airnya, hingga mendekati batas tanggul. Melihat gejala seperti ini semua kawula Bumi Perdikan Patikraja belum bergairah menyemai padi di sawah. Apalagi kini mereka telah bersiap mengungsi bila pertanda titir dari prajurit dan punggawa kraton telah bergema. Barang barang berharga telah dikemas untuk siap di bawa ke arah yang telah ditentukan oleh Lurah Tamtama Lembu Seto yang akan memimpin pengungsian.
Senja itu Ki Gede Haryo Pragolo   sudah berada di Kawedanan Purwokerto untuk mempersiapkan barak pengungsian dan menjemput Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo yang memimpin langsung puluhan pedati yang membawa bantuan bahan makanan dari Njeng Sinuwun Yudonegoro. Gerimis masih setia membasahi wajah bumi ini,  semua prajurit dan punggawanya masih pula sibuk mempersiapkan bantuan bahan makanan.
Seorang punggawa perdikan dengan berlari kecil dan nafas terengah-engah segera menghadap  Ki Gede Haryo Pragolo , “Mohon maaf Kanjeng !, bandang telah datang sore tadi, seluruh Dukuh Kebasen telah hanyut, mohon maaf dan nyuwun dawuh !”. Ki Gede menjadi bersungut sungut wajahnya,  dia segera beranjak dari tempat duduknya, wajah yang tegang masih menghiasi dirinya  “ Semua kawula sudah diungsikan ?”.
“Perintah Kanjeng telah kami laksanakan mulai beberapa hari lalu !”
“Berapa banyak korban jiwa yang ada ?”
“Mohon maaf Kanjeng kami belum menghitungnya, tadi sore jenasah korban yang meninggal telah kami kumpulkan di pendopo perdikan. Namun hanya sedikit Kanjeng !”
Sorot mata yang tajam dari Ki Gede Haryo Pragolo kini mulai ditutup oleh tabir air mata. Hanya doa yang dipersembahkan pada Tuhan yang Kuasa disodorkan oleh petinggi itu. Semoga arwah kawulanya yang menjadi korban keganasan Serayu diterima di sisiNYA. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar