Minggu, 25 November 2012
Rabu, 21 November 2012
Debu Debu MERAPI
Bau asap belerang yang menusuk hidung menyebar
tiap penjuru desa dan setiap jengkal ladang sayur di Desa Gedangan, Cepogo
Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan menyisakan kepiluan yang mendalam diantara
semua yang berwajah tertunduk lesu. Namun langit biru masih patuh dan lembut
menaungi kehidupan mereka yang kali ini harus berpisah dengan kampung halamanya.
Mereka yang meninggalkan rumah, ternak dan
sawah ladang, harus memburu waktu, agar
lembut awan awan yang mampu menerkam mereka tidak membakar dada mereka yang
telah sarat dengan kehidupan yang tidak ramah. Mereka harus sadar bahwa mereka tidak lain hanyalah manusia yang
hanya memiliki tulang dan daging, yang selalu menggapai cita dan harap di
lereng Gunung Merapi yang sedang tak ramah. Mereka bahkan sudah tak mengenal
Merapi lagi yang kali ini berdandan menakutkan. Padahal saban hari sebelumnya, mereka telah terbiasa akrab dengan Merapi yang
tersenyum malu, berdandan bedak pupur awan dan berkulum senyum menawan,
Namun kini mereka harus berlarian sepanjang
jalan desa yang mulai tertutup debu debu liar yang dimuntahkan Merapi yang
sedang dilanda kegalauan hati. Mereka segera menuju ke lokasi yang aman di
daerah Boyolali, Magelang dan Jogjakarta.
Teriakan nyaring terdengar di mana mana, membahana ke setiap liuk jalan desa, lantaran kepiluan
mereka mencari saudara saudara yang tidak berada di sekitar mereka. Entah hidup
yang bagaimana lagi yang harus mereka lakukan ataukah salah dan dosa apa yang
mereka miliki, sehingga harus meninggalkan sawah ladang yang selama ini membawa
berkah bagi kehidupan mereka. Demikian rasa tidak percaya diri terus saja
bergayut di hati mereka. Bayang bayang pilu kini kembali menghantui mereka kala
16 tahun lalu, mereka harus menyaksikan 40 saudara mereka warga Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem telah kembali ke pangkuan Illahi,
karena diterjang awan panas Merapi.
Jalan jalan desa yang
sempit dan beralas debu debu putih yang liar berlarian di terjang kaki kaki
yang melegam, kini terasa pengap dipenuhi dengus nafas dari manusia manusia
yang panik, yang ingin segera meninggalkan kampung halaman yang meronakan bara.
Sebagian dari mereka harus tertunduk tak berdaya kala awan panas itu mencekik
leher dan membakar dadanya. Sedangkan sebagian lainnya harus terus mendayung
waktu bergegas menuju barak pengungsian.
Wajah wajah menakutkan tak
berbingkai senyum ramah, tidak seperti biasanya keramahan membahana di antara
mereka kala bergelut dengan tanah ladang dan lenguh lenguh sapi piaraan, kini
hadir di antara mereka. Apalagi wajah
Suto yang bergurat kepedihan, lantaran istri dan ketiga anaknya belum juga
tampak disekitarnya. Padahal sebelumnya dia harus jatuh bangun memapah istrinya
untuk berlarian sepanjang jalan desa dengan menggendong si kecil, berlarian
menuju truk pengungsi yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya uang terpencil.
Diapun segera menggayutksn
istri dan ketiga anaknya bergabung dengan
truk yang telah sarat dengan pengungsi lainnya. Hingga diapun harus
mengalah menunggu kedatangan
2
truk lainnya. Suto hanya
mampu berdoa, meminta kepada Sang Pencipta Gunung Merapi agar istri dan ketiga
anaknya bisa kembali disampingnya dan dia diberi kekuatan hati agar mampu tabah
dalam menghadapi kemarahan raksaksa biru yang kini menghanguskan semua yang dia
milki.
Gemuruh letusan Raksaksa
Biru Merapi mulai terdengar Suto dan pengungsi lainnya, rintik hujan kerikil
dan pasir mulai berjatuhan di sekitar mereka. Suto berlarian kecil meninggalkan
desa Gedangan bersama dengan beberapa pengungsi lainnya, yang datang terlambat.
Jauh di belakang mereka awan panas mulai menngulung apa yang berada di depanya.
Meski peluh bercampur debu membasahi semua tubuh Suto namun dia tetap menerjang
debu debu yang menghalangi pandanganya.
Dari jarak yang tidak
terlalu jauh, terlihatlah lampu lampu truk pengungsi dari relawan yang berani
menantang maut untuk menyematkan sisa pengungsi yang tertinggal termasuk Suto
dan teman temanya, sementara itu beberapa pengungsi yang semula berada di
belakang Suto kini tidak tampak lagi,
lantaran diterjang dengus nafas Merapi yang kelewat marah. Meski Suto berhasil
menyelamatkan diri dalam bencana itu, namun bilah hatinya masih melekat kuat
kepada istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Rasa tidak percaya kembali
menggeluti hatinya, betapa sebuah kehidupan yang diusungnya harus disertai
dengan perjuangan yang berat demi sebuah kedamaian bersama keluarganya. Namun
kembali lagi diapun harus berpasrah kepada Sang Pencipta yang memberikanya
hidup dan kebahagiaan bersama istri dan ketiga anaknya.
***
Telah tiga harinya lamanya Suto hilir mudik
ke tiap barak pengungsian guna mencari sisa terakhir yang dia miliki, yaitu
istri dan ketiga anaknya. Dari barak ke barak , Polres Boyolali, instansi
pemerintah Kabupaten Boyolali, RSU
Boyolali, RSIA Umi Barokah,
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.
“Sudahlah Pak Suto, semua pengungsi
disinipun mengalami kehilangan, bukan hanya bapak. Lebih baik bapak makan roti
ini, sekedar menambah kekuatan tubuh bapak” . Seorang relawan yang bernama
Hendrawan telah terketuk hatinya menyaksikan perjuangan Suto dan keluarganya
untuk menggapai kehidupan ini.
“Terimakasih, Mas !, aku tidak akan pernah
berhenti sebelum bertemu mereka. Kalau toh mereka menjadi korban aku harus
melihat mayat mereka”
“Pak Suto, tenangkan dulu hati bapak. Akan
aku antar mencari mereka sampai mereka ketemu. Kebetulan aku banyak kenal teman
teman dari media yang juga menjadi relawan. Makanlah dulu pak !”
3
“Ini semua salahku, seharusnya aku langsung
mengungsi waktu Pak RT menyuruhku segera mengungsi. Tapi waktu itu aku tidak
percaya begitu saja kalau Merapi bakalan meletus separah ini !”
“Kalau toh Pak Suto waktu itu tahu bakalan
seperti ini tentu jauh jauh hari sudah mengungsi. Tapi siapa yang tahu kalau bakalan
begini. Ini semata mata hanya Kehendak Tuhan Yang Maha Tahu. Baiklah Pak Suto,
kita lanjutkan lagi pencarian ini. Sekarang kita coba menyisir pos pos relawan
yang ada di Magelang, kita coba kontak dengan teman temanku”
Hujan debu kini mulai menyerang daerah
Boyolali dan Magelang, jalan jalan raya dan atap rumah serta dedaunan hijau
kini berwarna putih. Mereka berdua dengan sepeda motor hampir selesai menyisir
pos pos relawan untuk korban bencana alam Merapi yang tersebar di Magelang,
guna meminta informasi termasuk dokter dokter relawan yang bertugas di RSU
Tidar RSU, RS Dr Soedjono, RSU Lestari Raharja dan RS Harapan Magelang. Kembali
Suto mendapatkan hasil pencarian yang menambah pilu hatinya.
Hingga akhirnya mereka kini hanya bersandar
di ruang tunggu RS Tidar melepas lelah ditengah hiruk pikuk upaya pertolongan
relawan pada korban bencana alam yang menyayat hati itu. Pandangan mata Suto
tercampak pada daftar korban yang meninggal ataupun luka yang ada di papan
informasi RS Tidar. Hatinya menguat kembali kini, setelah dia menemukan
informasi bahwa terdapat beberapa korban yang dilarikan ke RS Sardjito Jogja
lantaran daya tampung rumah sakit di Boyolali
terbatas.
“Mas, kembali aku minta tolong. Antarkan aku
ke RS Sardjito, barangkali istri dan anaku di sana !”
“Baik Pak Suto, sekarang juga kita berangkat.
Mumpung hujan debu masih tipis”
“Aku harus berkata apa lagi, Mas ?. Sungguh
kamu manusia yang mulia, Mas Hendrawan”
“Ah..Pak Suto !. Namanya saja relawan, ya
tugasnya harus rela menolong warga yang tertimpa musibah”
“Sungguh, aku bersyukur kepada Tuhan Yang
Kuasa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Mas Hendrawan”
“Sama juga aku, Pak Suto. Ternyata masih ada
manusia yag berhati tabah seperti Pak Suto yang diterpa bencana seperti ini”
“Habis mau gimana lagi ?”
Hendrawan langsung minta informasi kepada
humas posko bantuan bencana alam yang ada di RS Dr Sardjito Jogja dan mereka
memang menerima pasien dari Turgo, seorang ibu dan ketiga anaknya yang
mengalami pinsan saat evakuasi, lantaran beberapa lama tak sadarkan diri maka
dari Boyolali pasien itu dibawa ke Jogja. Namun mereka belum mengetahui siapa
nama ibu yang pinsan tersebut. Suto dan Hendrawan bergegas menuju bangsal
ekonomi tempat ibu dan ketiga anaknya dirawat.
Kebahagian Suto kembali menyelinap dalam
lubuk hatinya melihat istrinya sudah berangsur pulih, meski tubuhnya masih
lemas. Sunarti istrinya yang kini terbaring lunglai dihadapanya menjelaskan
bahwa dia kala itu tidak tahan menghirup gas belerang yang sangat kuat hingga
dia dan Nova putri bungsunya menjadi tak sadarkan diri. Sedangkan kedua
kakaknya telah dititipkan pada Pak Sartono tetangganya yang kini masih berada
di barak Boyolali dalam keadaan sehat.
Diciumnya pipi istrinya dan si bungsu dengan
penuh haru, Sutopun kini hanya mampu memeluk Hendrawan sebagai ungkapan
terimakasih yang tak terhingga.
Bayang Wedus Gembel MERAPI
Di bawah rengkuhan tubuh eksotis Merapi
terbentanglah lembah, jurang, hijau tanaman sayur dari sawah dan ladang, yang
menebar sepanjang liuk tubuhnya serta gemercik air kali sepanjang tahun dari
tubuh raksasa biru itu, yang kadang diam ternyenyak dalam tidurnya dan kadang
pula meradangkan amarahnya. Namun di bawah misteri seribu bahasa itu, tetap
saja beberapa insan mencoba menoreh peluh dan asa, untuk menitipkan sebilah
hidupnya. Bila telah terlelap dalam tidurnya, angin sore yang menyisir
punggungnya mampu membawa kedamaian hidup dan kesejukan bagi daun daun sayuran
yang telah menggulung lantaran terkaman sinar matahari satu hari penuh.
Namun bila wajah Merapi telah mengisyaratkan
suatu duka nestapa, mereka yang bergayut di punggunya ikut serta larut jua dalam
tetesan air mata, lantaran meratapi membaranya rona amarah dari wajah Merapi
yang tertutup dengan debu dan asap asap yang menjulurkan tangan tangan raksasa
penebar maut, yang sama sekali telah buta matanya untuk memburu siapa saja yang
diterpanya. Tangan tangan raksasa yang meradangkan pilu itu, telah mampu
menghanyutkan suatu kehidupan yang telah direnda oleh insan yang yang selama
ini telah mengakrabinya. Namu itulah ego Sang Merapi yang telah menyelinap
dengan kuat di kalbu mereka yang berladang di punggungnya, tanpa rasa benci
sedikitpun, tanpa mencibirkan bibir mereka dan tanpa sorot mata dendam kesumat
pada raksasa biru yang tiada pernah meninggalkan kecantikanya itu.
Demikian juga Hananto, petani desa yang mencoba
menebarkan benih sayuran di petak ladangnya agar tetap mampu menggegam separo
nafasnya. Agar tetap mampu juga menggapai cita citanya setinggi puncak Merapi
yang tiap pagi dan sore selalu dipandangnya, sambil sesekali mengusap peluhnya
yang tiada henti membasahi wajahnya, sederas sebuah cita citanya yang terus
saja memenuhi nadi darahnya dan berputar memenuhi seluruh sendi tubuhnya,
hingga mampu menyimpan cita citanya itu di sudut jantungnya, yang terus
berdegup bersama dengan suka dan duka sebuah kehidupan petani ladang.
Roda waktu bergulir begitu saja dan wajah
Merapipun tetap membugkam dalam candanya dengan awan awan putih yang berdatangan
dari empat penjuru angin. Semai sayuran yang ditebar Hananto telah mulai
membuat hidupnya kembali bergairah, panen di musim ini sudah diambang anganya.
Sebagian hasil panenya nanti, akan diwujudkan dengan cincin yang akan
dilingkarkan di jari manis Maya, gadis desa yang dikenalnya sejak mereka masih
di kelas awal SMA di Cepogo beberapa tahu silam. Sebentar ia biarkan cangkul
yang digenggam sejak pagi melintang di
tengah pematang ladangnya, persis di samping dia duduk sambil mengatur
nafasnya.
Apakah cincin penaut dua hati yang sedang
membarakan gairah asmara
mampu benar benar melingkar di jari Maya. Sedangkan kehidupan Hananto dengan Maya adalah
dua sisi yang berpisah sejauh jurang jurang lereng Merapi. Hananto harus
separoh nafas menggapai tentang sebuah kehidupan. Apa yang dia cita citakan
masih bertaut di awan awan kelabu yang sering memenuhi isi langitnya. Sedangkan
Maya adalah bidadari kahyangan yang dipingit keluarga RM Pranoto dengan
gemerlap lampu warna warni. Hananto
merasa tidak ada kesempatan barang sekuku hitampun untuk bisa memiliki hati
perawan desa, yang bertahi lalat di dagunya, berparas lembut dan melangkonis
serta santun budi bahasanya. Entah mengapa manusia di muka bumi ini harus
mengalami arti dari memiliki dan tidak memiliki, bisik hati seperti itu terus
saja bersemayam dalam sudut bilik jantungnya.
Pagi merangkak dengan malas, sementara siang
baru saja menuggunya dengan angkuh. Giliran sorepun kini menerjang langit
lereng Merapi. Kini semua penghuni lereng Merapi bersiap untuk beranjak ke
peraduan di tengah musih hujan yang tak merasakan penat. Hananto masih setia
dalam lamunan yang mengambang di beranda rumahnya. Namun lamunan itu segera
surut setelah lantai tanah berandanya tiba tiba saja bergoyang perlahan dan
bertambah kuat. Diapun segera berlari kea rah dalam rumah untuk segera
membangunkan ke dua adiknya dan bapak serta emaknya untuk segera keluar.
Batuk batuk dari puncak Merapi mulai
terdengar membahana ke setiap penjuru Desa Gedangan Cepogo, semua penghuni desa
terpencil itupun sontak berhamburan memenuhi jalan jalan desa untuk menyaksikan
kemarahan sahabat karibnya yang sudah berpuluh tahun mereka mengenal
kemisterianya. Namun wajah mereka tetap menyodorkan perasaan tenang dan pasrah
dengan selalu menganggapnya Merapi hanya menyampaikan sapanya dalam salam
candanya. Namun hari itu Merapi telah menujukan kemarahan yang sesungguhnya dengan
mengepulkan awan panas yang membumbung tinggi,
mirip raksasa ganas yang berniat mencekik leher siapa saja yang
ditemuinya.
Hananto dan seluruh keluarganya kini
bergegas menuju ke tempat yang aman dari terkaman raksasa liar itu, bersama sama
ribuan warga lainya yang menuju truk pengungsian yang disiapkan oleh aparat.
Namun tiba saja sebuah teriakan kecil memanggilnya dari arah ujung jalan desa.
“Anto, Pak Noto mencari Maya, sejak pagi
tadi Maya menghilang
entah kemana “
“Kamu tahu dari siapa, Yan ?”
“Aku sendiri ikut mencarinya kemana mana,
tapi tetap saja Maya menghilang “
“Terus Pak Pranoto sekarang di mana ?”
“Dia dipaksa oleh SAR untuk segera meninggalkan
desa ini dan mengungsi bersama kita”
“Yan, beriatahu emak dan bapak, aku akan
menyusul nanti. Aku akan mencari Maya dulu. Sampai ketemu di pendopo kabupaten
Magelang “
“Anto, kamu gila !. Semua warga sudah
mengungsi, sebentar lagi wedus gembel akan menyerang desa ini, Selamatkan diri
kamu, masalah Maya serahkan saja tim SAR “
“Ah, masalah Maya biar aku yang mengurus,
doalan aku ya Yan dan selamat ketemu di pendopo kabupaten ! “. Belum selesai
Anto bicara tubuhnya kini sudah bergerak menyusuri jalan desa Gedangan, untuk
menyusuri di mana Maya berada. Hananto tahu persis bahwa Maya sering bertemu
dia di sekitar ladang milik bapaknya, disitu pula Maya mencoba untuk menanam
anggrek anggek liar Merapi yang ditanam di pot dan diletakan begitu saja di
tengah ladang. Itulah salah satu hobby Maya yang tidak pernah terlewatkan.
Kadang pula dia mengajak Hananto untuk mencari anggrek anggrek liar di sekitar
hutan semak Merapi, sambil menautkan bilah rindunya pada cowok ganteng pujaan
hatinya itu.
Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Hananto,
sementara hujan debu mulai menghalangi pandangan Hananto yang berlari sekuat
tenaga menyusuri jalan setapak menuju ladang Pak Noto. Gelegar puncak Merapi
sekali sekali terdengar di te;inganya. Namun Hananto tak menyurutkan langkah
sebelum dia menemukan dimana Maya berada. Rasa khawatir kini memenuhi seluruh
hatinya, apalagi jalan jalan setapak mulai berlubang dan retak akibat gempa
yang terus saja menggoyang lereng Merapi. Bau belerang sudah mulai menyengat
hidungnya, dimanakah kau Maya, ayolah Maya tunjukan dimana kamu berada. Oh
Tuhan lindungi Maya, semoga dengan LindunganMU Maya bisa bersama aku mengungsi.
Tak henti hentinya hati anak desa ini terus saja memanjatkan doa.
“Maya kau di mana ?”. Hampir habis tenaga
yang digunakan pemuda desa itu untuk
berkali kali teriakan memanggil nama kekasih pujaan hatinya itu. Sementara
itu kepalanya sudah mulai pusing akibat bau belerang yang menyengat. Begitu
juga nafasnya sudah mulai sesak karena debu Merapi sudah memadati udara
gunung. Sepintas dia melihat tempat Maya
menyimpan anggrek liarnya sudah bererakan, bahkan longsor dihantam gempa
berkali kali.
“Maya kau di mana ?”
“Anto, aku dalam lubang ini ?’
“Maya!, kau tidak apa-apa ?”
“Entahlah, tapi kakiku sakit, aku tidak bisa
naik ke atas “ Wajah Maya sudah pucat
pasi, lantaran dihinggapi rasa takut yang menderanya. Tanpa banyak waktu
Hananto melepas bajunya dan dipilin menjadi tali untuk mengangkat tubuh Maya.
“Peganglah kuat kuat dengan kedua tanganmu,
dan usahakan kedua kakimu bertumpu pada dinding lubang ini. Bersiaplah aku akan
menarikmu “
“Ya “, dengan meringis kesakitan tubuh Maya
perlahan lahan bergerak ke atas sambil terus menumpukan kedua kakinya, meski
sebuah kakinya telah terkilir. Kini Mayapun sudah berada dalam pelukan Hananto.
Kini tubuh yang langsing dan semampai itu
berada dalam dekapan Hananto untuk melangkah meninggalkan ladang yang porak
poranda dihantam gempa dan debu kemarahan Gunung Merapi, sekuat tenaga mereka
kerahkan untuk menyusuri jalan setapak dan jalan desa hingga sisa tenaga yang
terakhir mampu mereka kerahkan tepat tidak jauh dari truk team SAR yang masih
sabar menunggu warga yang tertinggal mengungsi.
***
RM Pranoto terus menerus menangis di samping
tubuh istrinya yang lemah terbaring di pengungsian. Lantaran ketidakhadiran
Maya di samping mereka. Sementara itu terdapat juga beberapa warga yang
menangis histeris meratapi keluarganya yang menjadi korban tangan tangan
raksasa awan Gunung Merapi. Situasi saat iru sungguh menjadikan episode
kehidupan sebagai episode tentang betapa lemahnya makhluk yang bernama manusia.
Sititik harapan kini mulai bersemayam di
hati RM Pranoto dan Hartinah setelah muncul truk pengungsi terakhir dihadapan
mereka. Apalagi setelah melihat gadis berbaju jingga dengan rambut di kepang
dua sebatas pinggangnya serta tahi lalat di dagunya. EM Pranoto segera memapah istrinya
untuk menemui putri sulungnya dengan sejuta bunga bermekaran di sudut hatinya.
Sebuah peluk cium dari ketiga insan itupun menjadi pemandangan semua pengungsi.
Lain halnua dengan Hananto yang hanya berdiri terpaku dengan sejuta peraaan
yang tidak percaya menghadapi kenyataan ini.
“Engkau tadi di mana, anaku “ seru RM Pranoto dengan rintihan tangis
bahagia.
Mayapun segera menarik tangan Hananto untuk
berdiri lebih dekat lagi dengan mereka bertiga.Maya segera menceritakan
kejadian yang baru saja menimpanya.
“Trimakasih kami tak terhingga Nak Anto, maafkan kekasaran bapak dan ibu
selama ini sama kamu “. Tanpa segan dan malu kini RM Pranoto memeluk tubuh
pemuda ganteng itu dengan penuh ketulusan. Hanantopun menyambutnya dengan
menepiskan segala macam dendam.
Langganan:
Postingan (Atom)