Jumat, 02 November 2012

Berkawan Mega di Langit


Kedua kakinya sudah terasa berat untuk melangkah, urat nadinya tampak membesar dan menggurati kulit kakinya. Langkah yang berat  itu terus menapaki jalan jalan kecil, terpaan angin sore  mulai menghalangi langkah yang mulai gontai. Matanya yang tersembunyi di lengkung pipi sesekali menatap tajam dan lurus ke depan, sesekali juga menatap dalam dalam jalan jalan kecil desa yang masih berwarna merah tanah liat. Namun dia sama sekali tiada sedetikpun berani menatap cakrawala.yang bersemburat awan jingga, meski berkas berkas sinar matahari masih kelihatan menyela daun daun pisang sepanjang jalan itu. Lantaran di cakrawala itulah kini kedua anaknya merangkai kehidupam mereka.

Berias bunga warna warni, bercanda ria dengan bidadari penghuni cakrawala senja. Layaknya hidup di Kahyangan Suralaya Dari kedua kulit mereka memancarkan aroma keharuman surgawi. Mereka sama sekali tiada mengenal waktu, angan dan membanting tulang demi sepiring nasi jagung, sekerat singkong. Mereka tidur di kasur angin, dengan bantal bersusun tujuh.Mereka hidup di suatu kehidupan yang sama sekali tiada kebohongan, kemunafikan dan kebiadaban

Meski cuma sesekali, kedua anaknya tiada pernah mau menengoknya, apalagi untuk menemaninya menebar semai kehidupan di sawah mereka yang tidak seberapa luasnya. Sekeranjang sembilu kini mengiris hatinya yang terus saja melemah melawan kendaraan waktu yang tak mau meletih. Gubug bambunya kini sudah mulai kelihatan, tak berdaya melawan ilalang yang tingginya hampir separo tubuhnya. Dia hanya mampu menyelipkan hidupnya di sebuah gubug tua di tengah padang, yang berada di sudut kota bersama istrinya yang renta.

Wajah gubug itu langsung menyeringai dan memberikan senyum yang hambar, senyum yang dia sendiri tak mampu mengartikan. Hanya saat saat  bahagia saja yang ada di benaknya kini. Meski kenangan itu telah lewat  entah berapa puluh tahun. Saat Dirman anak sulungnya membantu menyisir tanah subur di sawahnya untuk semi padi dan palawija sebelum matahari berani menampakan wajah di kampung  yang telah didera revolusi, sementara Nurlela putri bungsunya sibuk menghidangkan teh alam panas bercampur gula aren. Istrinya Aryati telah  terlebih dahulu menyongsong kehidupan dengan pergi ke kebun untuk memetik sayur sekedar untuk sarapan keluarga petani ini. Itulah sketsa hidup Soenaryo dan keluarganya di tengah badai revolusi, yang ditiupkan komintern-komintern yang ganas.

Namun setumpuk kisah perjalanan anak manusia yang dia miliki, yang memenuhi rongga dadanya kini telah menjadi debu, termasuk kedua anaknya yang ikut terbakar bersama rumahnya, yang kala itu terbuat dari papan jati yang megah menjulang tinggi, setinggi cita-citanya kala dia masih muda. Rumah dan kedua anaknya ikut menjadi debu-debu revolusi kala komintern membakar sebilah kehidupanya secara biadab.

Sementara itu istrinya yang tercinta, sudah tak bertulang lagi lantaran terpagut dalam kegetiran. Iapun langsung pinsan dipelukan laki-laki tegar pemimpin pemuda yang kontra komintern dan berusaha menepis kehadiran komunis di tanah kelahiranya Ampel, Boyolali . Tetapi Tuhan yang Kuasa masih berkenan memberikan KaruniaNYA, istrinya mampu membuka tabir semu perlahan,mulai dan mampu mengerti makna realita hidup. Meski mereka hanya segelintir hamba Tuhan yang terselip di bingkai kehidupan yang telah pengap.

“Aku sudah buat teh hangat kesukaanmu, Pak!, minumlah sebelum dingin” . Suaminya hanya diam membisu, tapi teh hangat kesukaanya kini telah membasahi tenggorokanya, rona wajahnya kini agak segar, secuil keceriaan mulai muncul. Direbahkan tubuhnya yang tinggi itu pada korsi renta, yang sudah kusam tapi masih setia menemani Soenaryo sejak

“Alhamdulillah, hari ini lahan kita siap untuk ditanami, Bu !. Besok aku coba untuk menebar bibit tembakau”
“Aki ikut, ya Pak “
“Sudahlah, kan pinggangmu belum sembuh, istirahatlah dulu sampai kamu sehat, Kalau kamu sakit, siapa yang masak, siapa yang merawat gubug ini ?”
“Rasanya tambah hari bukanya tambah sembuh. Tapi tambah terasa sakit, Pak “
“Makanya istirahat, biar tak kambuh lagi. Harusnya memang batu ginjalmu dioperasi saja Bu ?”
“Biaya darimana, Pak ?”
“Aku melihatmu semakin hari,semakin pucat. Kita jual saja sawah kita to Bu, untuk biaya operasimu ?”
“Kita mau makan apa ?. Hanya itu harta kita. Berapa banyak yang sudah kita jual to Pak. Sekarang biarlah yang tersisa,   menjadi sawah kehidupan kita”
“Aku masih mampu mengayuh becak, Bu ?”
“Masya Allah, Pak !, tua bangka seperti kita mampunya hanya menunggu berkalang tanah. Kalau  tiap hari kamu masuk angin terus bagaimana mau jadi tukang becak ?”.

Tiada sepatah katapun yang mampu dilontarkan Soenaryo dari mulut yang terkunci, terkatup bibir bibir yang menghitam dan keriput. Teh manisnya kini mulai mendingin, namun direguknya hingga habis. Gubugnya kini dikungkung oleh temaram senja yang meremang. Namun sebersit anganya kini mulai bergayut di hatinya. Betapa berbedanya dia kini dengan kehidupan kala dia masih muda, kala pemuda di desanya menunjuknya dia menjadi ketua front pemuda. Pemuda Soenaryo yang  kondang sebagai pemberani tiada tandingnya, saat itu telah malang melintang di Boyolali menggalang kekuatan anti komunis.

Maka suatu hari yang tiada pernah dilupakan, di tengah selimut malam yang menggigit, pintu depan rumahnya telah digedor kawanan pemuda PKI yang jumlahnya ratusan, yang dipimpin Sadewo simpatisan Barisan Tani Indonenesia Boyolali.

“Kamu tanda tangani surat ini, atau mati “ pekik Sadewo  dengan sorot mata yang tajam dan tangan yang kekar kini sudah berada di leher Soenaryo. Pekik ketakutan kedua putra Soenaryopun kini memenuhi setiap sudut ruang tamunya yang luas, berdinding kayu jati dan berlantai semen.

“Sadewo, kamu anak kemarin sore, jangan berani berhadapan denganku. Sedikitpun aku tak gentar, bila harus berhadapan denganku. Sampai kapanpun aku tidak akan menjadi anjing komunis di negara ini. Aku manusia beragama, bukan kafir seperti kamu ! “
“Jangan banyak bicara, tanda tangani ini, atau seluruh rumah ini akan hangus”
“Anak ingusan beraninya hanya menggertak, apa ini yang disebut revolusi merah. Apa dengan cara begini Aidit akan memimpin negri ini. Aku tak sudi dipimpin manusia-manusia biadab sepertimu. Ini yang kau bilang Indonesia di Jalan  Baru gagasan Muso itu, ayo jawab, Sadewo !, atau kamu sekarang menjadi anjing…yang hanya  berani menyalak”

“Kurang ajar, kau pantas mati, namun saksikan dahulu rumahmu dimakan api. Memang harus dengan cara begini manusia kontra revolusi pantas mati”

Soenaryo kini tak berdaya, kala beberapa pasang tangan menyeret tubuh dia  dan istrinya menuju halaman rumahnya yang luas. Beratus mulut mulut biadabpun kini ikut mengulilti pasangan suami istri itu dengan cacian “anjing kapitalis, anjing imperialis, anjing nekolim dan cacian lainya yang sudah tidak mampu lagi dia dengar. Kini Soenaryo menyaksikan sendiri rumahnya terbakar habis bersama dengan kedua belahan jiwanya. Teriakan kedua anaknya dari dalam rumah begitu menusukan selaksa kegetiran dalam hatinya, yang tiada pernah mampu dia lupakan.

Kursi kuno kayu jati kini terlihat bergoyang pelahan, lantaran darah dalam nadinya mendidih dan menggetarkan otot tubuhnya yang telah rapuh. Kedua tanganya mengepal dengan dengus nafas yang panjang.

“Sudahlah, Pak. Memang inilah jalan hidup kita”
“Kenapa jalan hidup kita seperti ini. Aku selalu berdoa tiap waktu, agar Dirman dan Nurlela di alam kelanggengan berbahagia. Mereka berdua adalah anak anak korban revolusi, sudah selayaknya mereka mendapat pertolongan dari Tuhan yang Kuasa”
“Itulah kekuatan kita, Pak !. Hari sudah malam dan pinggangku semakin nyeri tertusuk angin malam. Aku sekarang mau tidur, tubuhku sudah mulai lemas. Aku membayangkan anak anak kita di sana selalu tidur berkasur angin, sehingga tubuh mereka tidak merasa penat. Berbeda dengan kita yang renta, tidur di kasur empukpun masih terasa sakit “

Soenaryo segera mengulurkan tanganya untuk membimbing istrinya ke tempat peraduan di dalam bilik bambu yang mulai rapuh di makan usia. Kini mereka hanya pasrah menghadapi hari esok yang kelam.Namun mereka berdua masih menyelipkan perasaan bahagia, karena mereka yang menghancurkan hidup keluarganya telah mendapat balasan yang setimpal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar