Di balik cakrawala langitpun kini
berwarna jingga, setelah sekian lama “menikam senyumnya” hingga berwarna merah
merona. Di balik cakrawala itu pula, terdapat membisu puncak yang lebih kokoh
dari
Puncak Sagarmatha namun tetap
saja cakrawala itu saat ini berkulum senyum, menyimpan gambaran penuh
kasih.Didalamnya bersemayam Istana tempat manusia melepas lilitan tali
bersimpul gerigi, yang tiada mau lepas dari kulit yang telah
terkoyak. Sesekali angin dingin cakrawala itu, berteriak menyampaikan
protes, mengapa kecantikan Mauna Loa dan
Chimborazo tidak pernah terlintas
lagi, mengambil syahwat-syahwat yang akan menggoda manusia, yang menjinjingnya
menuju cakrawaka itu.
Namun rupanya kesyahduan manusia dalam
merajut angin penuh wangi bunga dalam ikatan kembang setaman di cakrawala itu,
telah melupakan nafsu syahwat itu, Lagian di tengah cakrawala itu, ketika
terdengar takbir, tahlil dan takmid
, manusia kembali tersungkur menata nafasnya kembali, ketika tersengal di
adonan duniawi yang telah berbau busuk. Bukankah di Palung
Mariana, tempat yang eksotis berisi telaga Kautsar yang akan membumikan segala nafsu.
Bukalah ikatan Batari Durga di pelabuhan Gondo
Mayit,lalu campakan hingga engkau manusia mampu mengepalkan tanganmu dan
tak akan lagi mempan terhadap rayuan Batari
Dorga ketika kau masih berada di bawah cakrawala, ketika lembayung senja
memerahkan rona kalbumu, ketika sekuntum bunga mawar sudah tidak membawa
kesegaran lagi, Ketika langit tersungkur mendengar suara Adzan, engkaupun malah
menanarkan matamu,melilitkan deru dan
debu di bilik jantungmu.Apakah sudah gelap matamu,padahal ruhmu yang tidak
seberapa kokoh telah berada di genggamNYA. Inilah cakrawala nun jauh disana
yang berisi sebuah istana untuk kau semayami.
Semilir angin Sagarmantha telah menukik tajam namun tetap sepoi membangkitkan kerinduan manusia untuk
memetiknya dan menyimpan dalam dadanya masing-masing, bagi yang telah gerah
jiwanya. Bila angin ini berhasil dililitkan dalam kehidupan yang penuh bara,
hasud, iri dan dengki. Maka tiada mungkin lagi manusia menengadahkan wajah
untuk meminta hujan esok pagi.yang memberi kesejukan hidup, bukankah dada ini
sekarang telah berisi kuntum senyum keteduhan yang ada di Cakrawala.
Bukankah pula telah satu bulan penuh manusia
“tawadhu berpasrah”, telah menerpa dirinya sendiri agar kokoh menghadapi
tajamnya badai. Akupun masih limbung terbenam dalah tajamnya badai itu. Aku
telah menyingsingkan lengan baju, menyingsingkan cita dan hasrat dan menajamkan
tatapan mata selama satu bulan menguntai dahaga, lapar, dan mendidihnya ubun
ubun kepala dalam menerima sodoran hidup. Lantas biar saja aku lewati satu
bulan untuk mereguk Al Kautsar di
Dengan tergopoph-gopoh, lantaran tinggal
setapak langkah kaki menuju Istana di balik Cakrawala, aku menggapai dengan
genggaman tangan yang selalu bergetar selama 10 malam terakhir. Aku reguk
setetes demi setetes air Telaga Kautsar,.
aku turuti sungai-sungai Gletser dari Puncak Chomolangma,
. yang bertepikan tumpukan salju yang mampu memantulkan sinar sang
mentari, hingga berwarna putih tanpa
2
sedikitpun kekusaman. .Lantas dahaga ini
mulai menyurut, ditengarai langkah
semakin menyerupai “sapu angin”.
Selamat Datang pada wujudku semula, yang
tidak lagi renta seperti Janggan Semarasanta atau
bahkan seperti Pandita Sokalima,
atau bahkan muda belia seperti Wisanggeni,
yang ada adalah aku bersama bayang berbaju putih dengan mengenakan sayap putih
hendak terbang meniti ke empat arah kebenaran. “0h,,inikah arah itu, aku hanya
mengerti lewat nyanyi burung,namun ke
empat arah itu kini sudah di dekatku”, bisik kalbuku, yang telah lama merindu
kebenaran.
Akupun tidak
mengira sebelumnya, bila sebilah episode pernah aku torehkan, kini menjelma
menjadi wujud yang ada dihadapanku. .Sambil berteriak dan menggertak, yang
suaranya memenuhi empat arah langit, dan dari tangan kirinya menjinjing
“kantong hitam”, untuk tubuhku yang tertebas pedangnya yang tajam dan terhunus
di tangan kanannya.
“Aku adalah
bayangan semu dan hitam, tempat kau pernah menorehkan sesuatu yang spectakuler. Tetapi engkau sama
sekali tiada menyadari”
“Perjalanan yang
aku kayuh dengan biduk tiada pernah membentur karang yang tegar, ombak ganas
dan badai yang menelan biduku”
“Itulah maka kau
disebut manusia, ketika senja jatuh di pelataran Pantai Parangtritis, ketika kau bagalkan Romie dan Juli, ketika Julimu tersenyum ceria dan kaupun sempat
mereguk “anggur merah” bercawan emas.dan kau melihat langit runtuh. Teteapi kau
hanya diam terpaku. Kini dimana cawan emas itu ?”
“Aku buang
jauh-jauh, dalam samudra hitam pekat. .Akupun tiada pernah berhasrat
mencarinya, karena samudra itu sangatlah dalam.Aku bukan Werkudoro ketika mendapatkan Sang Dewa Ruci. Aku tidak tahu, harus
bicara apa lagi
“Kamu memang
manusia yang hanya bernafas, tiada pernah menelisik kata hati, bertulang kecil
dan berdada rapuh, serta berdandan angin -badai di alam fana ini, tetap dadamu
kau busungkan setinggi gunung anakan. Maka jangan lari, akan aku pagut dengan
pedang ini tepat di atas ubun-ubun kepalamu”
“Ampun wajah
seribu langit, berilah aku sekali lagi agar mampu menapaki lantai Istana Di
Balik Cakrawala itu, anginya sudah aku rasakan dari sini. Pintu-pintunya sudah
melambaikan tangan-tangannya lantaran rindu bertemuku. Aku tidak mencari
apa-apa lagi, di saat hari telah senja, di saat sinar telah temaram, di saat
baju yang basah tiada mengering lagi. Pasti aku akan menemukan cawan emas itu.
Akan aku
simpan baik-baik,
aku cuci pagi dan sore, serta akan aku peluk dalam setiap tidurku, Agar aku
pula dapat memasuki Istana itu”
“Sebenarnya hanya
dirimu sendiri yang dapat menentukan dirimu sendiri untuk mengembara dalam tiap
sudut istana itu. Maka pulanglah engkau, senja terakhir di bilangan 30 hari
telah cukup, lantas kau dapat tebari lagi hari hari esokmu dengan mutiara
kemuliaanmu, agar engkau bisa bersemayam pada “tempat yang jauh lagi dari
istana itu”
3
“Dimana lagi akan
aku temukan tempat itu”
“Saat sebuah
Catatan Harian dari langit mengirim kamu seprang utusan dan membawamu,
berkeliling taman penuh warna bunga menembus angkasa dan melaju terus di tiap
penjuru langit. Angin berdesir kuat diikuti butir pasair yuang menghalangi
batas pandangku, langit kembali berwarna biru. Basah wajahku bersatu dengan
“ornament-ornamen tentang hidup”. Gema Takbir,
Tahlil dan Takbir memenuhi tiap kamar dan relung istana itu.
Akuipun menjadi
terperangah, lantas aku sunting angin kembara untuk mengantarkan aku pada cawan
emas tempat”anggur merah” yang telah disediakan untukku, kini cawan itu
tergolek lemas, tiada lagi kekuatan untuk menegakan tulang belulangnya. Lantas
aku sodorkan bunga mawar merah membara, agar dia mampu untuk menatap hari
esoknya lagi.
“Trimalah ini,
meski aku terlambat” seruku sambil tatapan mataku tak pernah aku lepaskan.
“Engkaulah durjana
itu, .manusia yang tiada punya halaman hati untuk sekedar bertanam kebun buah. Untuk memandangi hijauan
daun, untuk menitipkan sebilah kesejukan..?”
“Maka aku berikun
seikat mawar merah ini”
“Untuk apa ?”
“Untuk aku
terbangkan tubuhmu yang tergolek, agar bersemi lagi.agar semaumu bersemayam di
kamar-kamar di Istana itu, lantas aku berikan bantal bersusun tujuh, dengan
kebun bunga berada di sisi kanan kiri halaman istana itu”. Kini semua menjadi
lengang setelah ornament diding itu dosemaraki dengan “anggur mera” yang
berkubang di cawan emas.Bersama dengan Gema Takbir yang lebih nyaring lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar