Sabtu, 08 Desember 2012
Minggu, 25 November 2012
Terompet Tahun Baru
Awalnya hanya angin sepoi senja
yang menyegarkan, meliuk dan menerpa jendela jendela rumah papan, yang seakan ingin
berbagi ceria dengan angin senja itu untuk mengarungi alam. Namun hasrat itu
diurungkan, lantaran angin senja tak lama kemudian menjinjing desiran udara
yang bertambah ganas. Semua dedauan pohon dan perdu di halaman rumah kinipun
terjaga dari tidur siangnya yang memagutkan panas. Daun daun yang mulai
menghijau itu, kini meliuk bagaikan barongsay di perayaan imlek. Rumah papan
itupun kini mulai bergetar, apalagi setelah desir angin mulai membawa butir
butir hujan. Di sana sini mulai terlihat papan rumah yang basah diterpa butir
air.
Beberapa berkas titik air hujan
mulai usil menerobos sela sambungan papan yang mulai menganga di makan sang
waktu.Mereka mulai membasahi bilik kumuh milik Senjoyo, yang sedang merajut
angan di tengah gerimis senja Bulan
Desember tahun ini. Meski beberapa lampu kota disekelilingnya mulai menebar
eksotis tahun baru, sekali sekali mulai terdengar terompet tahun baru yang
dihembus anak anak yang tidak sabar menunggu datangnya malam tahun baru.
Namun bagi lelaki paro baya itu,
eksotis tahun baru malah menyelipkan bagian hati yang teriris sembilu. Apalagi
dinding biliknya yang sudah mulai lapuk terus saja mencibirkan dirinya. Dahulu waktu Sabila istrinya belum ke Malaysia
dua tahun lalu, papan papan biliknya selalu menghadiahi dirinya dengan senyuman
mesra, semesra senyum Sabila yang membawanya dia mampu membumbung tinggi ke
angkasa, untuk meraih bulan di senja
hari seperti ini. Terompet tahun barupun yang memekakan telinganya tanpa dia
rasakan, bila Messy putri bungsunya usil dengan terompetnya sepanjang
hari. Sementara untuk putri sulungnya Sandi, dandanan yang gaul untuk menyambut
tahun barupun telah berkali kali dia coba. Senjoyopun hanya bisa berdecak kagum
dengan kecantikan putrinya yang mirip ibunya.
Senjoyopun lama menghitung hari, di
tengah penantianya pada istrinya. Apalagi bila Messy berada di pangkuanya. Si
kecil yang manis itu masih saja menanyakan mamanya, meski dia telah lupa dengan
raut wajahnya, apalagi bila terdengar rentetan terompet tahun baru seperti
senja ini, yang memecah armosfer di atas rumah papan itu. Messypun merengek
minta agar papanya mengajak mamanya untuk memilihkan terompet kertas berwarna
warni, lengkap dengan rumbai rumbainya. Meski di meja kayu berlapis kaca di
ruang tamu, kini tergolek terompet kertas
leher angsa berwarna biru. Namun Messy tetap menepisnya, karena terompet
itupun memberitahukan padanya bahwa terompet itu bukan pilihan mamanya.
“Tapi kemanakah kau, Sabila ?.
Hanya secarik kertas , yang ditulis tergesa-tegesa oleh Sabila tergeletak di
atas meja tamu dua tahun silam. Persis di tengah senja seperti sekarang. Sabila hanya menuliskan beberapa kata pamitan
tentang kepergianya ke Malaysia. demi
mengadu nasib, demi Messy dan Sandy, dan demi penghidupan yang lebih baik.
Setelah Senjoyo sendiri yang menghancurkan bahtera yang rapuh, bahtera yang
sebenarnya mampu menjadi kendaraannya untuk menjangkau pantai biru, beertaman
kembang warna warni, dan sekarang dia harus menyaksikan dan merasakan sendiri
sebuah serpihan batera, kala menghantam
karang yang kokoh di tengah ombak yang ganas.
Sebuah sentuhan halus dari si kecil
Messy, menyentaknya dan menenggelamkan lebih dalam pada rasa rindu pada
istrinya, “ Pak, mana terompet yang dibelikan mama ?”.
Terompet tahun baru memang hanya
terbuat dari kertas warna warni, namun terompet itu mampu menyodorkan masa masa
bahagia kala Messy berumur delapan tahun, kala dia diajak mama dan papanya
untuk melihat eksotis terompet tahun baru di penjaja terompet yang bertenda di
pinggir jalan jalan kota menjelang tahun baru.
Terlihat kala itu Sabila dengan senyum lesung pipitnya, mampu mewarnai
kertas terompet lebih dalam lagi. Sehingga warna terompet yang dijinjing
Sabilapun, menjadi warna yang mampu menyelinapkan daya tarik bagi Messy.
Namun sekarang, terompet biru yang
jaul lebih baik dan lebih menggelitik tak mampu lagi menghadirkan mamanya.
Messypun bertambah kuat merangkul bapaknya, suatu isarat bahwa rasa rindu telah
kuat untuk segera bertemu mamanya.
“Pak, apa benar mama nanti tahun
baru pulang ?”
“Sabar, ya sayang, besok bapak akan
mengirim surat mamamu untuk pulang dan membawakan oleh oleh terompet tahun
baru”. Meski dengan sorot mata kosong, Senjoyo terpaksa menyuguhkan sepotong
kalimat yang mampu menghentikan tangis menyayat si kecil,
“Aku juga rindu dengan kak Sandy,
pak !”
“Messy !, kak Sandy sebentar lagi
juga pulang. Kemarin kan dia mengirim tas sekolah untukmu. Kamu senangkan ?”. Tenggorokan
laki laki paro baya itu kini telah mengering, sorot matanya bertambah kosong,
desah pilu berkali kali terdengar dari mulutnya. Mengapa dia harus terjepit di
tengah rasa sepi yang menghantam semua sendi tulangnya. Belum lagi Senjoyo
menerima kenyataan berlalunya Sabila, beberapa bulan kemudian Sandypun
melakukan hal yang sama. Sandy menyimpan perasaan yang getir, marah dan dendam
dengan dirinya, lantaran terlalu dalamnya dirinya jatuh ke lembah hitam, yang
menimbulkan bara api pada dua wanita itu.
Kabar terakhir yang dia peroleh
tentang Sandy didapatkan setahun yang lalu, kala sebuah bingkisan berisi tas
sekolah untuk adik bungsunya Messy. Sandy kini telah menggayutkan cintanya
dengan pria yang dia pastikan lebih baik dari dirinya, namun berkali kali dia
membalas surat pada Sandy, selalu diterimanya pengembalian suratnya yang
beralamat tidak jelas.
Kembali lagi suara terompet
terdengar sayup sayup dari kejauhan, gerimis malam ini sudah mulai menyelip
kembali ke mega mega hitam, namun sang rembulanpun masih kedinginan dan memilih
untuk diam di angkasa berselimut awan hitam. Messypun mulai mencoba meniup
terompet biru di depanya sebentar-sebentar. Satu satunya miliknya kini betul
betul dia dekap, karena Messy adalah harapan terakhirnya, agar dirinya mampu
mengenyam hidupnya dengan bumbu bumbu kasih saying, setelah sekian lama dia
tepiskan bumbu itu, demi mengejar nafsu syahwat, ego dan kesenangan yang semu.
“Pak, aku tiup terompet ini, ya !.
Biar mama mendengar dan mau pulang”
“Cobalah sayang !, tiuplah
sesukamu!, mama pasti pulang! “
“Betul pak ?, Bapak janji ?”. Bola
mata Messy menyapu seluruh tubuh bapaknya,
pertanda suatu harapan yang besar kini memenuhi hatinya yang tulus.
Senjoyopun kini mendekap lebih erat si kecil mungil miliknya satu satunya,
“Berdoalah Messy, agar mamamu pulang “
“Bapak !, mengapa mama pergi ?”
“Katanya kamu pengin beli sepeda ?,
dan memperbaiki rumah ini. Mama tidak pergi sayang!, mama hanya kerja jauh,
agar dapat uang banyak . berdoalah sayang, semoga mamamu pulang “
Seteguk embun pagi kini menyirami
hati Messy, si kecil manja itupun kini asyik meniup terompet keras-keras.
Senjoyopun hanya mampu memandang dengan sorot mata yang agak berseri. Kelucuan
anak itu sementara mampu menepis bayang istrinya, yang tadinya hadir dengan
taring dan kuku-kukunya yang tajam, yang siap membenah denyut jantungnya.
Messypun kini telah kembali asyik bermain dengan terompet dan mencoba beberapa
baju baru untuk tahun baru.
“Bapak ?”
“Ya, sayang ?”
“Nanti, malam tahun baru Bapak mau ke
mana ?”
“Kan melihat pesta kembang api di
alun alun, hayooo lupa, ya ?”
“Aku mulai pengin malam tahun baru
segera tiba. Messy akan meniup terompet bapak sepuas puasnya “
“Ya, sayang. Makanya sekarang pergi
bobo, ya !”.
Messy hanya mengalungkan ke dua tanganya
ke leher bapaknya dengan manja untuk mendapatkan gendongan mesra bapaknya. Kini
Messypun terlelap tidur di tengah dingin udara malam yang kembali dibasahi
gerimis.
Sementara mereka berdua merenda mimpi, sepasang kaki melangkah dengan
perlahan menuju beranda rumah tua itu. Kedua mata wanita itu kini dibasahi air
mata, terlihat jelas dari baju dan
pernik pernik yang menghiasi dandananya,
dia adalah wanita yang kaya. Namun dari guratan wajahnya yang ditutupi
temaram lampu beranda, tampaklah bahwa wanita itu telah merindukan sesuatu. Namun
beberapa lama kemudian, wanita itupun bergegas meninggalkan rumah tua milik
Senjoyo menuju ke jalan raya dan terdengarlah deru mobil mewah yang bertambah
jauh ***
Rabu, 21 November 2012
Debu Debu MERAPI
Bau asap belerang yang menusuk hidung menyebar
tiap penjuru desa dan setiap jengkal ladang sayur di Desa Gedangan, Cepogo
Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan menyisakan kepiluan yang mendalam diantara
semua yang berwajah tertunduk lesu. Namun langit biru masih patuh dan lembut
menaungi kehidupan mereka yang kali ini harus berpisah dengan kampung halamanya.
Mereka yang meninggalkan rumah, ternak dan
sawah ladang, harus memburu waktu, agar
lembut awan awan yang mampu menerkam mereka tidak membakar dada mereka yang
telah sarat dengan kehidupan yang tidak ramah. Mereka harus sadar bahwa mereka tidak lain hanyalah manusia yang
hanya memiliki tulang dan daging, yang selalu menggapai cita dan harap di
lereng Gunung Merapi yang sedang tak ramah. Mereka bahkan sudah tak mengenal
Merapi lagi yang kali ini berdandan menakutkan. Padahal saban hari sebelumnya, mereka telah terbiasa akrab dengan Merapi yang
tersenyum malu, berdandan bedak pupur awan dan berkulum senyum menawan,
Namun kini mereka harus berlarian sepanjang
jalan desa yang mulai tertutup debu debu liar yang dimuntahkan Merapi yang
sedang dilanda kegalauan hati. Mereka segera menuju ke lokasi yang aman di
daerah Boyolali, Magelang dan Jogjakarta.
Teriakan nyaring terdengar di mana mana, membahana ke setiap liuk jalan desa, lantaran kepiluan
mereka mencari saudara saudara yang tidak berada di sekitar mereka. Entah hidup
yang bagaimana lagi yang harus mereka lakukan ataukah salah dan dosa apa yang
mereka miliki, sehingga harus meninggalkan sawah ladang yang selama ini membawa
berkah bagi kehidupan mereka. Demikian rasa tidak percaya diri terus saja
bergayut di hati mereka. Bayang bayang pilu kini kembali menghantui mereka kala
16 tahun lalu, mereka harus menyaksikan 40 saudara mereka warga Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem telah kembali ke pangkuan Illahi,
karena diterjang awan panas Merapi.
Jalan jalan desa yang
sempit dan beralas debu debu putih yang liar berlarian di terjang kaki kaki
yang melegam, kini terasa pengap dipenuhi dengus nafas dari manusia manusia
yang panik, yang ingin segera meninggalkan kampung halaman yang meronakan bara.
Sebagian dari mereka harus tertunduk tak berdaya kala awan panas itu mencekik
leher dan membakar dadanya. Sedangkan sebagian lainnya harus terus mendayung
waktu bergegas menuju barak pengungsian.
Wajah wajah menakutkan tak
berbingkai senyum ramah, tidak seperti biasanya keramahan membahana di antara
mereka kala bergelut dengan tanah ladang dan lenguh lenguh sapi piaraan, kini
hadir di antara mereka. Apalagi wajah
Suto yang bergurat kepedihan, lantaran istri dan ketiga anaknya belum juga
tampak disekitarnya. Padahal sebelumnya dia harus jatuh bangun memapah istrinya
untuk berlarian sepanjang jalan desa dengan menggendong si kecil, berlarian
menuju truk pengungsi yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya uang terpencil.
Diapun segera menggayutksn
istri dan ketiga anaknya bergabung dengan
truk yang telah sarat dengan pengungsi lainnya. Hingga diapun harus
mengalah menunggu kedatangan
2
truk lainnya. Suto hanya
mampu berdoa, meminta kepada Sang Pencipta Gunung Merapi agar istri dan ketiga
anaknya bisa kembali disampingnya dan dia diberi kekuatan hati agar mampu tabah
dalam menghadapi kemarahan raksaksa biru yang kini menghanguskan semua yang dia
milki.
Gemuruh letusan Raksaksa
Biru Merapi mulai terdengar Suto dan pengungsi lainnya, rintik hujan kerikil
dan pasir mulai berjatuhan di sekitar mereka. Suto berlarian kecil meninggalkan
desa Gedangan bersama dengan beberapa pengungsi lainnya, yang datang terlambat.
Jauh di belakang mereka awan panas mulai menngulung apa yang berada di depanya.
Meski peluh bercampur debu membasahi semua tubuh Suto namun dia tetap menerjang
debu debu yang menghalangi pandanganya.
Dari jarak yang tidak
terlalu jauh, terlihatlah lampu lampu truk pengungsi dari relawan yang berani
menantang maut untuk menyematkan sisa pengungsi yang tertinggal termasuk Suto
dan teman temanya, sementara itu beberapa pengungsi yang semula berada di
belakang Suto kini tidak tampak lagi,
lantaran diterjang dengus nafas Merapi yang kelewat marah. Meski Suto berhasil
menyelamatkan diri dalam bencana itu, namun bilah hatinya masih melekat kuat
kepada istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Rasa tidak percaya kembali
menggeluti hatinya, betapa sebuah kehidupan yang diusungnya harus disertai
dengan perjuangan yang berat demi sebuah kedamaian bersama keluarganya. Namun
kembali lagi diapun harus berpasrah kepada Sang Pencipta yang memberikanya
hidup dan kebahagiaan bersama istri dan ketiga anaknya.
***
Telah tiga harinya lamanya Suto hilir mudik
ke tiap barak pengungsian guna mencari sisa terakhir yang dia miliki, yaitu
istri dan ketiga anaknya. Dari barak ke barak , Polres Boyolali, instansi
pemerintah Kabupaten Boyolali, RSU
Boyolali, RSIA Umi Barokah,
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.
RS Al-Amin dan RS Mojosongo Kabupaten Boyolali, mereka belum juga ditemukan entah kemana mereka, bagaikan di telan bumi atau mereka kini bersemayam di langit bersama dengan mereka yang telah mendahului di terjang awan panas. Sutopun hanya menitikan air matanya dengan langkah yang gontai, karena belum sesuap nasipun masuk dalam perutnya.
“Sudahlah Pak Suto, semua pengungsi
disinipun mengalami kehilangan, bukan hanya bapak. Lebih baik bapak makan roti
ini, sekedar menambah kekuatan tubuh bapak” . Seorang relawan yang bernama
Hendrawan telah terketuk hatinya menyaksikan perjuangan Suto dan keluarganya
untuk menggapai kehidupan ini.
“Terimakasih, Mas !, aku tidak akan pernah
berhenti sebelum bertemu mereka. Kalau toh mereka menjadi korban aku harus
melihat mayat mereka”
“Pak Suto, tenangkan dulu hati bapak. Akan
aku antar mencari mereka sampai mereka ketemu. Kebetulan aku banyak kenal teman
teman dari media yang juga menjadi relawan. Makanlah dulu pak !”
3
“Ini semua salahku, seharusnya aku langsung
mengungsi waktu Pak RT menyuruhku segera mengungsi. Tapi waktu itu aku tidak
percaya begitu saja kalau Merapi bakalan meletus separah ini !”
“Kalau toh Pak Suto waktu itu tahu bakalan
seperti ini tentu jauh jauh hari sudah mengungsi. Tapi siapa yang tahu kalau bakalan
begini. Ini semata mata hanya Kehendak Tuhan Yang Maha Tahu. Baiklah Pak Suto,
kita lanjutkan lagi pencarian ini. Sekarang kita coba menyisir pos pos relawan
yang ada di Magelang, kita coba kontak dengan teman temanku”
Hujan debu kini mulai menyerang daerah
Boyolali dan Magelang, jalan jalan raya dan atap rumah serta dedaunan hijau
kini berwarna putih. Mereka berdua dengan sepeda motor hampir selesai menyisir
pos pos relawan untuk korban bencana alam Merapi yang tersebar di Magelang,
guna meminta informasi termasuk dokter dokter relawan yang bertugas di RSU
Tidar RSU, RS Dr Soedjono, RSU Lestari Raharja dan RS Harapan Magelang. Kembali
Suto mendapatkan hasil pencarian yang menambah pilu hatinya.
Hingga akhirnya mereka kini hanya bersandar
di ruang tunggu RS Tidar melepas lelah ditengah hiruk pikuk upaya pertolongan
relawan pada korban bencana alam yang menyayat hati itu. Pandangan mata Suto
tercampak pada daftar korban yang meninggal ataupun luka yang ada di papan
informasi RS Tidar. Hatinya menguat kembali kini, setelah dia menemukan
informasi bahwa terdapat beberapa korban yang dilarikan ke RS Sardjito Jogja
lantaran daya tampung rumah sakit di Boyolali
terbatas.
“Mas, kembali aku minta tolong. Antarkan aku
ke RS Sardjito, barangkali istri dan anaku di sana !”
“Baik Pak Suto, sekarang juga kita berangkat.
Mumpung hujan debu masih tipis”
“Aku harus berkata apa lagi, Mas ?. Sungguh
kamu manusia yang mulia, Mas Hendrawan”
“Ah..Pak Suto !. Namanya saja relawan, ya
tugasnya harus rela menolong warga yang tertimpa musibah”
“Sungguh, aku bersyukur kepada Tuhan Yang
Kuasa di jaman sekarang masih ada manusia seperti Mas Hendrawan”
“Sama juga aku, Pak Suto. Ternyata masih ada
manusia yag berhati tabah seperti Pak Suto yang diterpa bencana seperti ini”
“Habis mau gimana lagi ?”
Hendrawan langsung minta informasi kepada
humas posko bantuan bencana alam yang ada di RS Dr Sardjito Jogja dan mereka
memang menerima pasien dari Turgo, seorang ibu dan ketiga anaknya yang
mengalami pinsan saat evakuasi, lantaran beberapa lama tak sadarkan diri maka
dari Boyolali pasien itu dibawa ke Jogja. Namun mereka belum mengetahui siapa
nama ibu yang pinsan tersebut. Suto dan Hendrawan bergegas menuju bangsal
ekonomi tempat ibu dan ketiga anaknya dirawat.
Kebahagian Suto kembali menyelinap dalam
lubuk hatinya melihat istrinya sudah berangsur pulih, meski tubuhnya masih
lemas. Sunarti istrinya yang kini terbaring lunglai dihadapanya menjelaskan
bahwa dia kala itu tidak tahan menghirup gas belerang yang sangat kuat hingga
dia dan Nova putri bungsunya menjadi tak sadarkan diri. Sedangkan kedua
kakaknya telah dititipkan pada Pak Sartono tetangganya yang kini masih berada
di barak Boyolali dalam keadaan sehat.
Diciumnya pipi istrinya dan si bungsu dengan
penuh haru, Sutopun kini hanya mampu memeluk Hendrawan sebagai ungkapan
terimakasih yang tak terhingga.
Langganan:
Postingan (Atom)