Biarkan saja kokok ayam jantan tak
henti menyambut pagi hari, mereka berkokok saling bersautan dari pojok desa
satu dengan lainnya. Mereka begitu tak hirau dengan datangnya hari yang akan
dijalani oleh kehidupan manusia babak demi babak, menurut kodrat yang telah
digariskan oleh Sang Pencipta.
Pagi itu bumi Desa Kembang Arum
seakan tiada menyisakan warganya yang kembali merapatkan selimutnya, meski di
tengah musim kemarau udara begitu dinginnya. Kabut tebal masih enggan menatap
sang mentari. Sementara itu semua celoteh burungpun tak mau peduli dengan
malasnya embun yang menyelimuti mereka. Sementara semua penduduk desa, yang
kebanyakan petani gurem mulai bersiap mencari secercah penghidupan, dengan
menyandarkan pada palawija, lantaran musim kemarau masih menerpa mereka. Di
tengah penghidupan masyarakat yang separuh nafas itulah, Nur Hadi mengabdikan
diri sebagai Pak Guru. Demikian predikat yang diberikan masyarakat desa
kepadanya.
Nur Hadi bukan hanya guru di SD N
III Kembang Arum, namun dia juga sebagai guru bertani, bergaul, pengentasan
terhadap ketertinggalan, keserasian rumah tangga dan seabreg nilai lainnya yang
dibutuhkan masyarakatnya. Jubah Hitam kala dia kenakan diwisuda menjadi S.Pd.
ternyata menyimpan seribu beban. Namun bagi Nur Hadi beban itu, hanyalah sebuah
nyanyian merdu seorang pendidik yang ditekuni lahir batin.
Matahari sudah tidak malas lagi dan
kini mulai bangkit dari cakrawala timur, jalan desa sudah dipenuhi sibuknya
petani guna mencari nafkah. Debu jalan desapun tak mau kalah dalam bersuka ria,
beterbangan bersama angin kemarau yang dingin dan kering.
Dengan sepeda motor bututnya Nur
Hadi mulai bersiap menuju sekolahnya guna menyongsong anak-anak kesayangannya
untuk mendapatkan setetes demi setetes ilmu. Namun terkadang pula dia sering
menjumpai penduduk desa yang sengaja bertandang di sekolahnya sekedar minta
setetes masukan guna menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya. Dalam
hal ini jadilah Nur Hadi sebagai konsultan rumah tangga, kesehatan, bisnis yang
tanpa menarik jasa serupiahpun.
Angin kemarau melambaikan semua
rerimbunan daun di lingkungan sekolah, menimbulkan hawa sejuk sekaligus
keteduhan hati. Nur Hadi masih membimbing anak kelas VI untuk menata kelas, karena senin lusa akan dilangsungkan ujian
sekolah. Pandangan matanya kini terpusat pada halaman sekolah, kala seorang
wanita tua berjalan mendekatinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya pagi ini
giliran seorang penduduk desa yang berniat minta tolong kepada Pak Guru Nur
Hadi.
“Oh rupanya engkau Bi, silakan
duduk”
“Aku harus bagaimana?, aku harus berkata apa?”
“Sabarlah Bi, duduklah dengan
tenang, katakana apa masalahnya, Jangan emosi dulu”
“Itu si Amran, yang sekarang tak
mau sekolah lagi, sudah tiga malam ini dia baru pulang. Lagian pulang dalam keadaan
mabuk. Bagaimana ini Pak Guru ?”.
“Ah anak muda sekarang memang seperti itu, Bi. Jangan Bibi banyak marah
dengan anak sekeras itu. Turuti saja kemauannya dulu. Setelah dia agak lapang
hatinya barulah Bibi nasehati dia”
“Tolonglah Pak Guru, sudah tidak
kurang lagi aku ngomong sama dia. Rasanya sampai kaku lidahku”
“Ah Bibi ini ada ada saja. Kalau
Bibi tidak mau kasih nasehat. Lantas siapa lagi?”
“Iulah masalahnya, Pak Guru !.
Amran kan dulu
sekolah sini. Dulu kan
Pak Hadi yang paling dekat denganya. Maka tolonglah Bibi ini. Nasehati si Amran
itu !”
“Baiklah kalau begitu, Bi !.
Tunggulah beberapa hari. Nantikan dia ketemu aku di kegiatan karang taruna. Aku
akan nasehati dia”
“Ah trimakasih sebelumya, siapa
lagi kalau tidak sama kau Pag Guru, untung desa ini punya guru seperti kamu.
Maka carilah gadis desa sini supaya kau betah tinggal di sini. Jadilah penduduk
sini, kau akan merasa damai, Jangan cari gadis kota !. Mereka pintar dan cantik tapi suka
berani sama suami”
“Ah Bibi ada ada saja. Trimakasih
nasehatnya ya Bi”
“Aku pamit dulu, gampang lain waktu
kita sambung lagi”
Nur Hadipun menjadi geli hatinya,
tentang peran dia di tengah masyarakat desa ini yang masih lugu dan pasrah.
Jauh berbeda dengan Jogja tempat kelahirnya, yang jauh di sebrang lauan dari tempat dia mengajar kini. Beruntung pula bagi
Nur Hadi yang memiliki tabiat ramah, suka menolong dan supel bergaul. Maka
meski kehadiran dia di Jambi belum
beberapa lama, namun hamper semua warga di Kecamatan Hidup Baru Kota Jambi telah
mengenalnya.
Matahari telah melewati sepenggalah
langit, teriknya sudah mulai memenuhi semua halaman sekolah yang sederhana itu. Semua siswa kini berteriak kegirangan lantaran mereka
hanya setengah hari bersekolah. Nur Hadipun segera menuju perjalan pulang
melewati jalan yang terik dan berdebu. Gemerisik daun jagung di tiup angin padang terdengar
sepanjang kanan kiri jalan desa. Senyum wanita desapun tak ketinggalan ikut
mengantar sepanjang perjalanan guru muda terebut, Termasuk Restu Priastuti,
putra Pak Priadi yang telah lama tinggal di pinggiran Kota Jambi. Pak Priadi
sendiri befrasal dari Kab. Purbalingga Banyumas.
Untuk gadis Jambi yang satu ini
memang Nur Hadi merasakan sesuatu yang lain. Selama dia menggapai masa depanya
dengan menjelajah banyak tempat, belum
pernah kata hatinya bergejolak seperti ini,
dari mulai pandangan pertama saat mereka bertemu di pertandingan voley
antar desa, mereka berdua sudah saling tertarik.
Nur Hadi segera menepikan motornya
kala melihat Restu gadis pujaanya, sedang membantu ayahnya membersihkan lahan
tanaman jagungnya dari rumput dan gulma lainnya. Mereka akhirnya sudah terlibat
dalam canda ria saling melepas tawa, sambil sebentar sebentar berpadu pandang.
Kala ini terjadi, merahlah pipi Restu namun tidak mengurangi keanggunan gadis desa
ini. Nur Hadi segera saja melepas sepatunya dan ikut membantu tambatan hatinya
dalam mengolah lahan jagung itu, meski seragam batik PGRI menjadi berlepotan
tanah.
“Kok nggak sekalian pulang dulu
Kak?”
“Di rumah juga mau ngapain cuma
bengong. Mendingan melihat di sini, bisa
melihat Nawang Wulan di sawah”
“Siapa itu Nawang Wulan, pacarmu
dari Jawa ya Kak ?” . Nur Hadi tersenyum gelid an membuat Restu tambah
penasaran
“Ayo dong Kak. Siapa Nawang Wulan.
Kayaknya di desa ini nggak ada yang bernama Nawang Wualan”. Karena desakan yang
terus menerus Nur Hadipun akhirnya bercerita tentang legenda Jawa tentang Joko
Tarub dan Nawang Wulan. Restupun menjadi berbingar wajahnya dan memerah pipinya
dan kini hanya tertunduk lesu setelah tahu maksud hati sang guru yang masih
perjaka itu/
“Tapi aku bukan bidadari lho kak”
“Ah bagiku kamu adalah bidadariku”
jawab Nur Hadi kala mereka telah berdua duduk di bawah rerimbunana tanaman
jagung yang sudah agak tua.
“Kan masih banyak bidadari di Jawa kaka?”
“Aku sudah jadi PNS dan berniat
tinggal di sini. Lagian di Jawa aku tidak punya siapa siapa hanya bapak dan ibu
serta adiku. Untuk apa aku ke Jawa lagi”
“Tapi banyak guru negeri yang balik
lagi ke Jawa, kamu apa nggak seperti mereka?”
“ Nggak Res, aku dah betah disini,
kelak kalau kita bersama membentuk maghligai, akan aku pindahkan saja bapak
ibuku ke sini. Orang sini baik baik semua sama aku Res ?”
“Gimana ya kaka, kebanyakan pria
memang suka menebar janji, aku nggak tahu kak?”
“Aku seorang pendidik Res !. aku
punya moral. Dan bagi seorang pendidik, yang telah bertekad menjadi pegawai
negeri tentunya akan memiliki moralitas untuk membangun lingkunganya.
Barangkali kita bsa pulang ke Jawa setelah aku pensiun. Dan untuk itu telah
berulang aku sampaikan padamu untuk bersama menggapai kehidupan kita bersama”.
Restu hanya menundukan wajahnya, sama
sekali dia tidak mampu menjawab setuju. Maka kini Nur Hadi menjadi berbunga
hatinya. Tembang merdu dalam hatinya terus saja ia dendangkan sepanjang
perjalanan pulang mengantar Restu ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan semua warga
desapun melempar senyum dan lambaian tangan. Seakan mereka telah menobatkan
mereka berdua sebagai Abang dan Nona Desa Kembang Arum. Nur Hadi kinipun larut
dalam belaian cinta bersama Restu pujaan hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar