Rindu yang Membara
Sudah satu hari penuh belum
ada sesuap nasipun yang mengisi perut nenek itu. Hanya nafas yang keluar masuk
rongga dadanya, yang dia miliki. Selembar hidupnya kuat digayuti kegetiran yang
seakan tidak mau meninggalkanya barang sedikitpun. Dinding kardus biliknya yang
pengap hingga larut malam ini semakin menyudutkanya, dengan melewatkan angin
malam yang menggigit tulang-tulangnya, dari celah sambungan sambngan kardus.
Akhirnya sebuah selendang yang rapuh dia raih untuk membalut tubuhnya yang
renta itu. Sementara suara deru mobil di atap rumah kardusnya terus menderu, membuat
tambah sulitnya dia ynng renta itu untuk tidur di bilik kolong jembatan.
Suara batuk batuk kecil
suaminya yang juga telah renta, tiada henti memenuhi rumah kardus itu. Namun
terus saja asap mengepul dari tembakau yang terbakar keluar dari mulutnya. Begitu asiknya lelaki
tua itu berulang menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, bahkan kini da tidak
segan lagi menghembuskan asap rokoknya beberapa kali tiap dia selesai menghisap
rokok lintinganya. Seakan dari butir
asap dan teer yang keluar dari bibir
yang menghitam itu, sebuah gambaran ia
dapatkan tentang Hartini putri satu satunya yang dia dambakan bisa berkumpul
dengan dia dan istrinya yang telah renta. Demi sebuah pertemuan ini, dia rela meninggalkan kampung halamanya, sawah
ladang dan rumah setengah tembok untuk berkeliling dari rumah kardus satu ke
rumah kardus lainnya di Jakarta.
Kadang sorot matanya
dia tumpahkan dalam dalam ke perlahan arus Sungai Ciliwung yang keruh dan
busuk.”Pantas saja air sungai ini busuk dan kelam, karena air sungai ini adalah
tumpahan segala kekotoran dari orang orang yang
sebagian diantaranya busuk dan kelam”, gumam dalam hatinya mulai bangkit
menembus asap rokok yang tajam.
***
“Di mana Hartini
berada, ya bu?” Sartidjo yang belum bisa terlelap tidur, kembali mengetuk
hasrat yang jauh terpatri di lubuk hatinya, sementara beberapa puluh puntung
lintingan rokoknya telah tersebar di depanya. Istrinyapun yang mendengar keluh
suaminya itu menggeliatkan tubuhnya dan segera duduk disamping suaminya,
membiarkan tubuhnya tersapu angin malam.
“Aneh, pak !, tidak ada
satupun manusia kota ini yang membantu kita. Huuuh, ingin rasanya aku pulang ke
kampung, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku bisa bertemu dengan Hartini,
apakah dia sudah punya suami ?, apakah dia sudah punya anak ?. Kalau aku sudah
punya cucu, aku ingin sekali menggedongnya, ah kalau Hartini mau, akan aku ajak
pulang dan aku gendong cucuku, aku akan bawa dia jalan jalan keliling kampung.
Tapi, di mana alamat anak kita, Pak ?”. Pertanyaan yang sama dengan suaminya,
kini diulanginya lagi.
“Aku sudah cape, bu !”
“Cape!!, lantas kapan
aku akan ketemu Hartini ?” istrinya menjawab dengan ketus.
“Suatu saat dia kan
pulang, bu. Kita tidak perlu menderita seperti ini “
“Sabar, sudah berapa
tahun kita menunggu di kampung ?, sudah berapa banyak saudara kita yang kerja
di Jakarta mencari Hartini, tapi semua tidak bisa menemukan Hartini”.
“Lakon hidup apa ya bu
?, kita harus menjalani kehidupan seperti ini?”. Istrinya hanya diam membisu.
Sementara deru mobil di atas mereka belum juga reda, meski hari sudah hampir
pagi. Saat esok nanti mereka harus
meninggalkan rumah kardus itu dan berpindah ke tempat lain, entah kemana dan di
tempat mana mereka harus tinggal. Sementara untuk mengisi perut mereka
sepanjang perjalanan mencari putri tunggalnya, mereka terpaksa harus mengemis.
Itupun bila mereka bisa mendapatkan manusia Jakarta yang masih memiliki rasa
iba dengan memberi mereka beberapa uang receh.
***
Pasutri renta itu segera berlalu begitu saja
dari rumah kardus yang didiami hanya beberapa hari. Beberapa potong pakaian
mereka yang kumal hanya dibungkus kantong plastik yang tidak seberapa beratnya
dan kini bergayut di pundak Sartidjo. Nampak sorot mata yang tegar dan kokoh
terpancar dari sepasang manusia yang selama hidupnya hanya didera penderitaan
hidup.
Meski sudah sering mereka menjumpai benturan
hidup, namun mereka tidak kuasa menahan gejolak rindu dengan putri tunggalnya
yang sudah sepuluh tahun meninggalkan mereka tanpa sebuah kabarpun, hanya
beberapa surat yang pernah mereka dapatkan darinya pada tahun tahun pertama
Hartini meninggalkan kampung halamanya, yang mengabarkan bahwa Hartini kini
tinggal di Jakarta, bekerja sebagai
buruh konveksi milik perorangan. Saat itu Hartini sempat meninggalkan alamat
kepada mereka berdua.
Genap sudah sepuluh
tahun Hartini meninggalkan mereka berdua. Namun setelah beberapa hari mereka
menjelajah Jakarta mencari alamat Hartini, mereka hanya mendapat jawaban dari
beberapa tetangga Hartini, bahwa mereka
sama sekali tidak mengenal nama Hartini. Mereka berduapun terasa seperti
tersambar petir di siang hari bolong dan saat itupun memutuskan untuk kembali
ke kampung mereka di Semarang, meski uang saku mereka telah menipis. Namun bagi
Mutmainah keadaan seperti itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menunda
pertemuan dengan putri tunggalnya, hanya dengan bermodal sebuah foto dan
beberapa surat Hartini, yang ditulis beberapa tahun silam.
Akhirnya merekapun
harus tinggal berpindah pindah di rumah
kardus, sambil menjelajah tiap sudut Kota Jakarta seperti hari ini. Di tengah
gerimis pagi merekapun menyusuri jalan jalan Jakarta, yang agak lengang karena
saat itu adalah Hari Minggu.
Mereka kini
beristirahat di troktoar yang basah, sambil mengunyah sarapan pagi nasi kucing
yang didapat dari pemberian cuma cuma pedagang nasi. Tingkah laku mereka
ternyata berhasil menarik beberapa pasang mata ibu ibu yang sedang bekerja
bakti menyambut hari ibu. Sorot mata mata kakek
dan nenek menyimpan seribu pertanyaan kala beberapa ibu ibu muda dan
cantik yang menjinjing bawaan dalam plastik kresek mendekati mereka dengan wajah yang ramah dan
bersahabat.
“Bapak ibu !, kami
membawakan makanan untuk kalian berdua, silakan bu !“
“Oh
terimakasih..terimakasih, oh maaf nak, ini kampung mana ?” tanya Mutmainah
kepada salah satu ibu yang cukup dekat.
“Ini Duren Tiga, bu.
Ibu mau kemana ?” jawab salah satu ibu yang tampak paling tua usianya di
banding tiga ibu lainnya yang bersamanya menyambangi sepasang pengemis tua itu.
“Aku tidak kemana mana,
nak !.”
“Lho, ibu tersesat ?
“Tidak nak, aku mencari
anaku. Ini fotonya !”
“Anak ibu cantik, lho.
Terus di mana alamatnya ?“ tanya ibu lainnya.
“Tidak tahu, nak !”
“Aduuh, ibu gimana !.
Jakarta luas lho, bu !. Gimana ibu mencarinya ?”
“Kami berdua tidak tahu
nak. Kami sudah tiga bulan di Jakarta mencari Hartini. Kami terpaksa tinggal di
rumah kardus atau tidur di mesjid dan terminal, kami keluar masuk kampung kampung untuk mencari anak saya dan terpaksa kami
berdua di Jakarta mengemis” sahut Sartidjo kepada kerumunan ibu ibu yang
merapatinya.
Ibu ibu yang mendengar
penuturan Sartidjo saling melempar pandang, barangkali saja dalam hati mereka
semua timbul perasaan kagum, iba sekaligus penasaran. Padahal pertemuan antara
anak dan ortu adalah hal yang biasa bagi ibu ibu yang memusari sepasang
pengemis renta itu. Mereka mampu memandang wajah sang anak mereka, hampir tiap
detik sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu,
mereka ibu ibu muda itu tidak pernah mengalami gejolak rindu yang
membakar seluruh peredaran darahnya.
Tetapi bagi pasutri
renta yang ada di tengah kerumunan mereka, sebuah rindu ternyata adalah sesuatu
yang berharga, melebihi segalanya. Mereka rela meninggalkan sawah ladang, rumah
dan harta mereka lainnya demi sebuah pertemuan dengan putri tunggalnya, meski
harus dengan petualangan dari rumah kardus satu dengan lainnya, meski hanya
tidur di troktoar dan kadang beberapa hari tak sesuap naspuni masuk ke perut
mereka, tanpa mengenal masuk angin atau penyakit dalam yang biasa mendera
pasutri renta lainnya. Betapa kokohnya hidup dan tekad mereka.
Maka ibu ibu dari
berbagai kalangan profesi yang mendengar penuturan kata demi kata sang kakek
nenek menjadi diam, terpaku dan membisu menyaksikan sebuah episode hidup yang
getir. Hanya beberapa saja dari ibu ibu tersebut, yang memiliki gagasan untuk
mengulurkan tangan untuk menemukan buah hati sepasang kakek nenek itu.
“Bapak dan ibu,
sementara masuk dulu ke kantor kami, ya!. Kita ingin menolong bapak ibu dan
kita perlu bicara lebih dalam lagi dan leluasa, mari ikut kami, bapak !“
“Ibu ini siapa ?” tanya
Kartidjo.
“Kami Ibu Ibu PKK desa
ini. Kebetulan kami sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Kebetulan sekali
pak, bu !, kami juga sedang memprogramkan peduli sosial. Itulah kantor kami di
sebrang jalan, mari pak ikut kami”
Sepasang kakek nenek
itu hanya mampu menganggukan kepala. Seduah desir harapan mulai timbul dalam
sanubari ke dua manusia itu. Harapan untuk bisa bertemu dengan anaknya, harapan
untuk tidak menghuni rumah kardus lagi dan bagi sang nenek, sebuah harapan
untuk menimang cucunya di sepanjang jalan kampungna ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar