Sepanjang perjalananya, Hans
hanya melihat pohon pohon jati yang berjejer di kanan kiri jalan desa,
yang masih beralas tanah liat dan meliuk ke kanan kiri dan naik turun, seperti
Barongsai yang menggeliatkan tubuhnya di hentak tambur Imlek. Kabut dingin
musim hujan di akhir Desember tahun ini terus saja menenggelamkan angan Hans
yang masih terbujur kaku, hatinya kini telah diterkam ganasnya kehidupan dan
ketersudutan dirinya pada bibir gincu yang semula mengalirkan gairah dalam liku
tubuhnya.
Hans melangkah hati hati mendekati rumah setengah papan di
perkampungan di seputar hutan jati.
Rumah itu masih tertutup rapat, meski hari sudah mulai terang. Semburat sinar
matahari sebagian telah menerangi beranda rumah papan itu. Siul aneka burung
hutan terus memagutkan simphony melangkonis pada tepi hati Hans. Kembali sebuah
harapan muncul di tengah kelembutan pagi ini, agar Vera menghabiskan liburan
tahun baru di kota asalnya yang sunyi dan masih hijau alami seperti ini. Hans tidak
mampu menyembunyikan desir bilik jantungnya bahwa di telah terkesima dengan
hijuanya hutan jati di seputar rumah ortunya Vera. Apalagi bila birama hidupnya
itu disertai hadirnya Vera.
Pintu kayu jati di depanya kini terbuka perlahan ditandai
dengan suara berderit karena gesekan antara kayu jati yang sudah tua namun
tetap kokoh. Hans melangkah mundur dan
segera merekahkan sebuah senyum pada nenek tua berambut putih yang juga ramah
menyambut senyum Hans. Denga senyum tetap berderai di bibirnya yang sudah
keriput, nenek itu mencoba menelisik pria di depanya yang asing. Nenek tua itu
menjadi terperangah setelah tahu siapa dirinya dan maksud kedatanganya.
“Vera baru saja datang tadi habis subuh, sekarang dia sedang
istirahat. Silakan Mas Hans duduk dulu, biar saya bangunkan Vera “
“Ah, biarkan saja dia istirahat Nek!, nggak usah dibangunin.
”.
Vera di bilik papan yang berada di
tengah bangunan kuno itu rupanya belum
mampu menyelinap dalam mimpi indahnya, meski rasa penat menggigit sekujur
tubuhnya karena seharian penuh dia menggayutkan pada kereta api fajar Jakarta
Purwokerto. Rasa tidak percaya kini mulai menusuk denyut jantungnya, mengapa
Hans bisa berada di rumahnya, apa maksudnya dan sejuta pertanyaan pada dirinya
kini memenuhi benaknya. Apa yang dia cari di Desa Margasari yang terpencil ini.
Bukankah Jakarta mampu menjanjikan segalanya untuk Hans yang sukses sebagai
manager di group perusahaan milik
papanya sendiri. Mengapa di akhir Bulan Desember dia ada mengapa pula Hans rela menepiskan kesempatan
yang mahal di akhir tahun ini.
Sementara hujan Bulan Desember mulai
bangkit lagi membasahi bumi hutan jati, Vera bergegas menuju ke beranda beralas
tanah di depan rumahnya dengan penasaran masih
menggayuti perasaannya. Sorot mata
Vera masih menyimpan rasa kagum pada pria lajang yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya,
tapi mendung hitam yang pernah kokoh di hatinya belum hilang betul saat Hans
menghempaskan dia begitu saja. Namun
sorot mata kebencian sengaja Vera sembunyikan, tertutup rasa iba pada diri Hans
yang begitu jauh meluncur ke desanya dari Jakarta.
“Mas Hans!, mengapa repot repot
datang ke sini mas. Margasari hanya desa kecil, Mas!”
“Aku tak mampu mengatakan, Vera ?”
“Jauh jauh dari Jakarta mas hanya mau
diam seribu bahasa ?”
“Entahlah, Vera !”
“Apa karena tidak kerasan di sini Mas
?. Tidak semestinya Mas Hans di akhir tahun berada di desa kecil ini ?” .
Serasa ada jutaan jarum kecil di jantung Vera yang menggelitikan penasaran,
mengapa pria penuh pesona itu datang ke desanya. Padahal eksotis Kota Jakarta mampu memingit Hans
dengan sejuta pesona bunga bunga ranum. Pesona itulah yang menyihir Handoko
Susetyo untuk mendapatkan pesona itu meski dia harus menghamburkan kekayaanya
beberapa tahun silam. Sehingga Vera harus menepi tenggelam dalam kesepian,
meski glamour kota itu telah disodorkan oleh lampu-lampu jalan warna warni
layaknya pelangi yang tersesat di hutan beton.
“Mengapa giliran kamu yang tersudut
dalam diam, Vera ?”
“Aku lagi terjebak dalam symphoni
hutan jati di akhir tahun ini. Hutan Jati ini adalah tempat aku dilahirkan dan
dibesarkan. Meski sejak lulus SMA aku menggayutkan hidup sebagai buruh pabrik.
Namun aku tekuni sambil aku kuliah akunting dan sekarang aku bisa menjadi
manager akunting”. Vera mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya.Betapa
berharganya sepenggal hidup yang dia arungi. Oleh kaena itu, tidak ada seorang
priapun di dunia ini bisa melecehkan dirinya begitu saja.
Bagi Vera tujuh
tahun waktu yang telah dia lalui, adalah sesuatu cukup berat menerpanya.
Betapa tidak, dengan hanya bermodal
percaya diri dan tangguh sebagai buruh konveksi di Jakarta, dia mampu menempatkan dirinya sebagai manager
akunting yang handal. Keberhasilan seperti itu, tidak mungkin direngkuh oleh
wanita yang kolokan dan mudah tergiur pada hipnotis jaman. Pengalaman pahit
yang dia dapatkan dari perlakuan Handoko Susetyo menambah dewasa dan
tangguh. Sebuah hikmahpun telah terselipkan
dihatinya. Bukan berarti dia dengan lebay akan memohon pada Hans untuk
bersanding di sampingnya kembali.
***
Matahari bertambah tinggi, tanah
yang berwarna kehitaman diguyur gerimis
sejak pagi kini mulai mengering. Seteguk demi seteguk kopi kental telah
membasahi kerongkongan Hans yang sama seperti Vera, terjebak dengan nafas hutan jati. Namun sihir hutan jati
bagi Hans hanya menumbuhkan penyesalan pada dirinya. Sehingga diapun mengharap
kehadiran seribu malaikat untuk menyihir hati Vera agar mau membuka hatinya,
menepiskan awan hitam yang kemudian mampu membirukan cerah langit.
“Maafkan aku, Vera !, aku menyesal ?”
“Mas Hans !, aku rak pernah sakit
hati dengan masa lalu !, Lama aku telah memaafkan Mas Hans !. Mas Hans kan tahu
keadaan keluargaku sekarang?. Apa apa yang aku peroleh di Jakarta adalah hasil
perjuangan wanita desa yang tangguh,
bukan wanita yang mengaku modern tapi dia rapuh”.
“Terimakasih Vera !, masa lalu itu
begitu menghantui aku, Vera !”
“Mengapa Mas !, Mas Hans kan sudah
berhasil mendapatkan segala sesuatu yang mas inginkan ?”
“Vera, sebenarnya bukan hanya maaf
yang aku harapkan di tengah hutan jati ini “
Vera menjadi tidak tahu bagaimana di
harus menjaga hatinya yang liar. Meski dia adalah wanita tangguh dan telah
kenyang makan garam penderitaan, tapi Vera juga insan yang masih
menyisakan sifat feminis. Mengapa sikap Hans yang lebay hadir di depanya kini, saat dia telah berhasil merawat luka hatinya dan mulai
menerima kehadiran pria yang mengerti segalanya tentang Vera.
“Sudah sewajarnya kan Mas !, bila
kita saling memaafkan sebagai seorang sahabat ?”
“Betul Vera !, akupun demikian. Terutama
papi yang dulu sempat menghancurkan hidup kamu “
“Oh ya, sampaikan salam saya pada
papamu saat mas kembali ke Jakarta !”
“Dia sudah meninggal tiga bulan yang
lalu”
“Aku turut bersedih atas kematian
papamu, aku juga turut kehilangan papamu, dia ayah yang tegar. Sebenarnya kita
semua membutuhkan figur seorang ayah seperti papamu. Karena papamu tidak pernah
menganggap enteng hidup ini. Memang
adalah suatu kenyataan yang harus
dijumpai tiap manusia, bahwa hidup ini tidak segampang yang kita duga”
“Kamu masih dendam dengan papa ?”
“Beberapa bulan setelah Mas Hans
meninggalkanku, aku sangat goncang. Kata kata, sikap dan penilaian papa
terhadapku sungguh menyakitkan. Namun lembaran itu berhasil aku tepiskan dengan
menyibukan diriku berkuliah di jurusan akutansi. Sementara perusahaan
menuntutku untuk terus mencermati audit yang ketat. Sehingga aku terhanyut
dalam hidup yang memang harus kuhadapi dengan kerja keras. Di situlah memang
seharusnya Vera berdiri , mas !”
“Aku sungguh menyesal Vera,
seharusnya aku tidak menuruti papa untuk meninggalkan kamu, Vera !”
“Mas Hans tidak perlu menyesal, karena itulah sebuah
kehidupan. Beruntung aku dilahirkan di tengah hutan jati yang terpencil, yang
tidak mampu menjanjikan setiap manusia yang hidup di tengah tengahnya. Aku
masih ingat betul, Mas !. Betapa masa kecilku selalu dihadapkan pada
perjuangan dari mulai mengangsu air
hingga kebutuhan lainnya”
“Apa hubunganya dengan ini semua,
Vera ?”
“Aku wanita yang berasal dari desa
yang tanahnya tidak subur. Sehingga keluargaku miskin dan tak mampu membiayai
sekolah hingga perguruan tinggi. Karena itulah aku harus berhati besar dalam
menghadapi segala kehidupan. Dalam keadaan tersudutpun aku harus mampu
menggeliat untuk bangun, karena aku tidak punya apa apa Mas !”
“Tapi, bukan berarti, aku telah
kehilangan kesempatan ke dua, Vera !”
“Jenjang Mas Hans masih sangat
panjang, Mas Hans masih punya kesempatan untuk mencari wanita lainya yang
layak”. Sebuah senyuman tulus merekah dari bibr Vera, wajahnya kini memerah.
Handoko Susetyo sebenarnya telah akrab dengan senyuman wanita ayu dan
flamboyant yag duduk di depanya. Meski Vera adalah wanita desa yang lahir dan
dibesarkan di tengah hutan jati. Namun sifat feminis yang ada padanya sama
sekali tidak berbeda dengan wanita gaul lainya yang pernah dia temui.
Meski segala sesuatu tentang Vera
pernah dia lempar jauh jauh di tebing egonya yang kokoh. Namun dia sendiri
tidak tahu, mengapa kini dia harus meraih senyuman Vera yang pernah dia lentingkan jauh jauh. Gelimang harta dia dan
keluarganya telah membutakan mata hatinya, apalagi papanya yang menginginkan
wanita di samping Handoko Susetyo adalah tipe wanita yang sukses segalanya.
Tetapi manusiapun tahu bahwa apa yang
digapai manusia belum tentu disodorkan oleh Yang Kuasa. Sebuah kenyatan telah
menorehkan sesuatu yang lain dari ambisi Kemal Iskandar ayah Handoko Susetyo,
yaitu sebuah kanker ganas stadium IV yang memenuhi jantungnya dan pebisnis yang
tangguh inipun akhirnya menyerah melawan kankernya. Meski dia selalu berhasil
dalam memenangkan persaingan dengan pebisnis lainnya. Bukan hanya itu saja
Kemal Iskandar juga dengan keras menginginkan agar putra-putra mengalami
kegagalan dalam menghadapi hidup mereka, termasuk hasrat menjadikan Handoko Susetyo menjadi pebisnis ulung. Maka
kehadiran Vera di sisi putranya membuat laki laki paro baya itu menjadi gerah.
“Hans, kamu mampu mendapatkan wanita
tipe apa saja !. Tetapi kamu malah memilih wanita udik, bisa apa dia dan apa
kerjanya ?”
“Dia kerja di perusahaan konveksi,
pap !”
“Apa jabatanya ?”
“Dia staf akunting, kepercayaan Om
Budi”
“Apa dia mampu mendampingimu dalam
bisnis yag sedang papa rintis?”
“Dia
kan akunting, pap ?
“Hanya itu !, apa dia mampu
menyuntikmu dana bila dibutuhkan demi konglomerasi yang akan papa bangun ?”
“Tapi pap !, Hans kan butuh
pendamping hidup, bukan pendamping
bisnis ?”
“Hans kamu tahu apa !, dalam sebuah
group bisnis semua anggota keluarga harus turut aktif di dalamnya.
Sudahlah!, kamu cari calon lain saja,
Papa mama tidak mau kamu berhubungan dengan
dia lagi”. Hans terpaku dalam perasaan yang tidak menentu. Sekujur
tubuhnya terasa dipagut aliran listrik dari petir di siang hari bolong. Kini
dia hanya mampu merebahkan punggung di sofa
warna hijau lumut dan bercorak Timur tengah. Selama ini dia masih
menggayutkan hidupnya pada papa dan mamanya, meski dia telah lulus Administration Bisnis of Harvard University tiga tahun silam, maka apa yang
dikehendaki papanya sama sekali dia tak mampu menepisnya. Termasuk mengenyahkan
Vera dari sisinya.
***
Jarum waktu terus menerbangkan asa
manusia manusia yang memburunya hingga terbang ke langit. Terkadang pula jarum
waktu menenggelamkan manusia dalam telaga hitam yang paling dalam. Hasrat
Kemal Iskandar untuk mencakar dan merobek langit taka ada yang mampu
menghalanginya. Milyar demi milyar rupiah keuntungan perusahaanya terus dia
tunai, sementara dia tidak pernah
menghiraukan ketahanan fisiknya yang terus menerun akibat hidupnya terbelenggu
dengan uang dan uang.
Nafasnya kini tersengal, wajahnya
pucat pasi sekujur tubuhnya terasa kehilangan tulang belulangnya, akhirnya dia
memutuskan untuk beristirahat dan berobat di Singapor Hospital. Diagnosa demi
diagnose diberikan oleh dokter dokter ahli dari Eropa, tapi tanpa menuai hasil
yang melegakan. Kemal Iskandar kini terpuruk oleh sesuatu yang tidak mampu dia
lawan, maka di akhir hayatnya dia memilih untuk beristirahat saja di tanah air
sembari menguntai kenangan hitam-putih hidupnya yang dia lampaui.
“Hans !, kemarilah mendekatlah ke
sini !”.Entah kekuatan apa yang ada di dalam diri papanya. Semenjak dua minggu
silam, papanya sama sekali tidak mau bicara. Namun kali ini dengan lembut dia
mengajukan permintaan secara jelas pada Hans.
“Hans, kau tidak mengajak Vera ke
sini ?”
“Tidak papa !”
“Temuilah dia !, ajaklah dia kemari
!. Aku ingin memandangnya dan mengajukan maaf pada Vera ?’
“Baik pap !, secepatnya akan aku ajak
Vera !”
“Tidak usah terburu-buru Hans. Jika
papa kembali menghadap Illahi, sampaikan salam
papamu ya Hans. Hans !”
“Ya, pap !, akan aku pintakan maaf papa pada
Vera !”
“Hans, maukah kamu menerima
permintaan papa ?”
“Tentu, pap ?”
“Jadikanlah dia pendamping hidupmu,
Hans. Papa yang salah, papa yang memandang sebelah mata padanya. Hans turuti
pesan papa ya !”
***
Jarum waktu terus menerbangkan asa manusia
manusia yang memburunya hingga terbang ke langit. Terkadang pula jarum waktu
menenggelamkan manusia dalam telaga hitam yang paling dalam. Hasrat Kemal Iskandar untuk mencakar dan merobek langit taka ada yang mampu
menghalanginya. Milyar demi milyar rupiah keuntungan perusahaanya terus dia
tunai, sementara dia tidak pernah
menghiraukan ketahanan fisiknya yang terus menerun akibat hidupnya terbelenggdengan
uang dan uang.
Nafasnya kini tersengal, wajahnya
pucat pasi sekujur tubuhnya terasa kehilangan tulang belulangnya, akhirnya dia
memutuskan untuk beristirahat dan berobat di Singapor Hospital. Diagnosa demi
diagnose diberikan oleh dokter dokter ahli dari Eropa, tapi tanpa menuai hasil
yang melegakan. Kemal Iskandar kini terpuruk oleh sesuatu yang tidak mampu dia
lawan, maka di akhir hayatnya dia memilih untuk beristirahat saja di tanah air
sembari menguntai kenangan hitam-putih hidupnya yang dia lampaui. “Hans !,
kemarilah mendekatlah ke sini !”.Entah kekuatan apa yang ada di dalam diri
papanya. Semenjak dua minggu silam, papanya sama sekali tidak mau bicara. Namun
kali ini dengan lembut dia mengajukan permintaan secara jelas pada Hans.
“Hans, kau tidak mengajak Vera ke
sini ?”
“Tidak papa !”
“Temuilah dia !, ajaklah dia kemari
!. Aku ingin memandangnya dan mengajukan maaf pada Vera ?’
“Baik pap !, secepatnya akan aku ajak
Vera !”
“Tidak usah terburu-buru Hans. Jika
papa kembali menghadap Illahi, sampaikan salam papamu ya Hans. Hans !
“Ya, pap !, akan aku pintakan maaf papa pada
Vera !”
“Hans, maukah kamu menerima
permintaan papa ?”
“Tentu, pap ?”
“Jadikanlah dia pendamping hidupmu,
Hans. Papa yang salah, papa yang memandang sebelah mata padanya. Hans turuti
pesan papa ya !”
***
Angin hutan jati mulai mengajukan
protes pada manusia manusia yang bertindak tanpa peduli pada perasaan orang
lain. Sementara sinar matahari mulai menerkam bumi Margasari. Atap seng rumah
Vera bergerak naik turun dimanja angin Bulan Desember. Hans masih terpaku pada
kenangan masa lalu, saat dia bersama Vera sekaligus saat dia menepis cinta Vera
sepihak.
“Itulah Ver, aku kesini setelah tiga
bulan aku mencari alamatmu”
“Maaf Mas Hans, aku tidak bisa !”
“Vera !, bila seseorang telah
memiliki kamu, akupun akan menyurutkan langkah. Tapi bila engkau masih Vera
sepeti yang dulu, berilah aku kesempatan yang kedua. Meski aku harus menunggu !
“Jadi Mas Hans menginginkan aku dan lari
dari aku demi papa dan mamamu ?”
“Vera !, aku tidak seperti itu !,
memang aku tidak mampu mengucapkan apa yang ada di hati ini !, Cukuplah waktu
di depan kita yang akan membuktikanya !. Yang penting bagi aku berilah aku
kesempatan yang kedua ini Vera ?”
“Maaf Mas, berat rasa hati ini untuk
menerima Mas Hans kembali !”. “Kamu memang harus bersikap seperti ini. Karena
yang aku sodorkan pada kamu, adalah bukan sesuatu yang sepele, seperti juga
waktu lalu. Namun karena aku belum siap segalanya, inilah Hans Vera !”
Selembut angin hutan jati dan sedamai
rumah papan kuno itu, demikianlah perasaan Hans kali ini. Verapun masih
membiarkan benak hatinya diliputi berkecamuknya antara masa lalunya dan sikap
feminisnya yang iba terhadap Hans. Sementara suara terompet tahun baru mulai
memenuhi hutan jati itu***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar